Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pembantaian Munchen, Darah Atlet Israel Di Tangan Para Teroris Palestina

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 05 September 2020, 22:56 WIB
Pembantaian Munchen, Darah Atlet Israel Di Tangan Para Teroris Palestina
Peti mati para korban serangan di Olimpiade 1972. Teroris yang mewakili cabang Organisasi Pembebasan Palestina membobol apartemen yang menampung atlet Israel/Net
rmol news logo Empat puluh delapan tahun yang lalu awan hitam memayungi Kota Munich. Pembantaian para atlet Israel yang dilakukan oleh sekelompok orang Palestina menciptakan air mata dan kenangan suram untuk diingat sanak keluarga. Para atlet itu kemudian tak pernah kembali pulang.

Sekelompok teroris yang kemudian dikenal dengan nama September Hitam menyandera dan membunuh 11 atlet Israel dan seorang polisi. Dalam upaya penyelamatan, seluruh militan terbunuh kecuali tiga di antaranya.

Selasa, 5 September 1972, sekitar pukul 04.00 menjelang pagi, delapan orang bersenjata memanjat pagar dan menyelinap masuk ke wisma atlet Olimpiade di Munich, Muenchen, Jerman. Mereka membawa tas besar menuju lantai empat Connollystrasse Nomor 31, tempat atlet dan pelatih laki-laki Israel menginap. 

Mereka menerobos masuk ke apartemen pertama dan menyandera pelatih serta official Israel, Yossef Gutfreund, Amitzur Shapira, Kehat Shorr, Andrei Spitzer, Jacov Springer, dan Moshe Weinberg.

Setelah berhasil, mereka lanjut masuk ke apartemen lainnya dan menangkap atlet gulat dan atlet angkat besi Israel, Eliezer Halfin, Yossef Romano, Mark Slavin, David Berger, dan Zeev Friedman.

Kelompok bersenjata itu melepaskan tembakan ketika Romano dan Weinberg berusaha melawan. Kedua orang itu tewas di tempat. Teroris tersebut kemudian menyandera sembilan orang.

Sebelumnya, pegulat Israel Yossef Gutfreund mendengar bunyi mencurigakan di apartemennya. Ketika ia memeriksanya, ia mendapati pintu apartemennya tengah dibuka paksa oleh seseorang dari komplotan itu, membuatnya berteriak memerintahkan agar teman-temannya yang lain menyelamatkan diri sementara ia berusaha menahan pintu agar tidak dobrak paksa para penjahat itu.

Dua orang atlet Israel berhasil meloloskan diri, sementara delapan lainnya memilih untuk bersembunyi. Yossef Romano berusaha merebut senjata sang penyelusup, tragisnya ia lalu tertembak dan tewas seketika menemui nasib yang sama dengan Mosche Weinberg, pelatih gulat yang juga tewas saat hendak menyerang anggota penyelusup lainnya dengan pisau buah.

Pemerintah Jerman membutuhkan waktu dua jam untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Sembilan atlet Israel disandera dengan tuntutan dari pihak Black September agar Israel membebaskan 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan dua pemimpin kelompok kiri Baader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat, serta meminta rute aman menuju Mesir.

Pemerintah Israel menolak mentah-mentah permintaan pembebasan tawanan Palestina yang merupakan tawanan teroris. Hanya satu permintaan yang dikabulkan pihak Jerman kepada kelompok September Hitam itu, yaitu rute aman tujuan Kairo.

Para teroris mengeluarkan ultimatum hingga tengah hari yang diperpanjang dua kali. Menteri Dalam Negeri Jerman Hans-Dietrich Genscher menawarkan untuk ditukar dengan atlet Israel, tetapi Black September menolak hal semacam itu. Kemudian ultimatum diperpanjang hingga malam hari.

Pihak polisi Jerman gagal bereaksi cepat, yang malah membantu para pembunuh. Lewat televisi, para penyandera dengan mudah menyaksikan polisi bergerak saat bersiap untuk menyerbu gedung dalam upaya membebaskan para sandera.

Sejak awal, keanehan telah terlihat di mana Jerman dan Komite Penyelenggara Olimpiade sengaja mengendurkan keamanan demi untuk menghilangkan kesan 'seram' dan agar para tamu Olimpiade merasakan kehangatan selama perhelatan akbar tersebut.

Laporan Don Yaeger untuk Sport Illustrated menyatakan bahwa Komite Penyelenggara Olimpiade Jerman Barat ingin sekali ajang empat tahunan itu lepas dari unsur militerisme. Mereka ingin menghapus citra Jerman saat dikuasai Nazi yang mengadakan dan menggunakan Olimpiade 1936 untuk unjuk kekuatan.

Akibatnya, jejak berdarah dalam aksi terorisme yang diinisiasi oleh aktivis kemerdekaan Palestina pun terjadi karena kurangnya keamanan yang semestinya menjadi perhatian utama.

Saat aksi terorisme dilancarkan, kompetisi telah memasuki minggu kedua. Seluruh atlet dari 121 negara tak hanya bertanding secara profesional, tetapi juga menjalin komunikasi yang hangat di luar arena.

Aparat keamanan hanya berjaga seadanya, mengusir pemabuk atau memeriksa calo tiket, jauh dari kelas sebuah kompetisi internasional.

Film dokumenter One Day in September (1999) melukiskan tingkat keamanan di kompleks tinggal atlet dan staf sangat tidak layak untuk ajang sebesar olimpiade. Hampir semua orang bisa keluar masuk sesuka hati. Para atlet bisa menyelinap dan melewati penjaga, lalu mengunjungi kamar delegasi negara lain dengan cara melewati pagar pembatas antar-kompleks penginapan atlet.

Yang sangat ganjil adalah pada saat penyanderaan berlangsung, Komite Penyelenggara Olimpiade Jerman Barat mengeluarkan kebijakan agar perlombaan tetap berjalan. Kru televisi dari seluruh dunia menyiarkan bagaimana di area publik seberang kompleks tinggal Israel tetap dipenuhi oleh para atlet yang bersantai atau bercengkerama. Seperti tidak terjadi apa-apa.

Otoritas Jerman kemudian berpura-pura menyetujui tuntutan. Mereka membiarkan teroris menaiki dua helikopter dengan sandera Israel mereka. Rencananya adalah terbang ke bandara di kota Fürstenfeldbruck, tempat mereka seharusnya naik jet ke Kairo.

Sampai sejauh itu semuanya lancar hingga helikopter lepas landas membawa para penyandera beserta tawanannya. Namun, mendadak semua menjadi kacau ketika dua petugas kepolisian bertindak gegabah dan memicu serangkaian insiden penembakan.

Tembak-menembak berlangsung berjam-jam hingga lewat tengah malam, sampai hari berganti ke Senin dini hari, 6 September 1972. Korban pun mulai berguguran.

Merasa misinya sudah gagal, salah seorang penyandera menembak sandera yang masih terikat di kursi salah satu helikopter. Ia kemudian keluar, melempar granat ke dalam helikopter lain yang segera meledak dan menewaskan semua sandera.

Drama penyanderaan 21 jam berakhir dengan tewasnya sebelas atlet Israel, tiga anggota Black September dan seorang polisi Jerman Barat.

Tahun 1970-an adalah dekade yang menakutkan bagi warga Israel. Kolaborasi pejuang Palestina dan aktivis kiri dari berbagai belahan dunia menghasilkan aksi terorisme. Pembantaian Munich hanya salah satunya, dan seperti biasa, menghasilkan balas dendam yang tak kalah keras dari Israel.

Yang mengejutkan, adanya laporan susulan bagaimana para teroris Palestina itu memperlakukan sanderanya.

Perlakuan kepada para sandera telah lama menjadi subjek spekulasi. Untuk pertama kalinya, janda dari atlet Israel, Romano dan Spitzer, berbicara secara terbuka tentang dokumentasi yang sebelumnya tidak diketahui publik.

Para sandera, anggota tim Olimpiade Israel itu, dipukuli habis-habisan dan ada yang dikebiri.

"Apa yang mereka lakukan adalah memotong alat kelaminnya melalui celana dalamnya dan menyiksanya," kata Romano tentang suaminya, Yossef. Suaranya meninggi.

20 tahun setelah tragedi itu, kedua janda itu baru mengetahui perlakuan para penyandera yang biadab.

"Bisakah Anda membayangkan sembilan orang lainnya duduk dalam keadaan terikat dan disiksa?" katanya. Ketika dia diperlihatkan foto-foto peristiwa penyanderaan dari pengacaranya, dia bahkan tidak sanggup melihatnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA