Menurut pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie amar putusan tersebut harus dilihat dan diteliti sisi apa yang menjadi obyek perkaranya.
"Bila obyek perkaranya adalah gugatan izin lingkungan, maka hanya surat izin tersebut yang harus segera dicabut kembali, bukan mencakup penghentian izin seluruhnya," kata Jimly kepada wartawan, Senin (21/11).
Sebelumnya, MA pada 5 Oktober lalu memutuskan mengabulkan gugatan perkara izin lingkungan Semen Rembang yang diajukan sekelompok orang. Pada dua persidangan di PTUN Semarang dan PTUN Surabaya, majelis hakim memutuskan menolak gugatannya.
Selain itu, Jimly juga menyebutkan, apakah Surat Keputusan (SK) juga memerintahkan penghentian aktivitas pabrik Semen Rembang atau justru tidak sama sekali. Semua itu tergantung kepada isi materi SK pencabutan izin lingkungan.
"Tergantung SK pencabutannya. Tapi biasanya ada masa transisi," ujar Jimly.
Putusan MA juga dinilai tidak mengganggu skema bisnis perusahaan Semen Indonesia, yang salah satunya terkait dengan tujuan dilaksanakannya industri semen di wilayah Rembang. Menurut Jimly, tidak bisa disamakan antara dikabulkannya gugatan izin lingkungan, maka menandakan pelaksanaan industri Semen Rembang juga tidak boleh lagi berada di sana.
"Obyek Tata Usaha Negara (TUN) adalah keputusan administrasi saja, bukan menggugat juga aktivitas bisnis industri pabrik," ucap Jimly.
Walaupun keputusan kasasi menyangkut gugatan izin lingkungan adalah tertinggi, Jimly menjelaskan, namun pihak Semen Rembang tetap bisa melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Pabrik Semen Rembang hingga kini telah menyelesaikan proses pembangunan mencapai 96 persen serta diharapkan tahun 2017 dapat berproduksi. Investasi pembangunan pabrik Semen Rembang menelan biaya hingga Rp 4,5 triliun dan diperkirakan mampu berproduksi hingga 130 tahun.
[ian]
BERITA TERKAIT: