Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tak Lagi Diam, Vietnam Mulai Bersuara tentang Perlakuan China Terhadap Tentaranya dalam Peristiwa 14 Maret 1988

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 18 Maret 2022, 17:06 WIB
Tak Lagi Diam, Vietnam Mulai Bersuara tentang Perlakuan China Terhadap Tentaranya dalam Peristiwa 14 Maret 1988
Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh memberikan penghormatan di Johnson South Reef Battle Memorial, 12 Maret 2022/Net
rmol news logo Media Vietnam dipenuhi dengan artikel tentang pertempuran negara itu dalam melawan China, menyusul peringatan  34 tahun pertempuran melawan angkatan laut China di Laut China Selatan.

Tahun ini, terlihat banyak  yang berubah. Vietnam tidak lagi terdiam setiap kali peringatan itu datang.

Harian Nhan Dan, misalnya. Surat kabar resmi Partai Komunis, pada Senin (14/3) memuat tiga artikel tentang pertempuran Johnson South Reef dan Spratly di halaman depannya.

Artikel utama di media itu berjudul “Kemuliaan abadi bagi para pembela laut” yang isinya mengutuk angkatan laut China karena serangan yang mengabaikan keadilan dan akal sehat. Aksi militer mereka sama sekali tidak beralasan.

Ada juga laporan tentang upacara persembahan dupa untuk memperingati para martir pada peringatan 34 tahun Pertempuran Gac Ma di Danang.

Kemudian ada juga laporan tentang kunjungan Perdana Menteri Chinh ke provinsi Khanh Hoa, markas administrasi pulau Spratly Vietnam. Disebutkan dalam lapran itu, bahwa Chinh memerintahkan otoritas daerah untuk mengembangkan Spratly menjadi "pusat ekonomi, budaya dan sosial" di Laut Cina Selatan.

Vietnam nampaknya mulai menggeliat. Perlahan membisikkan apa yang selama ini disimpan dalam-dalam tentang pertentangan perlakuan China terhadap Vietnam.

Seperti yang dikatakan seorang analis Vietnam yang tidak mau disebutkan namanya dengan alasan tidak berwenang berbicara kepada media asing.

“Ini adalah pesan yang jelas tentang kedaulatan dan kemandirian maritim,” kata analis itu, seeprti dikutip dari Radio Free Asia, Kamis (17/3).

Analis politik dan blogger terkemuka lainnya, Huy Duc, menulis di halaman Facebook-nya: “Ini (perintah perdana menteri) adalah langkah strategis menuju pembentukan 'benteng kebijakan' kami untuk mempertahankan kedaulatan Vietnam di laut dan pulau-pulau kami.”

"Tidak ada negara yang bisa memilih tetangganya tetapi negara yang bermartabat tidak akan pernah dipenjara oleh geografi,” sambungnya.

Pemerintah Vietnam baru saja memperingati 34 tahun pertempuran melawan angkatan laut China di Laut China Selatan dengan upacara yang dipimpin oleh perdana menteri.

Editorial halaman depan di corong partai yang berkuasa, mengabarkan peristiwa itu sebagai langkah yang berani.

Akhir pekan lalu, Perdana Menteri Pham Minh Chinh melakukan kunjungan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Memorial for the Johnson South Reef Battle di provinsi selatan-tengah provinsi Khanh Hoa.  

Kunjungan itu dalam rangka memberikan penghormatan kepada 64 tentara Vietnam yang tewas dalam insiden 14 Maret 1988. Chinh adalah pemimpin tertinggi Vietnam pertama yang memimpin peringatan tentara yang gugur.

Johnson South, atau Gac Ma dalam bahasa Vietnam, adalah sebuah terumbu karang di kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Pada pertengahan Maret 1988, angkatan laut Vietnam mengirim dua kapal pengangkut dan satu kapal pendarat untuk mencoba mengklaim beberapa terumbu karang di Union Banks yang disengketakan, termasuk Johnson South.

Saat tentara Vietnam sedang memindahkan material konstruksi ke karang dan memasang bendera, mereka mendapat serangan dari pasukan Tiongkok. Menurut China, Vietnam melepaskan tembakan terlebih dahulu.

Hanya dalam beberapa jam, 64 tentara Vietnam yang sebagian besar tidak bersenjata tewas dan sembilan ditangkap, kerugian terbesar yang diderita oleh militer Vietnam di laut sejak berakhirnya Perang Vietnam. Johnson South Reef telah berada di bawah kendali China sejak itu.

Sekian lamanya, pertempuran berdarah itu terpendam, tidak pernah dibicarakan apalagi diangkat di media. Tidak ada juga dalam pelajaran sejarah di kurikulum sekolah.

Suatu kali ada yang mengangkat kisah itu, tetapi media yang dikontrol pemerintah Vietnam cenderung menghilangkan kata "China" dan menggantinya dengan "kekuatan asing".

Para pemimpin Vietnam tampaknya ingin menghindari menyinggung China, dan agar publik tidak memikirkan kesalahan komando yang mungkin menyebabkan kekalahan.

Netizen dan aktivis, bagaimanapun, telah bertanya di forum internet mengapa tentara tidak bersenjata dan mengapa mereka tidak diizinkan untuk melawan.

Ini adalah kisah kelam yang lama tersimpan. Tahun ini, beberapa pihak mencoba untuk bersuara, membuka kebenaran yang lama terkubur.

Semua akan semakin terkubur seiring dengan banyaknya persoalan di dunia. Kapan lagi harus bersuara?

Profesor di National War College di Washington, DC, Zachary Abuza, mengatakan bahwa pemerintah Vietnam saat ini berusaha memberi sinyal tekad, terutama karena dunia sudah disibukkan dengan perang di Ukraina.

“Saya pikir Anda juga harus melihatnya dalam konteks perang di Ukraina,” kata Abuza.

Dalam krisis Ukraina, pemerintah Vietnam secara terang-terangan menunjukkan sikap pro-Rusia. Vietnam juga abstain dalam pemungutan suara PBB untuk memberikan sanksi kepada Moskow.

Menurut Abuza, hal itu karena hubungan historis kedua negara yang panjang dan fakta bahwa mereka adalah salah satu konsumen terbesar persenjataan Rusia.

“Perang Ukraina seharusnya membuat Vietnam sangat gugup,” Abuza memperingatkan.

Hingga sekarang, China mengklaim kedaulatan atas semua pulau Spratly. Kepulauan Spratly atau Kepulauan Nansha adalah gugus kepulauan di Laut Tiongkok Selatan yang dipersengketakan beberapa negara di sekitarnya, termasuk Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA