Dikutip dari
Reuters, minyak mentah Brent naik 1,07 Dolar AS atau 1,7 persen dan ditutup pada 63,91 Dolar AS per barel, pada perdagangan Jumat, 9 Mei 2025, atau Sabtu dini hari WIB.
Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 1,11 Dolar AS atau sekitar 1,9 persen dan ditutup pada 61,02 Dolar AS.
Secara mingguan, kedua harga acuan ini naik lebih dari 4 persen.
Selain kesepakatan dagang Inggris-AS, optimisme diperkuat oleh berita bahwa Menteri Keuangan AS Scott Bessent dijadwalkan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China di Swiss pada hari ini, Sabtu 10 Mei, menandakan kemungkinan kemajuan dalam penyelesaian sengketa perdagangan.
Pernyataan Presiden AS Donald Trump juga ikut mendorong optimisme, bahwa China harus membuka pasarnya untuk produk AS dan menyebut tarif sebesar 80 persen terhadap barang-barang dari China adalah "angka yang masuk akal."
“Pasar energi, meski sebelumnya lesu, mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan seiring dengan munculnya harapan baru di sektor perdagangan global,” kata analis minyak dari perusahaan pialang StoneX, Alex Hodes.
Komentar Trump dan kesepakatan Inggris-AS memicu harapan bahwa AS dan China juga bisa mencapai kesepakatan dagang. Sebagai informasi, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dijadwalkan bertemu Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, di Swiss pada Sabtu, 10 Mei 2025 waktu setempat.
Saat ini, tarif AS terhadap barang-barang impor dari China mencapai 145 persen.
“Kalau dibandingkan, tarif 80 persen memang jauh lebih rendah,” kata Hodes dalam catatan kepada kliennya.
Selain faktor dagang, ketegangan di Timur Tengah juga ikut mendorong naiknya harga minyak.
Analis dari platform perdagangan Tradu, Nikos Tzabouras, menyebutkan bahwa Israel baru saja mencegat rudal yang ditembakkan dari Yaman, hanya beberapa hari setelah Oman memediasi gencatan senjata antara AS dan kelompok Houthi di Yaman.
Meski begitu, masa depan harga minyak masih belum pasti.
Menurut Marcus McGregor, kepala riset komoditas dari perusahaan manajemen aset Conning, harga minyak ke depan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi AS, kebijakan perdagangannya, serta penerapan sanksi terhadap Iran dan Rusia.
BERITA TERKAIT: