"Pemerasan makin sering terjadi saat Pilkada, kepala daerah yang tidak memiliki modal kuat rentan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memeras pebisnis. Kalau tidak diberi duit, bisa jadi izin usaha pebisnis ditarik, dipersulit, pokoknya seperti premanismelah," beber Rudy Siregar selaku wakil ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hukum dan Advokasi.
Tuduhan penyuapan Direktur PT Media Karya Sentosa kepada mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amim Imron adalah salah satu contoh praktek pembegalan investor di daerah. Hal ini pun ditekankan kuasa hukum Bambang, Fransisca Indrasari.
"Sejak awal Pak Bambang telah terus terang mengakui bahwa dirinya sendiri berinisiatif dalam memberikan suap tersebut akibat tekanan oleh pihak Fuad," jelas Fransisca.
Dari seluruh fakta persidangan dan pernyataan para saksi, lanjut Fransisca, terungkap bahwa terdapat intimidasi dan tekanan fisik maupun non-fisik yang mempengaruhi kelangsungan usaha dan instalasi pengolahan MKS di Gresik.
Hal serupa juga pernah terjadi dalam kasus Siti Hartati Murdaya yang divonis bersalah menyuap Bupati Buol Amran Batipilu pada tahun 2013.
Menurut Rudi, penangkapan pengusaha atas dugaan menyuap penguasa di daerah tidak boleh dianggap enteng dampaknya bagi iklim investasi di Indonesia. Pasalnya, ada fenomena di mana pebisnis dikriminalkan oleh sistem yang ada.
"Mungkin perlu kodifikasi korupsi, jika memang perlu ada fee untuk berbisnis, ya sudah tuangkan saja ke UU, biar aturan main jelas," katanya lebih lanjut.
Salah satu fenomena yang lazim dijumpai di indonesia adalah praktek pungli (pungutan liar). Sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan di atas kertas dan praktek hasilnya bisa berbeda.
Jika pada masa Orde Baru, korupsi berpusat pada lingkaran elit rezim pemerintah, maka di era reformasi praktek korupsi ini malah terdesentralisasi, menyebar ke daerah. 14 tahun setelah tumbangnya rezim Orba, menurutnya, Indonesia justru mendapat musuh baru, yakni pemerintahnya sendiri.
"Pemerintah menjadi musuh terbesar masyarakat karena tidak adanya sistem check and balance yang tidak bekerja dengan baik," jelasnya.
Euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menuju kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi.
Apa yang terjadi kemudian? Para kepala daerah dengan mentalitas koruptor ini lantas menyalahgunakan kekuasaan mereka. Daerah-daerah di Indonesia umumnya memiliki potensi sumber daya alam sehingga investasi yang diperlukan tidak sedikit dan harus menembus regulasi yang berlapis-lapis.
Kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah saat ini sudah cukup besar sehingga membuat rawan disalahgunakan. Tidak jarang izin usaha dipersulit.
Minimnya infrastruktur juga menjadi kendala utama, imbuh dia. Padahal menurut UU yang berlaku, pemerintah daerah berhak menyediakan prasarana seperti jalan, listrik, air bersih, sertifikat tanah, dan lain-lain. Namun tidak jarang prasarana tersebut tidak tersedia sehingga pebisnis harus membangun prasarana tersebut
.[wid]
BERITA TERKAIT: