Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Suami dan Adik Ruyati Kena Serangan Stroke

Keluarga TKW Yang Dihukum Pancung Masih Syok

Rabu, 22 Juni 2011, 07:48 WIB
Suami dan Adik Ruyati Kena Serangan Stroke
RMOL. Julukan ‘pahlawan devisa’ bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepertinya baru sebatas jargon belaka. Setiap tahun ada saja TKI yang jadi korban kekerasan maupun meregang nyawa di negeri di negeri. Ironisnya, informasi mengenai kasus yang mendera mereka selalu diketahui terlambat.

Kasus terbaru dialami Ruyati binti Satibi. Wanita berusia 54 ta­hun ini dihukum pancung peme­rintah Arab Saudi pada hari Sabtu (18/6). Hukuman mati itu dija­tuhkan karena Ruyati dianggap bersalah membunuh Ipat, ibu majikannya.

Ruyati merupakan warga Kam­pung Ceger RT 3 RW 2  Nomor 28, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saat Rakyat Merdeka menyambangi tempat tinggalnya, suasana duka masih tampak me­nyelimuti keluarga besarnya.

Nampak anak dan cucunya ma­sih berkumpul. Selain itu, be­be­rapa kerabat Ruyati masih ber­kum­pul di rumah sederhana ter­se­but. Mereka memilih mengisi waktu dengan berbincang-bincang.

Tampaknya suasana duka tidak hanya dirasakan keluarga besar Ru­yati, tapi juga menyelimuti war­ga Desa Sukadarma.  Hal itu bisa di­lihat dari bendera kuning yang ma­sih terpasang di se­panjang jalan.

Tak terlalu sulit menemukan ru­mah Ruyati. Warga sekitar bisa me­­nunjukkan dengan persis le­tak ru­mahnya Atau cukup me­ngi­kuti ben­dera kuning yang di­lekatkan di pohon di sampig kiri dan kanan jalan, kita akan sam­pai ke rumah Ruyati.

Tiga karangan bunga ucapan berduka diletakkan di depan ru­mah yang dicat warna merah jambu itu. Salah satunya pengi­rimnya Bupati Bekasi, Saduddin.

Rumah keluarga Ruyati bisa dibilang sederhana. Atapnya terbuat dari genteng berwarna alami. Bangunannya hanya berlanta satu. Meski dindingnya dari tembok, kondisinya terlihat sudah tua. Warna merah jambu yang melapisi dindingnya tampak mulai kusam dimakan usia.

Di bagian dalam pekarangan rumah lurus dengan pagar dile­takkan berjejer kursi plastik ber­warna hijau. Di tempat inilah ber­kumpul beberapa kerabat dan anak Ruyati. Raut muka mereka terlihat masih sedih. Topik yang di­bahas dalam perbincangan me­reka pun masih seputar kisah tra­gis yang menimpa Ruyati.

Keluarga Ruyati tidak hanya di­kunjungi oleh sanak sudara mau­pun tetangganya. Berdasart­kan pantaun Rakyat Merdeka, ru­mah Ruyati juga dikunjungi per­wakilan Kementerian Pem­ber­da­yaan Perempuan dan Per­lin­du­ngan Anak serta Kementerian Te­naga Kerja dan Transmigrasi.

Mengetahui kedatangan tamu, salah satu wanita yang sedang asyik mengobrol beranjak dari tempat duduknya. Evi Kurniati begitulah dia memperkenalkan dirinya. Dia merupakan putri ke­dua Ruyati. Sikap wanita ber­ke­rudung ini ramah dan bersahabat. Ia lalu mengajak berbincang di dalam rumah.

Evi menuturkan, keluarganya sangat terkejut mendengar kabar Ruyati telah dieksekusi peme­rin­tah Arab Saudi. “Kita terpukul, sa­ngat syok sekali. Ayah saya dan adik­­­nya ibu saya kena stroke men­de­ngar kabar ibu sudah di­penggal. Bagai petir di siang bo­long men­dengar kabar itu,” ujarnya dengan suara bergetar.

Keluarga besar Ruyati mende­ngar kabar tersebut juga bukan dari pemerintah, melainkan dari LSM Migrant Care. Pihak Ke­menterian Luar Negeri baru me­ngabari sehari kemudian. “Udah basi banget,” kata Evi.

Evi dan keluarga sangat me­nyesalkan tidak mendapat kabar apapun mengenai eksekusi itu. Seharusnya, kata Evia, keluarga mendapatkan pemberitahuan dari pemerintah kapan pelaksanaan hukuman itu.

“Kami menyesalkan hukuman mati ini, dan ini dikarenakan ke­ter­lambatan pemerintah Indo­ne­sia dalam menangani kasus ibu,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Dia pun menceritakan kembali awal mula kasus yang menimpa ibundanya. Ruyati dituduh mem­bunuh pada tanggal 12 Januari 2010. Keluarga besarnya men­dapat kabar itu dari Marni, rekan Ruyati sesama TKW. Kebetulan majikan Ruyati dan Marni kakak beradik.

Lewat telepon, Marni men­ce­ritakan selama satu tahun empat bulan Ruyati bekerja dia kerap men­dapat penyiksaan dari majikannya.

“Mbak Marni yang menceri­takan apa yangg terjadi, termasuk membuka semua penderitaan ibu saya disitu. Tiga hari baru kerja, ibu saya sudah disiksa dan dia­na­ya. Majikannya memperl­a­ku­kan ibu dengan tidak manusiawi. Dilempar dengan sepatulah, de­ngan sandallah. Manggil ibu saya nggak cukup mulut bernada ting­gi, apa yang ada di depan mata ikut melayang,” ujarnya.

Menurut Evi, Marni sempat be­r­at menyampaikan bahwa Ru­yati telah membunuh keluarga maji­kannya. “Dia bilang, ‘Mbak uda tau belum berita ibu sakit?’ Dia nggak berani ngomong lang­sung, baru setelah saya desak dia mau ngomong. ‘Yang kuat ya, ibu mem­­bunuh ibu majikannya. Ibu maji­kannya Ibu  Ruyati ada­lah ibu majikan saya juga. Ma­jikan ibu Ruyati kakak beradik dengan majikan ibu saya’,” kata Evi men­ce­ritakan omongan Marni di telepon.

Setelah mendengar kabar itu, keluarga Ruyati berembuk. Me­reka lalu mendatangi sponsor dan perusahaan yang mem­be­rang­kat­kan Ruyati ke Arab Saudi. Tapi, pihak sponsor meminta keluarga tak memercayai kabar itu. “Me­reka bilang banyak berdoa semo­ga hal itu tak benar-benar terjadi. Kita menganggap mereka lepas tanggung jawab,” ujarnya.

Setelah itu, Marni menjadi sulit dihubungi karena dibatasi maji­kannya untuk menelepon ke t­a­nah air. “Tiap Marni telpon dima­rahin. Katanya mau berkomplot ama anak ibu Ruyati. Dia jadinya agak susah dihubungi,” katanya.

Mengetahui Ruyati ditahan, keluarga mendatangi kantor Ke­menterian Luar Negeri (Kemen­lu) dan Badan Nasional Penem­patan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Keluarga merasa mendapat harapan karena Kemenlu berjanji akan menunjuk pengacara handal untuk membantu kasus Ruyati. “Kalau kami nggak datang ke Kemenlu, nggak akan dikabarin,” kata Evi.

“Karena nggak puas saya ke Kemenakertrans, tetap nggak puas saya ke BNP2TKI. Kakak saya malah pernah dimaki-maki orang Kemenlu. Mereka bilang, ‘Ibu percaya nggak sama peme­rintah. Kami juga berupaya,’ kata mereka. Mungkin kami dianggap bawel. Saya pikir sah-sah saja begitu, karna kami nggak dika­barin apapun,” tutur Evi.

Evi menilai pemerintah Indo­nesia tak serius menangani kasus yang menjerat ibunya. Buktinya, dalam tempo setahun sejak Ru­yati dituduh membunuh, dia di­pancung. “Apa pembelaan yang dilakukan pemerintah? Pen­dampingan seperti apa? Kalau memang dibela mana hasilnya? Tau-tau ibu saya sudah dipeng­gal,” tanyanya.

Selama proses pengadilan di Arab Saudi, lanjut Evi, keluarga tak pernah dikabari. “Vonisnya saja nggak dengar. Seharusnya ada proses banding juga sebelum dieksekusi. Pemerintah nol besar, gagal melakukan perlindungan terhadap ibu saya,” katanya kesal.

Andai saja pemerintah Indo­nesia lebih cepat membantu pe­nanganan kasusnya, Evi yakin ibunya tidak akan dihukum mati. “Ibu saya membunuh karena ke­rap dianiaya majikan,” tan­dasnya.

Pesan Terakhir Ruyati:
Jaga Kesehatan

Kepergian Ruyati ternyata meninggalkan luka yang men­dalam di hati anak-anaknya. Ibu tiga anak itu dipandang se­bagai sosok yang gigih. Bah­kan, karena ingin menghidupi anak-anaknya, Ruyati memilih mengais rejeki ke negeri orang.  

Ruyati lahir di Bekasi 7 Juli 1957 silam. Dia menikah de­ngan Ubeidawi dan memiliki tiga orang anak. Yakni Een Nuraini (35), Evi Kurniati (32), dan Irwan Setiawan (27).

Suami Ruyati hanyalah bu­ruh tani yang penghasilannya pas-pasan. Karena tekanan eko­nomi, Ruyati memutuskan mengadu nasib dengan men­jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Arab.

Ruyati telah berulang kali menjadi TKW. Pertama be­rang­kat pada 1998. Ia di luar ne­geri selama lima tahun. Ta­hun 2004, dia kembali ber­ang­kat dan pulang pada 2009. Pada tahun yang sama dia berangkat ke Arab Saudi.

Kehidupan keluarga berubah setelah Ruyati bekerja di luar n­e­geri. Setiap bulan, dia me­ngirim uang untuk keluarga di Tanah Air. Ruyati ingin anak-anak bisa menempuh jenjang pendidikan yang tinggi.

“Umi tidak mau kami seperti dia, tidak punya sekolah. Te­kadnya sangat kuat agar kita megecap pendidikan yang tinggi,” kata Evi mengingat kembali kisah itu.

Kegigihan Ruyati mem­buah­kan hasil. Dia berhasil me­nye­ko­lahkan Evi hingga lulus se­ko­lah perawat Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta. Evi sempat bekerja sebagai pera­wat di klinik bersalin di Cika­rang, Kabupaten Bekasi, sebe­lum berhenti sementara waktu karena melahirkan.

Sementara kakaknya, Een Nuraeni, 35 tahun, meski ha­nya lulusan Sekolah Menengah Atas telah membangun rumah tangga sendiri. Sedangkan put­ra bungsu, Iwan Setiawan, 27 tahun, dibelikan sebuah mobil angkutan kota yang kini ber­ope­rasi di jalur Cikarang- Su­ka­tani dan telah berkeluarga.

Selain membantu anak-anak­nya tumbuh dan hidup mandiri, Ruyati bisa membangun sebuah rumah atas lahan seluas 100 meter persegi. Walaupun seder­hana, tapi permanen. Seluruh dindingnya dari bata yang di­plester. Meski pembangunan­­­nya belum selesai, ru­­mah terse­­­but cukup layak dihuni untuk hari tua

Evi menuturkan, pada kebe­rang­katan yang ketiga kalinya, ibunya berniat mengumpulkan uang untuk ditabung. Sebab, kondisi tubuhnya sudah tak sekuat dulu.

Meski mendapat perlakuan kasar dari sang majikan, Ruyati tidak sekalipun berkeluh kesah kepada anak-anaknya. Kepada anak-anaknya, dia selalu me­ngabarkan kon­di­sinya baik dan menyenangkan.

Ketika berbicara melalui sam­­bungan telepon terakhir kali, te­patnya dua hari sebelum ditang­kap, Ruyati berpesan agar selu­ruh anak dan cucunya menjaga kesehatan. Tak lupa dia berjanji segera pulang sete­lah menye­lesaikan kontrak dua tahun. Ketika itu, masa kerja Ru­yati sudah satu tahun empat bulan.

“Umi akan segera pulang setelah beres kontrak,” kata Evi menirukan ucapan ibunya. Namun niat itu kandas. Ru­yati divonis bersa­lah dan dihukum pancung Sabtu pekan lalu.

Kepada pemerintah, keluarga punya permintaan terakhir. Yakni jenazah Ruyati dibawa ke Tanah Air. untuk dima­kam­kan di kampung halaman.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA