Dalam rilisnya baru-baru ini, Forbes menyebut perdana menteri perempuan pertama Jepang itu sebagai “pendatang baru politik dengan peringkat tertinggi” dalam daftar tahun ini.
Kenaikan Takaichi dinilai sebagai sesuatu yang tidak banyak diprediksi para pengamat. Forbes juga menggambarkannya sebagai sosok yang “agak rumit dari sudut pandang gender”, terutama karena ia hanya menunjuk dua perempuan dalam kabinet berisi 19 menteri. Hal ini dianggap memperkuat kesan bahwa politik Jepang masih berjalan dengan pola lama.
“Kekuatan Takaichi terletak pada pemahaman dan implementasi kebijakannya,” ujar Kepala Sekretaris Kabinet, Minoru Kihara, dikutip dari Japan Times, Jumat 12 Desember 2025.
Takaichi bukan nama baru di politik Jepang. Ia pertama kali terpilih sebagai anggota parlemen pada 1993 dan meniti karier panjang di Partai Demokrat Liberal sebelum akhirnya dilantik sebagai perdana menteri pada Oktober, sebuah kemenangan yang menarik perhatian internasional.
Gaya komunikasi Takaichi dikenal tegas dan blak-blakan. Pernyataannya bulan lalu bahwa Jepang akan “merespons” jika China melakukan blokade maritim terhadap Taiwan memicu ketegangan diplomatik dengan Beijing, termasuk laporan penurunan jumlah wisatawan Tiongkok ke Jepang. Instruksinya kepada pejabat pemerintah untuk “bekerja, bekerja, bekerja” juga sempat menuai kritik.
Meski penuh kontroversi, dukungan publik terhadapnya tetap kuat. Jajak pendapat terbaru menempatkan tingkat persetujuan terhadap kabinet Takaichi di angka 64 persen.
Di Amerika Serikat, Takaichi juga dipandang positif. Para analis menyebut hubungannya yang dekat dengan Presiden AS Donald Trump ikut membantu menjaga stabilitas hubungan Tokyo-Washington.
Daftar Forbes tahun ini masih dipimpin tokoh-tokoh besar seperti Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di posisi pertama, diikuti Christine Lagarde dari Bank Sentral Eropa.
BERITA TERKAIT: