Setelah Mesir dan Yordania, kemudian UEA dan Bahrain, kini giliran negara Arab lain bernama Sudan yang sedang digarap Amerika. Berbagai media internasional seperti
Aljazeera dan
The Jerusalem Post memberitakan bahwa perwakilan Sudan dan UEA, serta Amerika kini berada di ibukota UEA Abu Dhobi, merundingkan kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik antara Khartoum dengan Tel Aviv.
Delegasi Sudan dipimpin oleh Abdul Fatah Al Burhan yang menjadi kepala Pemerintahan Transisi mewakili kelompok militer yang didampingi sejumlah pejabat setingkat mentri. Beberapa bulan lalu Al Burhan bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Uganda. Sejak saat itu Al Burhan telah memberikan isyarat perubahan sikap politik Khartoum terhadap Tel Aviv.
Ada sejumlah masalah yang dihadapi Sudan yang mendorongnya untuk mendekat ke Israel, akan tetapi masalah yang menghambatnya juga tidak kalah peliknya. Untuk menjelaskan hal ini, maka akan dikelompokkan menjadi masalah dalam negeri dan masalah luar negri.
Masalah dalam negri dimulai sejak kudeta yang dilakukan oleh Gendral Omar Basyir tahun 1989, yang mengubah sistem demokrasi di negara Arab yang terletak di bagian Timur benua Afrika ini menjadi otoritarian dan militeristik.
Untuk mendapatkan dukungan rakyatnya yang mayoritas beragama Islam, sejak saat itu Presiden Omar Basyir memberlakukan hukum Islam dan menyebut negaranya sebagai negara Islam.
Perubahan ini memunculkan sejumlah masalah: Pertama, Sudan berubah menjadi negara yang konservatif dan puritan dalam memberlakukan nilai-nilai Islam, yang mengakibatkan penduduknya yang beragama Nasrani dan pemeluk Animisme merasa didiskriminasi, kemudian mendorongnya melakukan perlawanan politik dan militer.
Akibatnya penduduknya di bagian Selatan memisahkan diri, kemudian mendirikan negara sendiri yang diberi nama Republik Sudan Selatan. Sementara yang berada di Darfur masih terus bergolak dan melawan sampai sekarang.
Kedua, sistem pemerintahan yang otoritarian dan militeristik menimbulkan pelanggaran terhadap HAM dan pembatasan kebebasan dalam berbagai bentuknya khususnya dalam kehidupan politik, yang kemudian menimbulkan perlawanan dari kelompok pro-demokrasi.
Perlawanan politik dan militer bermuara pada tumbangnya rezim Omar Basyir pada tahun 2019, yang kemudian digantikan oleh pemerintahan transisi sampai sekarang. Pemerintahan transisi dibentuk dari gabungan antara perwakilan kelompok sipil pro-demokrasi dengan kelompok militer.
Ketiga, pasca tumbangnya Rezim Omar Basyir, disamping Sudan menyatakan ingin menjadi negara demokratis, juga telah mendeklarasikan diri menjadi negara sekuler. Keputusan ini diharapkan akan mengubah Sudan menjadi negara modern, disamping sebagai upaya untuk meredam pemberontakan di Darfur.
Sedangkan masalah yang terkait dengan luar negeri antara lain: Pertama, akibat perubahan menjadi negara Islam yang puritan dan konservatif, Sudan diisolasi oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, dengan cara memasukkannya ke dalam daftar negara pendukung terorisme.
Implikasi sebagai negara yang dimasukkan daftar pendukung terorisme, Sudan terkena sanksi berbagai bentuk sanksi yang mengakibatkan ekonomi Sudan menjadi terpuruk dan jumlah rakyatnya miskin bertambah banyak. Sanksi ekonomi dan boikot politik diharapkan akan dihentikan sebagai imbalan kesediaan Sudan berdamai dengan Israel.
Kedua, Israel atas dukungan Amerika beberapa kali melakukan serangan ke sasaran vital di wilayah Sudan, dengan tuduhan wilayahnya dijadikan basis oleh Iran untuk membantu para teroris yang mengancam keamanan Israel. Dengan berdamai dengan Israel, diharapkan tidak ada lagi ancaman militer dari luar.
Ketiga, Saud Arabia dan UEA menjanjikan berbagai bentuk paket bantuan ekonomi yang sangat diperlukan Sudan, jika negara ini bersedia mengikuti jejak UEA dan Bahrain. Bantuan ekonomi dari luar sangat diperlukan untuk membangun kembali ekonominya yang sangat terpuruk.
Apakah Sudan dan Israel akan benar-benar sampai pada penandatangan normalisasi hubungan diplomatik, akan sangat ditentukan oleh kemampuan pihak militer meyakinkan kelompok sipil pro-demokrasi.
Indikasi perbedaan sikap kelompok sipil pro-demokrasi dengan kelompok militer, terlihat saat Menlu Amerika Mike Pompeo mengunjungi Ibukota Sudan Khartoum untuk membawa misinya. Perdana Mentri Abdalla Hamdok menyatakan bahwa negaranya tidak memiliki mandat untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel sampai 2022.
Kelompok sipil pro-demokrasi di Sudan sebagaimana diketahui mendapat dukungan dari Turki, Qatar, dan Iran, yang menjadi saingan kelompok Saudi Arabia, UEA, dan Mesir, dalam pertarungan regional di kawasan MENA.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: