Direktur Eksekutif
Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay yang mewakili koalisi menyampaikan hal tersebut, usai menyerahkan berkas pengaduan di Kantor DKPP RI, Jalan KH. Wahid Hasyim, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (15/8).
Hadar menjelaskan, alasan koalisi ini mengadukan 7 pimpinan KPU RI karena dia nilai kinerja yang berjalan tidak sesuai peraturan perundang-undangan dan konstitusi.
"Kami menganggap bentuk kebijakan yang diambil ini sudah sangat serius. Dan penyelenggara Pemilu kita ini tidak bisa menjadi penyelenggara yang bekerja bertentangan dengan Undang-Undang, Konstitusi, berbohong, nggak bisa," ujar Hadar.
Dia menjelaskan, kebijakan serius yang dimaksud adalah terkait aturan pemenuhan keterwakilan 30 persen perempuan sebagai calon anggota legislatif (Caleg), yang tercantum dalam Peraturan KPU (PKPU) 10/2023.
"Yang kami adukan adalah KPU RI telah membuat Peraturan KPU (10/2023) khususnya di Pasal 8 ayat 2 huruf a," sambungnya.
Terkait peraturan itu, Hadar mengungkap isinya menyebutkan penghitungan keterwakilan 30 persen perempuan adalah pecahan desimal ke bawah.
"Apabila dua angka di belakang koma kurang dari 50, maka dibulatkan ke bawah," tambahnya memaparkan.
Akibat dari sikap ketidakkonsistenan KPU, yang menurut Hadar hanya mengklaim mengubah aturan tersebut menjadi pembulatan ke atas lantaran tidak dijalankan, maka dampaknya keterwakilan tidak terpenuhi.
"Setelah kami kaji dari pengumuman KPU, ternyata hampir 8.000 daerah pemilihan partai-partai politik yang mengajukan bakal calon (perempuan) itu kurang dari 30 persen," urai Hadar.
"Jadi, dampak dari peraturan yang bertentangan dengan Konstitusi dan UU Pemilu, serta kita semua dibohongi, itu telah berdampak sangat besar bagi kesempatan para perempuan untuk bisa menjadi calon-calon di Pemilu," tandasnya.
BERITA TERKAIT: