Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bayi-bayi Korban Majikan itu Coba Melanjutkan Hidup

Berkunjung ke Rumah Peduli Anak TKI Tangerang

Selasa, 05 Juli 2011, 07:56 WIB
Bayi-bayi Korban Majikan itu Coba Melanjutkan Hidup
RMOL. Tangan kanan Kholid menggengam erat dot susu. Tidak berapa lama, bayi berumur delapan bulan ini merangkak pelan menghampiri teman sepermainannya.   Kholid yang mengenakan baju bersetrip kuning kemudian asyik bermain. Dia seakan tidak menghiraukan orang di sekitarnya.

Itulah gambaran kondisi bayi tenaga kerja wanita (TKW) yang hamil di luar nikah akibat dari hubungan gelap maupun korban pemerkosaan yang dilakukan majikannya di  negeri orang.  

Kholid adalah salah satu dari sepuluh bayi yang saat ini dirawat di Rumah Peduli Anak (RPA) TKI yang berada di Jalan Juru­mu­di Perumahan Alam Raya Blok A 75, Kelurahan Benda, Kota Tangerang, Banten, senin siang (4/7).

Saat ini kondisi Kholid sangat memprihatikan karena kondisi fisiknya yang tidak sempurna. Bayi kelahiran Arab Saudi ini me­ngalami kebutaan, tulang kaki kirinya dan jari kelingkingnya tum­buh tidak normal. Kecacatan tubuh yang dialami Kholid di­duga karena semasa di kan­dung­an, Ibunya kerap meminum obat keras untuk menggugurkan janin.

Rumah Peduli Anak TKI me­nempati rumah setinggi dua lantai yang berada di pemukiman padat penduduk di Kelurahan Benda Ta­ngerang, Banten.

Rumah seluas delapan kali sepuluh meter persegi ini berwar­na kuning dan mempunyai ger­bang rumah setinggi dua meter. Pintu masuk setinggi dua meter yang berada di sebelah kanan pagar dalam kondisi terbuka.

Masuk lebih dalam tersedia car port yang pasangi kanopi warna putih untuk melindungi ken­da­raan dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Tidak ada satu pun mobil yang terparkir di tem­pat ini.

Halaman rumah penuh pe­po­honan rindang sehingga panas matahari tidak terasa sekalipun kondisi cuaca siang itu sedang pa­nas-panasnya.

Papan nama warna putih se­ting­gi tiga meter ditempatkan di ha­laman rumah dengan meng­hadap ke jalan. Ada papan nama ber­tulisan “Rumah Peduli Anak Tenaga Kerja Indonesia”. Rumah ini­ berdiri atas kerja sama De­par­temen Sosial Republik Ind­onesia, BNP2TKI, Yayasan Puri Cikeas, dan GNKS.

Garasi rumah tegak lurus de­ngan car port. Di garasi ini hanya ada meja kayu letter “L” dan em­pat kursi untuk  petugas ke­aman­an. Seorang petugas keamanan tam­pak berjaga-jaga sambil se­se­kali meminum kopi yang tersedia di atas meja. Juga ada mobil mainan.

Di bagian dalam, terdapat pintu ma­suk di sebelah kiri dalam ke­adaan tertutup. Setelah dibuka terhampar luas ruang tamu de­ngan sofa untuk tamu. Masuk le­bih dalam lagi, ada ruang tempat bermain bayi.

Di ruangan ini ada lima kasur yang diletakkan di lantai. Kasur tersebut digunakan lima bayi untuk istirahat. Dan ada juga be­be­rapa bayi yang sedang asyik me­minum susu di botol susu sambil tidur-tiduran.

Empat baby sitter menjaga dan mengawasi dengan serius bayi tersebut. Beberapa kamar tidur untuk bayi juga ditempatkan di ruangan ini. Kamar tidur yang ter­buat dari besi itu ditempati oleh dua bayi yang tertidur pulas.

Dua lemari kayu besar dan satu filling cabinet untuk tempat me­naruh pakaian bayi diletakkan me­nempel di dinding. Satu televisi 14 inci sebagai sarana hibur­an juga tersedia di ruangan ini.

Satu white board ditempel di dinding ruangan. Papan tersebut tertulis nama-nama bayi yang sedang dirawat di tempat ini.

Petugas Keamanan RPA TKI, Yayat mengatakan, bayi yang dirawat di tempat ini mayoritas berwajah Arab, ada juga yang berwajah China atau Hongkong.

” Tapi itu hanya satu atau dua bayi saja,” katanya.

Pria yang mengenakan safari warna hitam ini mengatakan, bayi yang dirawat di sini merupakan bayi yang berasal dari TKW yang hamil di luar nikah akibat dari korban perkosaan yang dilakukan majikannya baik di Timur Tengah maupun di negara lainnya.

“Karena mereka malu mem­ba­wa bayinya bayinya ke kampung halaman karena tanpa ada proses penikahan akhirnya dititipkan di sini,” katanya.

Dia menambahkan, bayi yang dirawat di sini umurnya ber­va­riasi dari yang paling kecil ber­umur tiga bulan hingga yang pa­ling tua berumur 1,5 tahun. Me­re­ka kerap memanggil bapak dan ibunya kepada baby sitter yang merawatnya.

“Kadang saya nggak tega li­hatnya bayi-bayi ini karena tidak jelas orangtuanya.”

Yayat menambahkan, para TKW yang menitipkan bayi di­tem­pat ini berasal dari berbagai daerah seperti, Cianjur, Su­ka­bumi, Jawa Tengah, Timur hing­ga berasal dari Nusa Tenggara Ti­mur (NTT).

Titip Anak tak Dipungut Bayaran

Kepala Badan Nasional Perlin­dungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, bagi TKW yang ingin menitipkan bayinya yang berasal dari hu­bungan gelap ataupun pemer­ko­saan bisa dibawa ke RPA TKI.

“Penitipan bayi tidak dipungut biaya alias gratis,” katanya.

Sebelumnya, dalam rilis BNP­2TKI tentang kondisi terbaru bu­ruh migran nasional di 2010 ini, jumlah TKI yang kembali ke ta­nah air membawa pulang bayi ha­sil hubungan gelap di luar negeri dalam setahun terakhir melonjak tajam menjadi 273,7 persen. Pada 2009 ada 19 orang, dan kini  71 orang yang membawa pulang bayi ke Indonesia.

Jumlah TKI yang hamil setelah kembali ke Tanah Air juga ber­tambah 8,1 persen dari 197 orang pada tahun 209 menjadi 213 orang TKI wanita yang hamil pada 2010. Jumhur Hidayat khawatir jum­lah TKI yang hamil di luar nikah bertambah apabila mereka tidak dibekali kekuatan mental dan keterampilan.

Apalagi, relatif banyak TKI yang wanita yang terpaksa mem­bawa anak dari hubungan gelap sejak di Tanah Air dan saat be­kerja di luar negeri karena di­paksa oleh para majikan, oknum di penampungan TKI atau keka­sih mereka selama kerja.

“Antisipasi dini harus dila­ku­kan sebelum para TKI wanita itu berangkat kerja ke luar negeri, baik dalam bentuk pemberian kete­rampilan yang memadai dan juga berbagai informasi pen­dukung selama mereka bekerja,” katanya.

Jumhur menuturkan setiap em­pat hari sekali, seorang TKI yang baru pulang dari negara dimana ditempatkan melalui Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI Selapajang Tangerang, Ban­ten, terdeteksi membawa anak hasil hubungan gelap di tempat kerjanya.

Data yang dimiliki BNP2TKI ini diduga belum merupakan data yang sebenarnya karena banyak juga TKI hamil atau membawa bayi yang memilih pulang de­ngan penerbangan reguler dan tidak melapor.  “Itu dilakukan karena faktor malu,” katanya.

Selain itu, dalam dua hari se­kali selalu ada TKI yang pulang ke Indonesia melalui GPK TKI dalam keadaaan berbadan dua alias hamil tanpa menikah.

Menurut dia, bagi TKI yang pulang sudah membawa anak dari tempat dia bekerja tidak se­muanya mau membawa anaknya ke tempat tinggal mereka di kam­pung halaman.

Bahkan, ada TKI yang meni­tipkan anak hasil hubungan ge­lapnya di tempat mereka di panti asuhan atau sanak saudaranya dan ada yang sengaja mening­galkannya begitu saja di GPK TKI di Selapajang.

“Melihat kondisi itu, maka pe­merintah harus mengupayakan penyelesaiannya dengan pelatih­an dan mempersiapkan calon TKI,” katanya.

Tampung 10 Bayi Hasil Hubungan Gelap dan Pemerkosaan

Manajer Rumah Peduli Anak (RPA) Yudi Ramadani me­ngatakan, RPA TKI berdiri sejak Februari 2009. Hingga kini, RPA TKI sudah  menye­la­­matkan 24 bayi hasil hu­bungan gelap ataupun karena mengalami pemerkosaan yang dialami para TKW.

“Dari 24 anak itu kini tinggal 10 anak saja karena 14 anak te­lah dibawa kembali oleh ibu­nya,” katanya.

Yudi menjelaskan, banyak­nya TKW yang menitipkan anak­nya ke RPA karena mereka malu untuk membawa bayinya ke kam­pung halamannya ka­rena bukan hasil dari pernikahan.

Bahkan, sambung Yudi ada beberapa TKW yang memilih me­nelantarkan atau membuang ba­yinya ke toilet di Bandara Soekarno-Hatta. “Karena kalut mereka sering  berpikir kurang jer­nih. Padahal, saya yakin suatu saat nanti pasti mereka akan me­rindukannya anaknya,” katanya.

Alumnus IAIN Sultan Mau­lana Hasanudin, Serang ini men­jelaskan, tujuan dari di­di­rik­annya RPA karena prihatin atas asib TKW serta bayi yang di­dapat dari hasil hubungan ge­lap ataupun korban perkosaan ini.

Selain memberikan fasilitas pe­nitipan anak, kata Yudi, pi­hak­nya juga sering mem­be­rikan nasehat keagamaan ke­pada para TKW yang akan menitipkan bayinya ke tempat ini untuk merenungkan terlebih dahulu selama enam bulan sebelum menitipkannya.

“Kami harap dalam proses perenungan tersebut mereka sa­dar sehingga setelah mereka tidak jadi menitipkannya. Ka­lau­pun sudah terlanjur me­ni­tipkan, mereka bisa meng­am­bilnya  kembali anaknya,” katanya.

Sekalipun RPA  mempunyai tujuan yang mulia, tidak mudah mengelolanya. Selain dana, ma­salah berat lainnya adalah ada­nya anggapan dari masyarakat bahwa anak-anak yang ada di RPA TKI adalah anak haram.  

“Saya tidak rela jika anak-anak disini dikatakan anak ha­ram karena jika mereka bisa protes kepada Tuhan, tentunya me­reka tidak ingin terlahir da­lam keadaan seperti sekarang,” katanya.

Untuk biaya opeasional RPA, kata Yudi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Rata-rata da­lam satu bulan kami meng­ha­biskan dana sebesar Rp 20-25 juta.”

Dana sebesar itu, sambung Yudi digunakan untuk membeli susu, popok, honor tiga baby sitter, satu ibu asuh, tiga petugas ke­amanan dan tiga petugas pen­dataan yang berada di terminal TKI di Selaparang.

“Semua dana kami peroleh dari beberapa donatur, seperti dari pak Jumhur Hidayat, BNP2TKI, Yayasan Puri Cikeas dan juga ada yang berasal dari perseorangan,” katanya.

Dengan beberapa donatur yang ada, kata Yudi, kebutuhan operasional setiap bulannya bisa tertutupi dan tidak kekurangan lagi, seperti yang terjadi se­belumnya.  

Bagi pihak lain yang ingin mengadopsi bayi tersebut, kata Yudhi pihaknya sangat selektif karena selain harus mampu se­cara finansial untuk meng­hidupi ba­yi tersebut, calon orang tua tersebut harus memiliki latar belakang yang baik pula.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA