Pasalnya, dikatakan oleh Gurubesar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, persoalan Palestina tidak semata masalah hukum, namun juga berkaitan dengan politik internasional, sosial, dan bahkan ekonomi.
"Kalau kita berbicara Palestina untuk menjadi negara merdeka, maka ada bayang-bayang Amerika Serikat bagi penyelesaian bagi bangsa Palestina," ujarnya dalam webinar ICC Jakarta dan IJABI pada Kamis (21/5).
"Kalau kita lihat AS, kita juga harus lihat di dalamnya ada dua partai yang saling berkompetisi untuk memperebutkan kekuasaan, yaitu Demokrat dan Republik," tambahnya.
Jika AS dipimpin oleh Republik, pada dasarnya akan lebih agresif seperti saat ini ketika dipimpin oleh Donald Trump. Misalnya dengan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem yang menyalahi resolusi Dewan Keamanan PBB dan pandangan masyarakat internasional.
Meski begitu, Hikmahanto mengungkapkan, baik Demokrat maupun Republik akan tetap mendukung Israel sebagai sebuah negara.
Selain itu, masalah Palestina juga diperburuk dengan pecahnya persatuan internal, dengan adanya Fatah dan Hamas, serta lemahnya soliditas Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
"Seandainya OKI ini solid, maka bisa saja jadi kekuatan penanding bagi kekuatan-kekuatan seperti AS. Sayangnya menurut saya, soliditas OKI masih cair dan belum terbentuk," ujar Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani tersebut.
"Dan kalau terbentuk, ada tangan-tangan yang kita tidak tahu dari mana muncul untuk memecah belah soliditas Islam,
devide et impera (politik pecah belah)," imbuhnya.
Indonesia sendiri, dijelaskan oleh Hikmahanto, sejak awal berdiri, selalu memperjuangkan rakyat Palestina. Alasan tersebut sesuai dengan UUD 1945 dan sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Namun, karena posisi eknomi maupun militer yang tidak sebanding, maka Indonesia tidak bisa berbuat banyak.
BERITA TERKAIT: