MAKI menilai putusan tersebut menimbulkan kerancuan dalam pandangan hukum yang objektif, khususnya dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan yang memerlukan pembuktian sederhana tentang unsur utang piutang.
Boyamin menjelaskan bahwa dalam perkara ini terdapat janji pemberian bonus yang dicantumkan dalam akta notaris tahun 1998. Namun, tidak ada kejelasan mengenai kapan janji tersebut berakhir dan seluruh formatnya tidak jelas.
“Seharusnya hal ini dibuktikan melalui Pengadilan Perdata Biasa (Pengadilan Negeri), bukan Pengadilan Niaga,” kata Boyamin dikutip Minggu (30/6).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MAKI mengajukan permohonan kepada Ketua Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pengawalan dan pengawasan secara khusus terhadap putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 226/PDT.Sus-PKPU/2023.
Boyamin menekankan pentingnya pengawasan ini untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.
Dalam surat permohonannya, MAKI juga mencatat adanya
dissenting opinion atau pendapat berbeda dari salah satu hakim dalam putusan tersebut.
Pendapat tersebut menyatakan bahwa seharusnya PKPU ini dicabut karena tidak ada dasar hukum yang jelas, terutama terkait ahli waris.
Selain itu, terdapat beberapa poin penting lainnya yang disoroti oleh MAKI, antara lain jumlah utang yang tidak pasti, ketiadaan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mengenai pembagian laba bersih perusahaan sesuai akta tahun 1998, serta penetapan hakim pengawas yang seharusnya final namun dibatalkan dan diabaikan oleh hakim pemutus.
"Kami mencurigai adanya ketidakberesan dalam proses pengambilan putusan oleh para hakim pemutus. Hal ini menambah kecurigaan kami dan memerlukan pengawasan ketat dari Komisi Yudisial," kata Boyamin.
Dengan harapan, MAKI meminta agar Ketua Komisi Yudisial menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengawalan dan pengawasan khusus terhadap putusan ini.
"Kami memohon agar perkara ini diawasi dengan seksama untuk menghindari adanya penyimpangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi,” tutup Boyamin.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan pailit dalam kasus yang melibatkan PKPU antara Arsjad Rasjid cs dengan ahli waris Eka Said, Rozita, dan Ery yang berstatus warga negara Singapura.
Putusan tersebut tertanggal 31 Mei 2024, yang dikeluarkan dengan nomor perkara PKPU NO.226/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA.JKT.PST, mendapat catatan
dissenting opinion dari Hakim Anggota II Darianto, yang menilai debitor tidak pantas dilibatkan dalam PKPU dan seharusnya PKPU dibatalkan bukan dipailitkan.
BERITA TERKAIT: