Nilai tebusan yang disamaratakan sebesar 2 persen untuk repatriasi sampai dengan 30 September 2016 bagi WP dalam dan luar negeri dianggap mencerminkan nilai ketidakadilan.
Bagi para WP luar negeri, nilai 2 persen adalah kecil. Namun bagi WP dalam negeri, walaupun jumlah tebusannya kecil, tetapi kontribusi mereka untuk menggerakkan perekonomian nasional lebih signifikan ketimbang WP luar negeri yang kebanyakan lari ke instrumen pasar uang. Ditambah, ada tekanan kepada WP dalam negeri yang akan dikenakan denda 200 persen jika tidak melaporkan keseluruhan asetnya.
"Ini adalah bentuk pemaksaan kepada rakyat guna menutupi bobroknya sistem pengelolaan keuangan negara," kata Presiden Konfrederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, pada Rabu (31/8).
Menurut KSPI, satu-satunya jalan bagi negara untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah menegakkan aturan, bukan tax amnesty.
"Pajak adalah bersifat memaksa, dan pengampunan pajak justru memperlihatkan ketertundukan negara di hadapan pengemplang pajak," lanjut Iqbal.
KSPI mengajak seluruh rakyat tegas menolak UU Pengampunan Pajak tersebut dengan beberapa poin alasan. Pertama, UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 dan 23 A yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain adalah bersifat memaksa.
Alasan selanjutnya, selama ini KSPI mengklaim bahwa kaum buruh sangat taat dalam hal pembayaran pajak melalui PPh 21. Demikian juga pengusaha mikro-kecil dan menengah yang selalu ditarik pajak. Secara umum, UU Pengampunan Pajak tidak adil bagi masyarakat Indonesia yang selalu patuh bayar pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, dan pajak atas bunga bank.
"UU Pengampunan Pajak yang mengampuni pengusaha besar adalah bukti ketidakadilan pemerintah dalam memandang objek pajak," jelasnya.
Selain itu, UU Pengampunan Pajak hanya akan menguntungkan para pengemplang pajak dan membuat rawan masuknya dana "haram". Tax amnesty berpotensi dimanfaatkan sebagai ladang "cuci uang" oleh pengusaha yang menjalankan bisnis haram seperti prostitusi, perjudian, narkoba, illegal logging, human trafficking, BLBI, dan jenis korupsi lain karena UU ini tidak melihat asal-usul harta.
KSPI juga menilai UU Pengampunan Pajak tidak menjamin peningkatan penerimaan negara di sektor pajak. Sejak diberlakukan 1 Juli 2016 hingga 22 Agustus 2016, target uang tebusan baru 0,6 persen. Ini mengindikasikan bahwa tax amnesty tidak efektif dalam hal meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak. Selain itu, tidak ada jaminan dana tax amnesty dan repatriasi akan permanen di Indonesia. Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan tax amnesty, dana yang masuk hanya sementara guna mengejar pengampunan pajak atau Surat Sakti Pajak, kemudian keluar lagi. Contoh kegagalannya adalah Argentina dan India.
Sebelumnya pemerintah telah memberikan Tax Allowance (kelonggaran pajak) melalui PP 52/2011 yang memfasilitasi modal asing dengan memberikan kelonggaran pajak sebesar 5 persen per tahun selama enam tahun. Dengan adanya tax amnesty, negara semakin paradoks, di satu sisi ingin meningkatkan penerimaan negara dari pajak, tetapi di sisi lain memberikan kelonggaran pajak bagi pemodal asing.
"Ini akan berdampak pula pada persaingan pasar domestik. Ada potensi perusahaan domestik akan kalah bersaing dan berujung pada terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja besar-besaran," lanjut Iqbal.
KSPI menegaskan, UU Pengampunan Pajak telah membuktikan bahwa pemerintah dan DPR telah mengorbankan kepentingan ekonomi jangka panjang dan lebih fundamental seperti reformasi pajak dan fiskal, penegakan prinsip rule of law, equality of law, dan keadilan sosial.
[ald]
BERITA TERKAIT: