"Khusus untuk UU Ciptaker, keputusan MK Nomor 90/PUU/XVII/20202 menyatakan bahwa UU tersebut inkonstitusional bersyarat dan harus dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun," ujar pengamat hukum dan politik dari Universitas Syiah Kuala (USK), Saifuddin Bantasyam, kepada
Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu (25/3).
Menurut Saifuddin, jika tidak dilakukan perbaikan maka UU Ciptaker tersebut menjadi sepenuhnya tak berlaku. Selain itu, semestinya revisi UU Ciptaker dilakukan oleh pemerintah dan legislatif sesuai perintah MK, walaupun waktu dua tahun itu terlalu pendek.
"Tetapi perintah MK jauh lebih penting direspons karena bersifat final atau mengikat, baik pemerintah dan legislatif tak memiliki pilihan lain," sebut Saifuddin.
Lebih lanjut Saifuddin mengatakan, jika mengacu kepada putusan MK, UU Ciptaker sudah cacat formil sejak lahir. DPR RI baru mengesahkan Perppu Ciptaker itu dalam sidang paripurna masa sidang keempat pada 21 Maret 2023 lalu.
"Seharusnya, pengesahan dilakukan pada masa sidang ketiga pada pertengahan Februari lalu, tapi DPR tak mengesahkannya. Karena itu Perppu itu sebenarnya sudah batal demi hukum," tegas Saifuddin.
Saifuddin menambahkan, sesuai dengan ketentuan yang ada, pengesahan sebuah Perppu agar sah menjadi UU jika disetujui oleh legislatif pada masa sidang berikutnya, setelah rancangan diserahkan kepada wakil rakyat.
Adapun masa berikutnya adalah masa sidang ketiga karena rancangan diserahkan pada masa sidang kedua tahun lalu.
Selain itu, menurut Saifuddin, pembentukan Perppu ada syaratnya. Salah satunya adalah adanya kegentingan yang memaksa. Syarat ini tak bisa dipenuhi, karena keadaan yang genting itu tidak terjadi di Indonesia.
"Jadi, pengesahan itu bisa jadi karena ada motif yang bersifat politis atau motif untuk keuntungan kelompok-kelompok tertentu dalam pengelolaan negara," jelasnya.
Menurut Saifuddin, nasib Perppu Ciptaker ini mungkin akan sama dengan UU Cipta Kerja dulu. Pihak-pihak yang dirugikan dengan pengesahan Perppu dapat mengajukan Judicial Review (JR) ke MK.
"Biarlah MK yang memutuskan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan legislatif itu," ujarnya.
Saifuddin menilai, melalui mekanisme hukum tersebut (JR), mungkin kedua lembaga negara akan mendapat pembelajaran kembali.
"Karena pembelajaran sebelumnya, kelihatan belum cukup," demikian Saifuddin Bantasyam.
BERITA TERKAIT: