Kasus terbaru dialami Ruyati binti Satibi. Wanita berusia 54 taÂhun ini dihukum pancung pemeÂrintah Arab Saudi pada hari Sabtu (18/6). Hukuman mati itu dijaÂtuhkan karena Ruyati dianggap bersalah membunuh Ipat, ibu majikannya.
Ruyati merupakan warga KamÂpung Ceger RT 3 RW 2 Nomor 28, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saat Rakyat Merdeka menyambangi tempat tinggalnya, suasana duka masih tampak meÂnyelimuti keluarga besarnya.
Nampak anak dan cucunya maÂsih berkumpul. Selain itu, beÂbeÂrapa kerabat Ruyati masih berÂkumÂpul di rumah sederhana terÂseÂbut. Mereka memilih mengisi waktu dengan berbincang-bincang.
Tampaknya suasana duka tidak hanya dirasakan keluarga besar RuÂyati, tapi juga menyelimuti warÂga Desa Sukadarma. Hal itu bisa diÂlihat dari bendera kuning yang maÂsih terpasang di seÂpanjang jalan.
Tak terlalu sulit menemukan ruÂmah Ruyati. Warga sekitar bisa meÂÂnunjukkan dengan persis leÂtak ruÂmahnya Atau cukup meÂngiÂkuti benÂdera kuning yang diÂlekatkan di pohon di sampig kiri dan kanan jalan, kita akan samÂpai ke rumah Ruyati.
Tiga karangan bunga ucapan berduka diletakkan di depan ruÂmah yang dicat warna merah jambu itu. Salah satunya pengiÂrimnya Bupati Bekasi, Saduddin.
Rumah keluarga Ruyati bisa dibilang sederhana. Atapnya terbuat dari genteng berwarna alami. Bangunannya hanya berlanta satu. Meski dindingnya dari tembok, kondisinya terlihat sudah tua. Warna merah jambu yang melapisi dindingnya tampak mulai kusam dimakan usia.
Di bagian dalam pekarangan rumah lurus dengan pagar dileÂtakkan berjejer kursi plastik berÂwarna hijau. Di tempat inilah berÂkumpul beberapa kerabat dan anak Ruyati. Raut muka mereka terlihat masih sedih. Topik yang diÂbahas dalam perbincangan meÂreka pun masih seputar kisah traÂgis yang menimpa Ruyati.
Keluarga Ruyati tidak hanya diÂkunjungi oleh sanak sudara mauÂpun tetangganya. BerdasartÂkan pantaun
Rakyat Merdeka, ruÂmah Ruyati juga dikunjungi perÂwakilan Kementerian PemÂberÂdaÂyaan Perempuan dan PerÂlinÂduÂngan Anak serta Kementerian TeÂnaga Kerja dan Transmigrasi.
Mengetahui kedatangan tamu, salah satu wanita yang sedang asyik mengobrol beranjak dari tempat duduknya. Evi Kurniati begitulah dia memperkenalkan dirinya. Dia merupakan putri keÂdua Ruyati. Sikap wanita berÂkeÂrudung ini ramah dan bersahabat. Ia lalu mengajak berbincang di dalam rumah.
Evi menuturkan, keluarganya sangat terkejut mendengar kabar Ruyati telah dieksekusi pemeÂrinÂtah Arab Saudi. “Kita terpukul, saÂngat syok sekali. Ayah saya dan adikÂÂÂnya ibu saya kena stroke menÂdeÂngar kabar ibu sudah diÂpenggal. Bagai petir di siang boÂlong menÂdengar kabar itu,†ujarnya dengan suara bergetar.
Keluarga besar Ruyati mendeÂngar kabar tersebut juga bukan dari pemerintah, melainkan dari LSM Migrant Care. Pihak KeÂmenterian Luar Negeri baru meÂngabari sehari kemudian. “Udah basi banget,†kata Evi.
Evi dan keluarga sangat meÂnyesalkan tidak mendapat kabar apapun mengenai eksekusi itu. Seharusnya, kata Evia, keluarga mendapatkan pemberitahuan dari pemerintah kapan pelaksanaan hukuman itu.
“Kami menyesalkan hukuman mati ini, dan ini dikarenakan keÂterÂlambatan pemerintah IndoÂneÂsia dalam menangani kasus ibu,†ungkapnya dengan nada kecewa.
Dia pun menceritakan kembali awal mula kasus yang menimpa ibundanya. Ruyati dituduh memÂbunuh pada tanggal 12 Januari 2010. Keluarga besarnya menÂdapat kabar itu dari Marni, rekan Ruyati sesama TKW. Kebetulan majikan Ruyati dan Marni kakak beradik.
Lewat telepon, Marni menÂceÂritakan selama satu tahun empat bulan Ruyati bekerja dia kerap menÂdapat penyiksaan dari majikannya.
“Mbak Marni yang menceriÂtakan apa yangg terjadi, termasuk membuka semua penderitaan ibu saya disitu. Tiga hari baru kerja, ibu saya sudah disiksa dan diaÂnaÂya. Majikannya memperlÂaÂkuÂkan ibu dengan tidak manusiawi. Dilempar dengan sepatulah, deÂngan sandallah. Manggil ibu saya nggak cukup mulut bernada tingÂgi, apa yang ada di depan mata ikut melayang,†ujarnya.
Menurut Evi, Marni sempat beÂrÂat menyampaikan bahwa RuÂyati telah membunuh keluarga majiÂkannya. “Dia bilang, ‘Mbak uda tau belum berita ibu sakit?’ Dia nggak berani ngomong langÂsung, baru setelah saya desak dia mau ngomong. ‘Yang kuat ya, ibu memÂÂbunuh ibu majikannya. Ibu majiÂkannya Ibu Ruyati adaÂlah ibu majikan saya juga. MaÂjikan ibu Ruyati kakak beradik dengan majikan ibu saya’,†kata Evi menÂceÂritakan omongan Marni di telepon.
Setelah mendengar kabar itu, keluarga Ruyati berembuk. MeÂreka lalu mendatangi sponsor dan perusahaan yang memÂbeÂrangÂkatÂkan Ruyati ke Arab Saudi. Tapi, pihak sponsor meminta keluarga tak memercayai kabar itu. “MeÂreka bilang banyak berdoa semoÂga hal itu tak benar-benar terjadi. Kita menganggap mereka lepas tanggung jawab,†ujarnya.
Setelah itu, Marni menjadi sulit dihubungi karena dibatasi majiÂkannya untuk menelepon ke tÂaÂnah air. “Tiap Marni telpon dimaÂrahin. Katanya mau berkomplot ama anak ibu Ruyati. Dia jadinya agak susah dihubungi,†katanya.
Mengetahui Ruyati ditahan, keluarga mendatangi kantor KeÂmenterian Luar Negeri (KemenÂlu) dan Badan Nasional PenemÂpatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Keluarga merasa mendapat harapan karena Kemenlu berjanji akan menunjuk pengacara handal untuk membantu kasus Ruyati. “Kalau kami nggak datang ke Kemenlu, nggak akan dikabarin,†kata Evi.
“Karena nggak puas saya ke Kemenakertrans, tetap nggak puas saya ke BNP2TKI. Kakak saya malah pernah dimaki-maki orang Kemenlu. Mereka bilang, ‘Ibu percaya nggak sama pemeÂrintah. Kami juga berupaya,’ kata mereka. Mungkin kami dianggap bawel. Saya pikir sah-sah saja begitu, karna kami nggak dikaÂbarin apapun,†tutur Evi.
Evi menilai pemerintah IndoÂnesia tak serius menangani kasus yang menjerat ibunya. Buktinya, dalam tempo setahun sejak RuÂyati dituduh membunuh, dia diÂpancung. “Apa pembelaan yang dilakukan pemerintah? PenÂdampingan seperti apa? Kalau memang dibela mana hasilnya? Tau-tau ibu saya sudah dipengÂgal,†tanyanya.
Selama proses pengadilan di Arab Saudi, lanjut Evi, keluarga tak pernah dikabari. “Vonisnya saja nggak dengar. Seharusnya ada proses banding juga sebelum dieksekusi. Pemerintah nol besar, gagal melakukan perlindungan terhadap ibu saya,†katanya kesal.
Andai saja pemerintah IndoÂnesia lebih cepat membantu peÂnanganan kasusnya, Evi yakin ibunya tidak akan dihukum mati. “Ibu saya membunuh karena keÂrap dianiaya majikan,†tanÂdasnya.
Pesan Terakhir Ruyati:
Jaga KesehatanKepergian Ruyati ternyata meninggalkan luka yang menÂdalam di hati anak-anaknya. Ibu tiga anak itu dipandang seÂbagai sosok yang gigih. BahÂkan, karena ingin menghidupi anak-anaknya, Ruyati memilih mengais rejeki ke negeri orang.
Ruyati lahir di Bekasi 7 Juli 1957 silam. Dia menikah deÂngan Ubeidawi dan memiliki tiga orang anak. Yakni Een Nuraini (35), Evi Kurniati (32), dan Irwan Setiawan (27).
Suami Ruyati hanyalah buÂruh tani yang penghasilannya pas-pasan. Karena tekanan ekoÂnomi, Ruyati memutuskan mengadu nasib dengan menÂjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Arab.
Ruyati telah berulang kali menjadi TKW. Pertama beÂrangÂkat pada 1998. Ia di luar neÂgeri selama lima tahun. TaÂhun 2004, dia kembali berÂangÂkat dan pulang pada 2009. Pada tahun yang sama dia berangkat ke Arab Saudi.
Kehidupan keluarga berubah setelah Ruyati bekerja di luar nÂeÂgeri. Setiap bulan, dia meÂngirim uang untuk keluarga di Tanah Air. Ruyati ingin anak-anak bisa menempuh jenjang pendidikan yang tinggi.
“Umi tidak mau kami seperti dia, tidak punya sekolah. TeÂkadnya sangat kuat agar kita megecap pendidikan yang tinggi,†kata Evi mengingat kembali kisah itu.
Kegigihan Ruyati memÂbuahÂkan hasil. Dia berhasil meÂnyeÂkoÂlahkan Evi hingga lulus seÂkoÂlah perawat Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta. Evi sempat bekerja sebagai peraÂwat di klinik bersalin di CikaÂrang, Kabupaten Bekasi, sebeÂlum berhenti sementara waktu karena melahirkan.
Sementara kakaknya, Een Nuraeni, 35 tahun, meski haÂnya lulusan Sekolah Menengah Atas telah membangun rumah tangga sendiri. Sedangkan putÂra bungsu, Iwan Setiawan, 27 tahun, dibelikan sebuah mobil angkutan kota yang kini berÂopeÂrasi di jalur Cikarang- SuÂkaÂtani dan telah berkeluarga.
Selain membantu anak-anakÂnya tumbuh dan hidup mandiri, Ruyati bisa membangun sebuah rumah atas lahan seluas 100 meter persegi. Walaupun sederÂhana, tapi permanen. Seluruh dindingnya dari bata yang diÂplester. Meski pembangunanÂÂÂnya belum selesai, ruÂÂmah terseÂÂÂbut cukup layak dihuni untuk hari tua
Evi menuturkan, pada kebeÂrangÂkatan yang ketiga kalinya, ibunya berniat mengumpulkan uang untuk ditabung. Sebab, kondisi tubuhnya sudah tak sekuat dulu.
Meski mendapat perlakuan kasar dari sang majikan, Ruyati tidak sekalipun berkeluh kesah kepada anak-anaknya. Kepada anak-anaknya, dia selalu meÂngabarkan konÂdiÂsinya baik dan menyenangkan.
Ketika berbicara melalui samÂÂbungan telepon terakhir kali, teÂpatnya dua hari sebelum ditangÂkap, Ruyati berpesan agar seluÂruh anak dan cucunya menjaga kesehatan. Tak lupa dia berjanji segera pulang seteÂlah menyeÂlesaikan kontrak dua tahun. Ketika itu, masa kerja RuÂyati sudah satu tahun empat bulan.
“Umi akan segera pulang setelah beres kontrak,†kata Evi menirukan ucapan ibunya. Namun niat itu kandas. RuÂyati divonis bersaÂlah dan dihukum pancung Sabtu pekan lalu.
Kepada pemerintah, keluarga punya permintaan terakhir. Yakni jenazah Ruyati dibawa ke Tanah Air. untuk dimaÂkamÂkan di kampung halaman.
[rm]