Namun, pemilu tersebut digelar secara terbatas dan menuai kritik luas dari PBB kelompok HAM, serta partai oposisi yang menilai prosesnya tidak bebas, adil, maupun kredibel.
Pemilu hanya berlangsung di sekitar sepertiga dari total 330 wilayah administratif Myanmar, sementara sebagian besar daerah lain tidak dapat menggelar pemungutan suara akibat konflik bersenjata yang masih berkecamuk.
Selain itu, pemungutan suara juga dibatalkan sepenuhnya di 65 wilayah.
“Ini berarti setidaknya 20 persen negara ini kehilangan hak pilih pada tahap ini,” kata koresponden
Al Jazeera, Tony Cheng, dari Yangon.
Di Yangon, tempat pemungutan suara dibuka sejak pukul 06.00 waktu setempat, arus pemilih dilaporkan berjalan relatif normal. Namun, Cheng mencatat minimnya partisipasi generasi muda.
“Pemilih umumnya berusia paruh baya, dan kami tidak melihat banyak anak muda. Ketika melihat surat suara, pilihannya sangat terbatas. Mayoritas adalah partai-partai yang berafiliasi dengan militer,” ujarnya.
Panglima junta Myanmar, Senior Jenderal Min Aung Hlaing, turut memberikan suara di Naypyidaw tak lama setelah tempat pemungutan suara dibuka.
Pihak militer menyebut pemilu sebagai peluang awal baru bagi stabilitas politik dan pemulihan ekonomi.
Pemilu berlangsung tanpa keikutsertaan partai-partai anti-militer. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi telah dibubarkan, sementara Suu Kyi sendiri masih ditahan.
Kondisi tersebut membuat Partai Persatuan, Solidaritas, dan Pembangunan (USDP) yang didukung junta militer diprediksi kuat akan keluar sebagai pemenang.
Analis International Crisis Group, Richard Horsey menilai kemenangan USDP hampir tak terelakkan.
“Hasilnya hampir tidak diragukan: kemenangan telak USDP dan kelanjutan kekuasaan militer dengan lapisan sipil yang tipis,” tulisnya.
Menurutnya, pemilu ini tidak akan meredakan krisis politik Myanmar, justru berpotensi memperdalam perpecahan dan memperpanjang kegagalan negara tersebut.
Sementara itu, Kepala HAM PBB Volker Turk menegaskan pemilu berlangsung dalam situasi represif dan penuh kekerasan.
“Tidak ada kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kebebasan berekspresi, berserikat, atau berkumpul secara damai untuk menjamin partisipasi rakyat yang bebas dan bermakna,” ujarnya.
BERITA TERKAIT: