Hal tersebut ditegaskan Ketua KPU RI, Hasyim Asyari merujuk hasil verifikasi administrasi dan pencermatan Daftar Calon Tetap (DCT) yang telah ditetapkan hari ini, Jumat (3/11).
"Caleg perempuan dari 18 parpol (nasional), keterwakilannya untuk di semua dapil (daerah pemilihan) di seluruh Indonesia sudah berada di atas 30 persen," kata Hasyim di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Hasyim memaparkan, syarat minimal jumlah perempuan sebagai caleg diamanatkan Pasal 65 ayat (1) UU Pemilu. Syarat ini harus dipenuhi parpol jika ingin dinyatakan memenuhi syarat pencalonan.
Bunyi norma itu yakni, "Setiap partai politik (parpol) dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen".
"Kalau dibuat rata-rata dari 18 parpol, jumlah persentasenya 37,13 persen," tambah Hasyim.
Namun demikian, pernyataan Ketua KPU RI ini berbeda dengan klaim Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Perwakilan koalisi, R Valentina Sagala menyebut, 7.971 perempuan Indonesia kehilangan haknya untuk dicalonkan karena kebijakan KPU RI bertentang dengan Putusan Mahkamah Agung (MA).
Putusan MA yang dimaksud merupakan hasil uji materiil Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023, yang intinya mengatur cara menghitung pemenuhan keterwakilan 30 persen perempuan di setiap dapil.
Valentina meyakini, KPU tidak menerapkan putusan MA yang isinya mengubah cara penghitungan yang mulanya memakai pembulatan ke bawah menjadi pembulatan ke atas.
Padahal, putusan MA mengamanatkan KPU menerapkan mekanisme penghitungan pembulatan ke bawah, supaya keterwakilan caleg perempuan bisa terpenuhi 30 persen.
Kecurigaan koalisi itu, juga dipicu oleh KPU yang memutuskan tidak merevisi aturan tersebut di dalam PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
BERITA TERKAIT: