Begitu dikatakan pegiat politik Tsamara Amany. Dia menyayangkan bahwa gerakan ini semakin menyerupai perburuan yang tidak berkesudahan.
“Belakangan ini ramai gerakan boikot, cancel culture, bahkan intimidasi. Lama-lama ini gerakannya sepertimemburu secara habis-habisan siapapun yang pilihannya 02 kemarin,” ujar Tsamara melalui postingan di Instagram, Sabtu 29 Maret 2025.
Tsamara juga menyoroti bagaimana sejumlah figur publik dan influencer bahkan merasa perlu mengklarifikasi atau meminta maaf atas pilihan politik mereka. Namun, meskipun sudah melakukan hal tersebut, mereka tetap menjadi sasaran kritik dan serangan.
“Pemilu sudah selesai dan Pak Prabowo telah dilantik sebagai presiden untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang pilihan politiknya. Kita harus move on dan fokus ke depan daripada terus-menerus mempermasalahkan pilihan politik masa lalu,” katanya.
Lebih lanjut, Tsamara mengingatkan bahwa demokrasi seharusnya menjunjung tinggi kebebasan memilih tanpa ancaman atau paksaan.
Ia mempertanyakan apakah cancel culture terhadap kelompok tertentu justru bukan bentuk lain dari teror dalam demokrasi.
“Kita semua sedang memperjuangkan demokrasi, tapi di saat yang sama justru banyak yang mengglorifikasi doxing dan cancel culture terhadap orang-orang yang berbeda pilihan politik. Apakah ini demokrasi? Apakah ini bukan standar ganda?” tambahnya.
Menurut Tsamara, demokrasi tidak hanya memberikan hak kepada mereka yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tetapi juga melindungi hak mereka yang memilih untuk tidak ikut serta.
“Yang ikut demo itu hak, yang tidak ikut demo juga hak. Yang pro terhadap pemerintah itu hak, yang mengkritik juga hak. Kebebasan memilih adalah esensi dari demokrasi,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: