Serapan Gas Domestik Terkendala Infrastruktur

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 28 Juli 2016, 10:45 WIB
rmol news logo Alokasi pasokan gas bumi untuk dalam negeri (domestik) mencapai 57 persen setara 4,016 miliar british thermal unit per hari (BBTUD).  Anehnya, meski porsi domestik kian besar, di lapangan, serapannya masih memble.

Menurut data SKK Migas, tahun 2015 untuk sektor listrik dari alokasi gas sebesar 1.273,23 bbtud, hanya dipakai 939.11 bbtud. Industri dengan alokasi 1.560,91 bbtud hanya dipakai 1.263,17 bbtud. Sementara pupuk yang diberikan jatah 796,96 bbtud hanya dimanfaatkan sebanyak 737,46 bbtud.Alokasi untuk PLN 14 kargo hanya terserap 11 kargo.
    
Pakar kebijakan energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa menilai, rendahnya serapan pasokan gas di dalam negeri terjadi karena minimnya infrastruktur penyaluran distribusi gas. 

"Solusinya pemerintah harus terus mendorong infrastruktur penyaluran gas," tegas Iwa, saat dihubungi.

Saat ditanya terkait ekspor gas alam cair (LNG) yang masih tinggi, mencapai 1,989 BBTUD (29,10 persen), sementara serapan LNG domestik hanya 403,79 BBTUD (5,91 persen), menurut Iwa, disebabkan beberapa faktor bisa karena ada kontrak jangka panjang, juga disebabkan tidak meratanya fasilitas infrastrur penerimaan LNG.

Contoh, LNG yang tersedia di Tangguh, belum bisa dikirim ke Papua atau Merauke karena infrastruktur tidak mendukung. 

Iwa mengingatkan, sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang tidak merata, maka harus dibuat dan dipersiapkan beragam transportasi penyaluran gas, tidak hanya mengandalkan pipa supaya gas yang ada di wilayah timur bisa tersalurkan merata.

"Jangan lagi, kebijakan terus berfokus pada minyak alias bahan bakar minyak," tegasnya.

Menurut Iwa potensi besar LNG alias gas alam, harus terus didorong oleh pemerintah dan tidak semata-mata untuk kepentingan pendapatan negara saja dengan mengekspor. Paradigmanya, kata Iwa, harus diubah yakni dimanfaatkan untuk mendorong ekonomi dalam negeri.

"Harus berpikir, energi bukan semata komoditas tapi dari penguatan ekonomi, infrastrtuktur," tandasnya.

Jika dibandingkan diesel, pengunaan gas untuk kapasitas 100 MW akan menghemat Rp 2 triliun per tahun. Kalau 200 MW akan menghemat Rp 4 triliun per tahun dengan harga gas sekarang.

Nah, dari 90 persen gas yang diekspor sekarang hanya 60 persen yang digunakan ekspor. Ada 30 persen yang nganggur. Tapi 30 persen ini 'untaken' alias tak terpakai. Jika buyer luar negeri membutuhkan maka diambil lagi. 

"Ketidakstabilan penyediaan gas ini menyebabkan konsumen selalu was-was dengan model kontrak gas yang tidak pasti ini. Hal ini melahirkan kontrak-kontrak jangka pendek," ucap Iwa.[wid]
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA