Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Buntut Putusan MK Bolehkan Gibran Nyalon Pilpres, KPU Bakal Surati DPR dan Pemerintah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Senin, 16 Oktober 2023, 23:28 WIB
Buntut Putusan MK Bolehkan Gibran Nyalon Pilpres, KPU Bakal Surati DPR dan Pemerintah
Jumpa pers Ketua KPU RI, Hasyim Asyari dengan jajarannya menindaklanjuti putusan MKdi Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam (16/10)/RMOL
rmol news logo Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan Gibran Rakabuming Raka nyalon di pemilihan presiden (Pilpres) 2024, berimbas pada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lembaga penyelenggara Pemilu ini harus berkirim surat kepada DPR dan pemerintah.

Ketua KPU RI, Hasyim Asyari mengatakan, Putusan MK untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS), Almas Tasqibirruu Re A mengharuskan Pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU (PKPU) 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diubah.

Pasalnya, dalam Pasal 75 ayat (4) UU Pemilu diwajibkan bagi KPU dalam membentuk PKPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat.

"Seperti yang saya sampaikan tadi, KPU harus meresponnya dengan cara berkirim surat pada dua pihak. Karena kalau dalam UU Pemilu, dalam pembentukkan PKPU kan disebutkan harus berkonsultasi pada DPR dan lembaga pemerintah," ujar Hasyim dalam jumpa pers di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam (16/10).

Dia menegaskan, isi surat KPU yang dikirim kepada DPR dan pemerintah adalah amar putusan MK dan juga tindak lanjut KPU untuk dilaksanakan pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden, dimana akan dimulai dengan pendaftaran capres-cawapres yang akan dimulai pada Kamis, 19 Oktober 2023.

"Kami sampaikan perkembangan putusan MK tersebut dengan merujuk pada norma yang di ada pada amar putusan MK dan kami sampaikan pada pemerintah dan pada DPR dalam rangka untuk bagaimana sikap untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," demikian Hasyim menambahkan.

Dalam permohonan perkara ini, Almas Tsaqibbirru Re A selaku pihak Pemohon satu-satunya memberikan contoh kasus pihak yang potensi dirugikan dalam pemberlakuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yakni Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo.

Intinya, Almas yang mengaku sebagai pengagum Gibran keberatan, jika sosok kepala daerah yang dia nilai sukses membangun Kota Surakarta itu tidak bisa mencalonkan diri di Pilpres 2024.

Padahal menurutnya, putra sulung Jokowi dan Iriana Jokowi itu punya pengalaman mengemban kepemimpinan eksekutif di tingkat daerah atas kepercayaan yang diberikan rakyat melalui pilkada.

Dalam pertimbangan hukum MK memutuskan telah mengabulkan gugatan Almas. Disampaikan Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah bahwa dalil permohonan yang menyebut Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional beralasan menurut hukum. Sebabnya, syarat batas usia minimum capres-cawapres tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945.

Selain itu, Guntur menyatakan MK berdasarkan batas penalaran yang wajar memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal. Namun seyogyanya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia, yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta ikut dalam kontestasi presiden dan wakil presiden.

"Dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi, karena membuka peluang kepada putra-putri bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan in casu sebagai presiden atau wakil presiden," ucapnya.

Bahkan, Guntur menyatakan apabila frasa pengecualian bagi jabatan kepala daerah ikut pilpres dicantumkan secara tegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara ini, dipastikan tidak merugikan kandidasi capres atau cawapres yang berusia 40 tahun ke atas.

"Bahkan, pembatasan usia minimal capres dan cawapres 40 tahun, semata masih menurut mahkamah merupakan wujud perlakuan yang tidak profesional dan proporsional, sehingga bermuara pada terkuaknya ketidakadilan yang intolerable," jelasnya.

"Keadilan intolerable sebagaimana dimaksud karena pembatasan usia itu tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu," demikian Guntur menambahkan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA