Ahli Hukum: Terpidana Percobaan Tidak Beda Dengan Terpidana Lain

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 20 September 2016, 13:30 WIB
Ahli Hukum: Terpidana Percobaan Tidak Beda Dengan Terpidana Lain
Margarito Kamis/Net
rmol news logo Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 5/2016 yang mengizinkan terpidana percobaan untuk mencalonkan diri harus segera dicabut oleh KPU sendiri. Jika KPU tidak mau, sebaiknya peraturan itu digugat ke Mahkamah Agung oleh peserta Pilkada ataupun masyarakat umum.

"Orang yang berstatus terpidana percobaan tidak boleh mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. Terpidana percobaan itu tetap saja bentuk hukuman pidana, tapi dia tidak masuk dalam penjara dengan beberapa syarat ditetapkan oleh hakim," kata pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (20/9).

Beda terpidana biasa dengan terpidana percobaan hanya pada hukuman fisik. Terpidana percobaan tidak diwajibkan masuk penjara secara fisik. Namun, yang bersangkutan akan dijebloskan ke dalam penjara jika dalam masa tertentu yang diatur hakim, misalnya satu tahun, ia terbukti melakukan pelanggaran pidana.

Hukuman pidana percobaan biasanya dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang karena tindakannya tidak terlalu berbahaya sehingga dia tidak perlu dihukum secara fisik.

"Tetap saja itu adalah bentuk hukuman, hanya saja dia tidak dimasukkan ke penjara, tidak masuk secara fisik. Secara hukum terpidana percobaan adalah orang yang dihukum," tegas doktor hukum jebolan Universitas Indonesia ini.

Pasal dalam PKPU 5/2016 yang mengizinkan terpidana percobaan menjadi peserta Pilkada adalah pelanggaran terhadap hukum di atasnya yaitu UU Pilkada. Dalam UU itu diatur bahwa terpidana, termasuk terpidana percobaan, tidak diperkenankan mengikuti Pilkada.

Untuk mencegah kekisruhan hukum lanjutan setelah Pilkada berlaku dan mengakibatkan peserta Pilkada tertentu dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, ia menyarankan KPU segera mencabut aturan itu dengan cara membuat aturan baru yang membatalkan pasal kontroversial tersebut.

"Kalau KPU tidak mau cabut, maka pasal itu bisa digugat ke Mahkamah Agung oleh orang-orang yang punya kepentingan dalam Pilkada, seperti kandidat, atau bisa juga oleh teman-teman LSM yang selama ini punya kepedulian tinggi terhadap Pilkada yang bersih," terang pria asal Ternate ini. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA