Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Beda Namanya Doang, Kualitasnya Sama Saja

Pekan Pertama KRL Commuter Line Beroperasi

Senin, 04 Juli 2011, 08:00 WIB
Beda Namanya Doang, Kualitasnya Sama Saja
RMOL. KRL single operation commuter line resmi dioperasikan di seluruh wilayah Jabodetabek menggantikan KRL Ekonomi AC dan Ekspres, Sabtu (02/07). Sudah beberapa kali dilakukan uji coba, tapi commuter line kerap masih menuai kritik. Mulai dari harga tiket yang terlalu mahal sampai KRL yang terlambat datang.

Bagaimana reaksi pe­num­pang setelah KRL sistem baru itu resmi dioperasikan? Apakah fasilitas dan pelayanannya jauh lebih baik dibandingkan saat uji coba? Berikut penga­ma­tan Rak­yat Merdeka di Stasiun Te­bet, Jakarta Selatan.

Dua buah spanduk berwarna biru di sisi kiri dan kanan peron cukup menarik perhatian pe­num­pang. Spanduk ini men­coba mengingatkan pe­num­pang bahwa tanggal 2 Juli ini KRL sistem baru resmi ber­operasi. “Mulai Tanggal 2 Juli 2011 Seluruh KRL Jabodetabek berhenti di setiap stasiun” be­gi­tu bunyi spanduk itu.

Di Stasiun Tebet penumpang, seperti biasa,  padat. Ratusan bahkan ribuan penumpang memenuhi peron di sisi kiri dan kanan. Karena kursi tunggu tak cukup banyak, kebanyakan penumpang terpaksa berdiri menunggu KRL.

Sangat disayangkan, hari ini, tepat saat peresmiannnya, per­jalanan kereta dengan sis­tem­single operation communter line mengalami hambatan. Ke­reta yang mogok selama 30 me­nit tepat sebelum Stasiun Tebet mengganggu perjalanan para penumpang.

Salah seorang penumpang ber­nama Redho mencurahkan ke­lu­hannya kepada Rakyat Mer­de­ka pada hari pertama penerapan sis­tem baru KRL itu. Redho yang naik kereta dari Depok pukul 08.00 WIB membutuhkan waktu berjam-jam untuk tiba di Stasiun Tebet.

Padahal, berdasarkan peng­a­la­man pegawai pertokoan yang sudah pernah mencoba commuter line ini, perjalanan dari Depok ke Stasiun Tebet bisa ditempuh dalam waktu 45 menit saja. Tapi, pada hari itu hampir 1,5 jam dia belum juga sam­pai di tujuan.

Hal ini karena kereta sempat terhenti selama 30 menit sebelum masuk Stasiun Tebet. Menurutnya, banyak penumpang yang me­nge­luh­kan hal ini, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa.

“Tadi pas Pa­sar Tebet, sebelum masuk Stasiun Tebet, kereta selama 30 menit ber­henti. Menurut yang diin­for­ma­si­kan petugas karena ada gangguan sinyal,” jelas Redho.

Redho yang hendak menuju tem­pat kerjanya  kecewa. Sebab, se­be­lum­nya, saat mencoba commuter line tak mengalami kendala yang berarti. Dia meminta pihak PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) un­tuk berlaku lebih profesional dalam pengoperasian sistem baru KRL.

“Seharusnya dalam pelak­sa­na­an­nya profesional. Masukan setiap pe­numpang selama uji coba se­ha­rusnya ditindaklanjuti. Jangan masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Tarif tidak masalah, yang penting diimbangi pelaksanaan yang profesional dan tepat waktu,” ujarnya.

Berdasarkan pe­nga­ma­tan Ra­k­yat Merdeka, jadwal kedatangan sistembaru KRL belum ter­or­ga­nisir dengan baik. Misalnya, tak pernah ada jarak waktu yang tepat kehadiran KRL ke setiap jurusan. Rentan waktunya pun bervariasi, mulai dari 20 hingga 40 menit.

Sobari, warga Depok misalnya, lebih 30 menit menunggu di Stasiun Tebet tapi KRL Ekonomi AC tujuan Depok tak kunjung datang. “Sudah tiga kali berturut-turut yang datang KRL Ekonomi Non-AC terus. Saya bingung ba­gai­mana sebenarnya ini pe­nga­turan jadwalnya,” ketusnya.

Dioperasikannya sistem single operation Commuter Line ter­nya­ta tetap tak mengubah perilaku para penumpangnya. Kebiasaan menaiki atap gerbong yang sudah mengakar, juga terlihat pada KRL Ekonomi Non-AC. Puluhan pe­numpang pria tampak memenuhi atap meski dibagian dalam KRL masih muat dimasuki penumpang.

Bahkan, para penumpang yang sebagian besar masih berusia remaja ini mencoba memancing keributan. Mereka berteriak-te­riak mencoba menakut-nakuti pe­numpang yang sedang menunggu di peron. Tak lupa mereka juga melempari petasan ke arah pe­num­pang yang menunggu. Na­mun, para penumpang lainnya tak bisa berbuat banyak.

Sangat disayangkan, petugas yang berjaga tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa tertunduk diam melihat perilaku penum­pang nakal tersebut. Sikap diam pe­tugas membuat penumpang na­kal tersebut menjadi-jadi, mereka melempari petasan ke arah pe­tu­gas yang mencoba menghampiri. Umpatan-umpatan kotor bernada menantang juga diteriakkan kepada petugas.

Namun, karena kalah jumlah petugas tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa bangga dan puas tam­pak di wajah para penumpang na­kal tersebut ketika berlalu me­ninggalkan Stasiun Tebet.

Bagaimana tanggapan penum­pang pada hari pertama pengo­pe­rasian commuter line? Siti Fat­ma­wati, 22 tahun, warga Tanjung Priok (Jakarta Utara) yang setiap hari menggunakan kereta menuju Depok ini menuturkan, menaiki KRL Ekspres yang sudah di­ha­puskan jauh lebih nyaman di­ban­dingkan naik KRL com­muter line. 

“KRL Ekspres waktu tem­puh­nya lebih cepat aja dibandingkan naik commuter line. Itu karena com­­muter line berhenti di setiap sta­­siun sehingga makan waktu le­bih lama. Meskipun KRL Eks­pres bayarnya mahal fasilitasnya ba­gus,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka.

Ketika masih menjadi peng­guna setia KRL Ekspres, Siti ha­nya menghabiskan waktu sekitar 30 menit dari Stasiun Juanda me­nuju Stasiun Depok. Naik com­mu­ter line AC atau Non- AC, kata Siti, menghabiskan waktu selama 50-60 menit.

Agar tak memakan banyak wak­tu commuter line atau KRL Ekonomi AC dan Non-AC, Siti me­nyarankan, PT KAI me­nam­bah kecepatannya. “Sebagai pe­nik­mat KRL Eks­pres,  jujur saya ke­cewa sama yang commuter line. Jika com­mu­ter line di­ren­ca­na­kan untuk jangka panjang saya sangat ber­ha­rap kecepatannya ditambah. Saya yang selama ini menjadi pe­nikmat KRL ekspres jadi kita nggak telat,” katanya.

Mahasiswi Jurusan Public Re­lations Universitas Indonesia ini pun mencoba membandingkan ke­untungan menaiki KRL Eko­nomi AC dengan KRL Ekonomi Non-AC. KRL Ekonomi AC hanya dianggap unggul karena memiliki fasilitas pendingin dan tidak adanya pedagang yang berkeliaran di dalam gerbong.

“Harga ekonomi Non AC terlalu murah hanya satu-dua ribu ribu dibandingkan KRL Ekonomi AC Jakarta di atas lima ribu. Per­bedaannya, Ekonomi AC nggak ada pedagang, Ekonomi Biasa ada pedagang. Ekonomi AC biar pakai AC nggak berasa dingin­nya. Namanya doang yang beda, kualitas mah sama,” tandasnya.

Bahkan, dirinya cenderung le­bih memilih menaiki KRL Eko­no­mi Non-AC dibandingkan me­naiki KRL Ekonomi AC. Sebab, jika penumpang di atas KRL Ekonomi AC berjubel me­nye­bab­kan udara menjadi pengab.

“Lebih baik naik KRL Eko­no­mi Non AC, daripada yang KRL Ekonomi AC. Kalau penum­pang­nya rame jadinya pengab karena nggak ada ventilasi. Kalau Eko­nomi Non AC pintu dan jen­de­lanya dibuka semua, jadi ada sir­kulasi udara yang masuk,” ucapnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA