Begitu dikatakan Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) Mardani Ali Sera dalam webinar Transisi Energi yang diselenggarakan oleh stratsea dan Asatu Research & Insights.
"Kita mesti berkolaborasi dan bersatu mewujudkan Asia Tenggara yang berbasis energi, bersih, dan terbarukan," ujar Mardani dalam keterangan tertulis, Kamis 6 Maret 2025.
Pernyataan Mardani, diamini Associate Professor di Universiti Malaya Dr. Zul Ilham. Kata dia, kolaborasi menjadi perlu karena besarnya kebutuhan investasi menjadi hambatan utama.
“Biaya investasi masih menjadi hambatan bagi teknologi seperti geothermal dan offshore wind, yang membutuhkan modal awal yang sangat besar,” tuturnya.
Senada, Christina Ng, Co-founder dari Energy Shift Institute mengungkapkan penyebab mengapa investor masih ragu untuk menggelontorkan dananya untuk proyek transisi energi di Asia Tenggara.
Kata dia, investor pada prinsipnya membutuhkan kebijakan yang stabil. Sayangnya, di pasar negara berkembang, termasuk Asia Tenggara, kebijakan seringkali berubah-ubah, yang menciptakan citra kurang baik.
"Hal ini tidak memberikan kepercayaan bagi investor yang ingin menanamkan modal di kawasan ini," tuturnya.
Mengutip data dari World Economic Forum, ASEAN merupakan konsumen energi terbesar keempat di dunia, dengan populasi yang terus bertumbuh mendekati 700 juta jiwa.
Dalam 20 tahun terakhir, konsumsi energi di kawasan ini meningkat rata-rata 3 persen per tahun, dan tren ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir dekade ini.
Akibatnya, emisi karbon di kawasan ini terus meningkat, melampaui rata-rata global sebesar 1 persen pada 2022, dengan kenaikan tahunan sekitar 3 persen.
Besarnya kontribusi negara-negara Asia Tenggara terhadap konsumsi energi dan emisi karbon menegaskan urgensi penguatan kolaborasi serta penyelarasan kebijakan di kawasan ini.
BERITA TERKAIT: