Dalam kesaksiannya dia menyatakan, KPU Barito Utara telah bertindak adil dengan menindaklanjuti rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Barito Utara, terkait dugaan pelanggaran Pemilu yang terjadi di tempat pemungutan suara (TPS) 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru.
"Dalam pandangan ahli, KPU Barito Utara sudah menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu dengan berpedoman pada PKPU No 15/2024. Dengan demikian, KPU Barito Utara telah bertindak adil dalam prinsip pemilu demokratis," kata Hasyim Asyari dalam kesaksiannya, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 14 Februari 2025.
Dia juga menilai, KPU Barito Utara sudah bekerja dengan baik dalam menerapkan parameter Pemilu demokratis. Terlebih dengan penjelasan yang rinci dari KPU Barito Utara mengenai tidak adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali, dan tidak adanya pemberian suara oleh pemilih yang tidak berhak, sebagaimana didalilkan oleh pemohon.
"Menurut saya, KPU Barito Utara sudah mampu menerapkan parameter Pemilu demokratis, terutama indikator daftar pemilih dengan derajat tinggi, mutakhir dan akurat, pelaksanaan pemungutan suara sesuai aturan, tidak ada pemberian suara oleh pemilih yang tidak berhak, dan tidak ada pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali," tuturnya.
Ia juga menggaris bawahi bahwa proses Pilkada Barito Utara 2024 sudah sesuai aturan yang berlaku, mulai dari pemungutan suara hingga rekapitulasi suara. Oleh karena itu, hasil Pilkada Barito Utara 2024 bisa dinyatakan sah dan benar secara hukum.
"Dalam konteks penerapan norma hukum, KPU Barito Utara juga sudah benar, yaitu proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan seterusnya, dan penyelesaian pelanggaran administrasi," terangnya
"Dengan begitu, secara yuridis keputusan KPU Barito Utara tentang penetapan hasil Pilkada Barito Utara adalah sah dan benar menurut hukum," sambung Hasyim.
Sementara saksi ahli lainnya, Bambang Cahya Eka Widodo menyoroti pemilih yang tidak membawa KTP elektronik di TPS 04 Desa Malawaken, Kec. Teweh Baru. Menurutnya, tindak lanjut yang dilakukan KPU sudah tepat, karena pemilih itu sudah diverifikasi dan sesuai fakta sebagai pemilih yang terdaftar di DPT.
"Bahwa telah dipastikan pemilih yang tidak membawa KTP itu adalah pemilih terdaftar di DPT, dikenali KPPS, dan perangkatnya termasuk pengawas TPS. Maka dasar tersebut bisa diyakini bahwa pemilih yang hadir itu adalah yang berhak," jelas Bambang.
Kemudian, ia juga menyebut bahwa penghitungan suara ulang di tingkat kecamatan dapat dibenarkan secara hukum. Hal itu bagian dari proses koreksi untuk menghadirkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara Pemilu.
"Kesalahan penghitungan di TPS 01 Kelurahan Melayu, kemudian dilakukan saran perbaikan oleh PPK di Kecamatan Teweh Tengah sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Upaya ini harus dihargai sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas penyelenggara," lanjut Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Kemudian, pakar Kepemiluan UI, Titi Anggraini menegaskan, tidak semua pelanggaran prosedur di TPS harus dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Hal ini terkait dengan pemilih yang diperbolehkan menggunakan hak pilihnya di TPS 04 Malawaken dengan form C Pemberitahuan KWK. Apalagi secara fakta, mereka adalah pemilih yang berhak sesuai ketentuan UU.
"KPPS yang membolehkan pemilih membawa form model C pemberitahuan KWK menggunakan hak pilihnya memang pelanggaran administratif, tetapi tidak semua pelanggaran administratif itu harus dilakukan PSU," terang Titi yang menjadi Saksi Ahli dalam sidang MK ini.
Terkait rekomendasikan PSU, menurut Titi, apabila hal itu terjadi secara kasuistis dan spesifik harus dilakukan dengan hati-hati, cermat dan dasar hukum yang kuat.
"Hal itu berkaitan dengan upaya agar tidak terjadi distorsi suara pemilih atau perubahan intensi akibat kondisi yang berbeda antara hari pemungutan suara serentak dengan waktu saat PSU karena hasil akhir sudah tergambarkan," paparnya.
"Selain itu, juga untuk mencegah meluasnya kecurangan akibat PSU, seperti politik uang, intimidasi, dan korupsi," pungkas Titi.
BERITA TERKAIT: