Desakan itu disampaikan Caleg DPR RI Nomor Urut 2 Partai Golkar Dapil DKI Jakarta I, Erwin Ricardo melalui Ketua Tim Pemenangannya, Elfrans Golkari di Jakarta, Selasa (23/4).
"Sejak hari pertama tim kami sudah menemukan adanya Form C1 yang telah ditandatangani oleh Petugas KPPS, tetapi pada kolom Partai Golkar sengaja dibiarkan kosong, atau tidak diberikan tanda silang (cross). Padahal, kenyataannya di dalam C1 Plano, ada perolehan suara caleg dari Partai Golkar," ungkap Elfrans.
Sehingga, lanjut Wakil Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta ini, patut diduga kolom kosong pada Form C1 itu akan diisi oleh oknum-oknum mafia suara untuk menggelembungkan suara caleg tertentu. Penggelembungan suara ke caleg lain itu terindikasi kuat dengan hilangnya perolehan suara atas nama caleg Erwin Ricardo.
Untuk itu Elfrans mendesak, pihak KPU harus bertanggung jawab untuk melaksanakan rekapitulasi ulang, dalam rangka menjamin legitimasi caleg terpilih, kualitas demokrasi dan kedaulatan rakyat.
"Semua pihak termasuk KPU harus menjaga kewibawaan pemerintahan Jokowi, mengingat Pemilu serentak ini merupakan sejarah yang pertama di dunia dan digelar disaat pemerintahan Pak Jokowi," tegas Elfrans dalam keterangannya.
Sementara itu, Marojahan Sihombing, Caleg DPRD DKI Nomor Urut 5 dari Partai Golkar Dapil-6 (Kecamatan Cipayung, Pasar Rebo, dan Ciracas) juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sejumlah kasus yang terjadi di Dapilnya. Misalnya di TPS 15 Kelurahan Makasar, Kecamatan Makasar, telah ditemukan kasus saat kotak suara dibuka, tidak ada Form C1 tetapi adanya Form C1 Plano. Anehnya lagi, tidak ada kertas suara di dalam kotak suara.
Mengenai kronologi kasusnya, Marojahan menjelaskan setelah rekapitulasi di tingkat kecamatan, saat rekapitulasi berlangsung di GOR Kecamatan Makasar, ketika kotak suara dibuka, di dalam kotak itu tidak ada Form C1, tetapi ada C1 Plano. Setelah dicari-cari, ternyata C1 dan kertas suara dibawa oleh Petugas KPPS.
Saksi-saksi parpol memprotes karena suara di C1 Plano tidak sinkron dengan yang ada di Form C1. Lantaran terjadi sengketa di tingkat rekapitulasi, pihak kepolisian kemudian menjemput Panitia KPPS yang kemudian datang dengan membawa C1 dan kertas suara dari luar GOR. Ketika diteliti kembali pada Form C1 Plano, ternyata suara caleg hanya berjumlah 12, bukan 14 suara seperti yang tertera pada C1. Oleh karena tidak ada kesepakatan dari para saksi, akhirnya penghitungan suara pun dipending.
Marojahan menyesalkan tidak adanya keberadaan saksi Partai Golkar dalam Pileg 2019 kali ini di wilayah Jakarta Timur. Padahal sebagai partai besar, semestinya Partai Golkar memiliki manajemen saksi yang baik sejak awalnya.
Kader Beringin ini juga menyesalkan waktu penghitungan suara yang molor waktunya hingga dinihari, sehingga terjadi berbagai kemungkinan ketidakjujuran dalam penghitungan suara. Selain itu, manajemen pengamanan oleh aparat keamanan di TPS pun terus melemah selama masa penghitungan suara.
Menurut Marojahan, sejumlah kasus yang berkaitan dengan Form C1 juga terjadi di Kelurahan Bambu Apus dan Kelurahan Ceger. "Tampaknya telah beredar Form C1 dalam berbagai versi. Kenyataan ini bisa merusak citra KPU. Oleh karena itu KPU harus melakukan rekapitulasi ulang berbasis pada Form C1 Plano," desaknya.
BERITA TERKAIT: