RMOL. “Awake dhewe bakal ora ketemu suwene setahun lo.†Kalimat dalam bahasa Jawa yang berarti “kita tidak akan bertemu selama setahun†merupakan kata-kata terakhir Wiji Thukul kepada istrinya, Sipon.
Perempuan yang dinikahi Wiji pada 21 September 1988 itu menganggap itu hanya gurauan. “Ah, kamu suka bercanda,†balas Sipon.
Perempuan bernama asli Siti Dyah Sujirah masih ingat betul momen itu. Sore 25 Desember 1997, Wiji mengantar Sipon dan kedua buah hati mereka, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah ke Stasiun Tugu, Jogjakarta. Mereka hendak pulang ke Solo.
“Itu dua hari setelah tanggal ulang tahun Fajar. Pertemuan itu pun sekalian untuk perayaan ulang tahun,†tutur Sipon. Saat perpisahan itu, Fitri yang masih berusia delapan tahun tak berÂhenti menangis.
Perkataan Wiji itu jadi keÂnyaÂtaan. Bukan hanya tak bertemu setahun, tapi hingga belasan taÂhun. “Sampai sekarang dia tak pernah kembali,†kata Sipon.
Setelah bertahun-tahun Wiji tak kembali, Sipon mencoba meÂngingat kembali tangisan Fitri di Stasiun Tugu. “Mungkin dia keÂroÂso (merasa) tidak akan bisa lagi ketemu bapaknya,†ujarnya.
Empat belas tahun sudah Sipon tak bertemu Wiji. Ia juga tak menÂdengar kabar dari seniman yang juga aktivis itu. Wiji menghilang menjelang kejatuhan Orde Baru. Diduga, Wiji jadi target untuk “dihilangkan†karena kerap menggelar unjuk rasa.
Sepanjang 1997-1998 terjadi sejumlah penculikan terhadap para aktivis. Sebagian dari meÂreÂka kembali. Lainnya tak tentu rimÂbanya. Beberapa pelaku penÂÂculikan adalah oknum tenÂtara. MeÂreka tergabung dalam Tim MaÂwar Komando Pasukan KhuÂsus (Kopassus) TNI AngÂkatan Darat.
Sejak kepergian Wiji, praktis Sipon menjadi orang tua tunggal. Untuk menopang ekonomi keÂluarga dia membuka usaha penÂjahitan. Sebuah mesin jahit dibeli dari uang pinjaman tetangga.
Sipon harus bekerja ekstra keras melakoni peran ganda itu. “Sulit memang menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga,†katanya. Lambat laun usahanya berkembang. Kini Sipon bisa mempekerjakan empat orang.
Dari usaha itu Sipon bisa menyekolahkan anak-anak. Fitri kini menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma YogÂyakarta, jurusan Sastra Indonesia. Sementara, Fajar duduk di bangku SMKI Solo.
“Meski tidak ada sosok bapak, tanggung jawab saya memang beÂsar untuk mengurus rumah tangga dan hidup saya pun berubah drastis, karena harus juga keluar menÂjadi aktivis membantu keluarÂga para korban penÂculikan,†tuturnya
Sembari bekerja, Sipon tak perÂnah berhenti berusaha mencari jejak-jejak keberadaan suaminya. “Saya hanya ingin kepastian, kalau suami saya sudah tidak ada, di mana saya dapat menemukan jaÂsadnya. Tetapi kalau Thukul masih hidup, ada di mana dia sekarang,†ujarnya dengan nada haru.
Perjuangan mencari suaminya pun terus dilakukan, tak peduli di mana pun tempatnya. Berbagai piÂhak sudah ditemuinya, tapi haÂsilnya nihil. Ia juga pernah meÂngadu ke Kontras dan HAM. Tapi hasilnya sama: Wiji Thukul tak ditemukan.
“Entah ke mana lagi saya harus mencari suami saya,†ratapnya sedih. Dalam hatinya Sipon yakin Wiji masih hidup. “Dan suatu saat kami akan bertemu lagi,†katanya penuh harap.
Pada 2002, Wiji dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Ini meÂmacu Sipon makin gigih mencari Wiji. “Saya seakan mendapat conÂtoh apa yang dilakukan ThuÂkul dulu ternyata tidak sia-sia. Terbukti beberapa penghargaan diberikan atas kerja kerasnya dulu,†ujarnya.
Rabu lalu (28/9) Sipon muncul di DPR. Saat itu beberapa angÂgota Dewan tengah menggelar jumpa pers di Press Room DPR. Mereka menyampaikan pendapat mengeÂnai rekomendasi Pansus Orang Hilang yang belum dijalankan.
Saat Sipon diberi kesempatan menyampaikan pendapat, tiba-tiba dia berdiri dan melepas kaos merah yang dikenakannya. “MeÂrah ini PDI kan,†kata Sipon. KonÂtan, aksi itu membuat angÂgota DPR yang hadir kikuk.
Ngamen, Baca Puisi Diiringi Gamelan
Wiji Thukul Wijaya lahir di Solo, 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak. Selepas SMP, selama kurang dari dua taÂhun dia belajar di Sekolah MeÂnengah Karawitan IndoÂneÂsia, sampai putus sekolah pada 1980.
Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang seÂbaÂgian besar penghuninya hiÂdup dari menarik becak. Ketika itu bus kota mulai menguasai jaÂlaÂnan, mengakibatkan pengÂhaÂsiÂlan tukang becak semakin merosot.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tiÂdak tetap. Dia pernah menjadi tuÂkang koran, tukang semir meÂbel, maupun buruh harian. SeÂlain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar-masuk kampung, kadang-kadang diÂiringi musik gamelan.
Thukul juga terlibat dalam teater dan kesenian di Solo dan Jawa Tengah. Dia pernah ikut daÂlam pembacaan puisi di MoÂnumen Pers Surakarta, Pusat KeÂsenian Jawa Tengah, UniÂversitas Muhammadiyah SuraÂkarta, Yayasan Hatta di YogÂyaÂkarta serta Radio PTPN.
Sajak-sajaknya secara teratur muncul di berbagai majalah dan surat kabar. Pada 1984 kumÂpuÂlan sajaknya berjudul “Puisi Pelo†diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta.
Stensilan berikutnya “DarÂman dan lain-lain†menyusul. Kumpulan puisi “Suara†diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: “Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.â€
Awal 1990-an dia terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menÂjadi anak organisasi Partai RakÂyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.
Pada 1992, bersama warga Jagalan-Pucangsawit, Thukul ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil Sariwarna Asli.
Pada 1994, Thukul bergabung dalam aksi perjuangan petani di Ngawi. Ia ditangkap dan dipuÂkuli tentara. Maret 1995 jadi mimpi buruk baginya. Kala meÂmimpin aksi mogok buruh PT Sritex di Sukoharjo, SuraÂkarÂta, sebelah mata Thukul nyaris buta dipukul popor senjata. Kelopak mata kanannya robek, retinanya terganggu. Ia beberapa kali menjalani peraÂwatan di rumah sakit mata Dr Yap di Jogjakarta.
Lalu terjadilah peristiwa 27 Juli 1996. Massa bayaran yang diÂdukung polisi dan tentara, mengenakan kaos bertulis “PDI Pro-Soerjadi†menyerbu markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta PuÂsat.
Suhu politik nasional memaÂnas. PRD dituduh dalang peÂnyeÂrangan itu. Para aktivisnya diÂburu, ditangkap, dan dijebÂlosÂkan ke penjara. Thukul salah satu orang yang diburu. Ia pun harus sembunyi.
Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu kebeÂraÂdaÂanÂnya tidak diketahui, dan ThuÂkul dikategorikan sebagai “orang hilangâ€. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.