Di dalam ketentuan hukm internasional -
The Basic Principles of Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, dijelaskan beberapa ketentuan antara lain,
law enforcement officials, in carrying out their duty, shall, as far as possible, apply non-violent means before resorting to the use of force and firearms.
They may use force and firearms only if other means remain ineffective or without any promise of achieving the intended result.
Di dalam ketentuan internasional tersebut jelas tidak ada larangan penggunaan kekerasan dan senjata api oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Kepala Kepolisian Negara (Perkap) No 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan oleh Polri dalam menjalankan tugasnya.
Kekuatan yang dimaksud dalam Perkap tahun 2009 adalah, penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian. Di dalam Perkap Pasal 1 dinyatakan bahwa, tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang/dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.
Merujuk pada ketentuan Perkap tersebut penggunaan antara lain gas air mata yang dikatakan merupakan penyebab kematian telah dibenarkan berdasarkan Pasal 3, prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dibenarkan asalkan dilandaskan pada prinsip a. legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku; b. nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi; c. proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian /korban/penderitaan yang berlebihan; d. kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum; e. preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan; f. masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
Merujuk keenam prinsip tersebut tindakan kepolisian di Kanjuruhan bukan tindakan yang diharamkan namun kesalahan cenderung terhadap pegelola dan penjaga stadion/steward yang tidak membuka semua pintu stadion segera setelah mengetahui terjadi kerusuhan dimana penonton/supporter bereaksi keras dan agresif atas hasil yang tidak memuaskan mereka alias kekalahan Arema-Malang. Di dalam Perkap tahun 2009, penggunaan gas air mata dibenarkan dalam menghadapi kerusuhan yang mengancam jiwa petugas atau masyarkat sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam keadaan darurat/terdesak tanpa pilihan lain yang tepat untuk mencegah terjadinya korban jiwa masyarakat lainnya.
Di dalam kerusuhan Kanjuruan yang terjadi bukan suatu kesengajaan (
dolus) untuk menimbulkan korban 127 orang melainkan telah terjadi suatu kelalain (
culpa) yang mengakibatkan kematian orang lain. Kebijakan menghadapi peristiwa Kanjuruhan memerlukan sikap empati dan bijak naik terhadap korban maupun penyelenggara termasuk unsur keamanan karena pertama, peristiwa tsb termasuk force majeure yang diakui secara universal merupakan alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan siapapun yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Kedua, fungsi hukum bukan saja memelihara ketertiban masyarakat melainkan juga mewujudkan fungsi rehabilitasi, restoratif dan kolektif terhadap suatu peristiwa. Ketiga, Hukum pidana mengenal dua prinsip yaitu prinsip proporsionalitas dan prinsip subsidiartitas. Prinsip pertama menuntut bahwa dalam penyelesaian suatu peristiwa tidak boleh tujuan menghalalkan cara dalam arti harus terdapat keseimbangan antara keduanya. Prinsip kedua memberikan petunjuk agar dalam menghadapi beberapa alternatif penyelesaian harus didahulukan penyelesaian yang mengambil risiko terkecil. Keempat, sarana sanksi dalam hukum dikenal selain hukuman penjara juga hukuman tambahan a.l. kompensasi terhadap korban-korban seperti yang dijanjikan pemerintah kepada korban kanjuruhan.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa sikap saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab bukan sikap yang arif dan bijak dalam menyelesaikan peristiwa Kanjuruhan. Saran ke depan agar ada Perkap tentang Standar Keamanan di dalam persepakbolaan yang menitikberatkan pada ratio perbandingan jumlah penonton, kapasitas stadion dan jumlah petugas Keamanan.
*Penulis merupakan guru besar ilmu hukum pidana dari Universitas Padjadjaran
BERITA TERKAIT: