Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Beli Mesin Jahit dari Duit Pinjaman Tetangga

Wiji Thukul Tak Kembali, Sipon Buka Tailor

Jumat, 30 September 2011, 04:27 WIB
Beli Mesin Jahit dari Duit Pinjaman Tetangga
Sipon

RMOL. “Awake dhewe bakal ora ketemu suwene setahun lo.” Kalimat dalam bahasa Jawa yang berarti “kita tidak akan bertemu selama setahun” merupakan kata-kata terakhir Wiji Thukul kepada istrinya, Sipon.

Perempuan yang dinikahi Wiji pada 21 September 1988 itu menganggap itu hanya gurauan. “Ah, kamu suka bercanda,” balas Sipon.

Perempuan bernama asli Siti Dyah Sujirah masih ingat betul momen itu. Sore 25 Desember 1997, Wiji mengantar Sipon dan kedua buah hati mereka, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah ke Stasiun Tugu, Jogjakarta. Mereka hendak pulang ke Solo.

“Itu dua hari setelah tanggal ulang tahun Fajar. Pertemuan itu pun sekalian untuk perayaan ulang tahun,” tutur Sipon. Saat perpisahan itu, Fitri yang masih berusia delapan tahun tak ber­henti menangis.

Perkataan Wiji itu jadi ke­nya­taan. Bukan hanya tak bertemu setahun, tapi hingga belasan ta­hun. “Sampai sekarang dia tak pernah kembali,” kata Sipon.

Setelah bertahun-tahun Wiji tak kembali, Sipon mencoba me­ngingat kembali tangisan Fitri di Stasiun Tugu. “Mungkin dia ke­ro­so (merasa) tidak akan bisa lagi ketemu bapaknya,” ujarnya.

Empat belas tahun sudah Sipon tak bertemu Wiji. Ia juga tak men­dengar kabar dari seniman yang juga aktivis itu. Wiji menghilang menjelang kejatuhan Orde Baru. Diduga, Wiji jadi target untuk “dihilangkan” karena kerap menggelar unjuk rasa.

Sepanjang 1997-1998 terjadi sejumlah penculikan terhadap para aktivis. Sebagian dari me­re­ka kembali. Lainnya tak tentu rim­banya. Beberapa pelaku pen­­culikan adalah oknum ten­tara. Me­reka tergabung dalam Tim Ma­war Komando Pasukan Khu­sus (Kopassus) TNI Ang­katan Darat.

Sejak kepergian Wiji, praktis Sipon menjadi orang tua tunggal. Untuk menopang ekonomi ke­luarga dia membuka usaha pen­jahitan. Sebuah mesin jahit dibeli dari uang pinjaman tetangga.

Sipon harus bekerja ekstra keras melakoni peran ganda itu. “Sulit memang menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga,” katanya. Lambat laun usahanya berkembang. Kini Sipon bisa mempekerjakan empat orang.

Dari usaha itu Sipon bisa menyekolahkan anak-anak. Fitri kini menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yog­yakarta, jurusan Sastra Indonesia. Sementara, Fajar duduk di bangku SMKI Solo.

“Meski tidak ada sosok bapak, tanggung jawab saya memang be­sar untuk mengurus rumah tangga dan hidup saya pun berubah drastis, karena harus juga keluar men­jadi aktivis membantu keluar­ga para korban pen­culikan,” tuturnya

Sembari bekerja, Sipon tak per­nah berhenti berusaha mencari jejak-jejak keberadaan suaminya. “Saya hanya ingin kepastian, kalau suami saya sudah tidak ada, di mana saya dapat menemukan ja­sadnya. Tetapi kalau Thukul masih hidup, ada di mana dia sekarang,” ujarnya dengan nada haru.

Perjuangan mencari suaminya pun terus dilakukan, tak peduli di mana pun tempatnya. Berbagai pi­hak sudah ditemuinya, tapi ha­silnya nihil. Ia juga pernah me­ngadu ke Kontras dan HAM. Tapi hasilnya sama: Wiji Thukul tak ditemukan.

“Entah ke mana lagi saya harus mencari suami saya,” ratapnya sedih. Dalam hatinya Sipon yakin Wiji masih hidup. “Dan suatu saat kami akan bertemu lagi,” katanya penuh harap.

Pada 2002, Wiji dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Ini me­macu Sipon makin gigih mencari Wiji. “Saya seakan mendapat con­toh apa yang dilakukan Thu­kul dulu ternyata tidak sia-sia. Terbukti beberapa penghargaan diberikan atas kerja kerasnya dulu,” ujarnya.

Rabu lalu (28/9) Sipon muncul di DPR. Saat itu beberapa ang­gota Dewan tengah menggelar jumpa pers di Press Room DPR. Mereka menyampaikan pendapat menge­nai rekomendasi Pansus Orang Hilang yang belum dijalankan.

Saat Sipon diberi kesempatan menyampaikan pendapat, tiba-tiba dia berdiri dan melepas kaos merah yang dikenakannya. “Me­rah ini PDI kan,” kata Sipon. Kon­tan, aksi itu membuat ang­gota DPR yang hadir kikuk.

Ngamen, Baca Puisi Diiringi Gamelan

Wiji Thukul Wijaya lahir di Solo, 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak. Selepas SMP, selama kurang dari dua ta­hun dia belajar di Sekolah Me­nengah Karawitan Indo­ne­sia, sampai putus sekolah pada 1980.

Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang se­ba­gian besar penghuninya hi­dup dari menarik becak. Ketika itu bus kota mulai menguasai ja­la­nan, mengakibatkan peng­ha­si­lan tukang becak semakin merosot.

Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan ti­dak tetap. Dia pernah menjadi tu­kang koran, tukang semir me­bel, maupun buruh harian. Se­lain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar-masuk kampung, kadang-kadang di­iringi musik gamelan.

Thukul juga terlibat dalam teater dan kesenian di Solo dan Jawa Tengah. Dia pernah ikut da­lam pembacaan puisi di Mo­numen Pers Surakarta, Pusat Ke­senian Jawa Tengah, Uni­versitas Muhammadiyah Sura­karta, Yayasan Hatta di Yog­ya­karta serta Radio PTPN.

Sajak-sajaknya secara teratur muncul di berbagai majalah dan surat kabar. Pada 1984 kum­pu­lan sajaknya berjudul “Puisi Pelo” diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta.

Stensilan berikutnya “Dar­man dan lain-lain” menyusul.  Kumpulan puisi “Suara” diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: “Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Awal 1990-an dia terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang men­jadi anak organisasi Partai Rak­yat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

Pada 1992, bersama warga Jagalan-Pucangsawit, Thukul ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil Sariwarna Asli.

Pada 1994, Thukul bergabung dalam aksi perjuangan petani di Ngawi. Ia ditangkap dan dipu­kuli tentara. Maret 1995 jadi mimpi buruk baginya. Kala me­mimpin aksi mogok buruh PT Sritex di Sukoharjo, Sura­kar­ta, sebelah mata Thukul nyaris buta dipukul popor senjata. Kelopak mata kanannya robek, retinanya terganggu. Ia beberapa kali menjalani pera­watan di rumah sakit mata Dr Yap di Jogjakarta.

Lalu terjadilah peristiwa 27 Juli 1996. Massa bayaran yang di­dukung polisi dan tentara, mengenakan kaos bertulis “PDI Pro-Soerjadi” menyerbu markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pu­sat.

Suhu politik nasional mema­nas. PRD dituduh dalang pe­nye­rangan itu. Para aktivisnya di­buru, ditangkap, dan dijeb­los­kan ke penjara. Thukul salah satu orang yang diburu. Ia pun harus sembunyi.

Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu kebe­ra­da­an­nya tidak diketahui, dan Thu­kul dikategorikan sebagai “orang hilang”.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA