Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ini Tuntutan PPI Jerman atas Krisis Multidimensional di Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Minggu, 02 Maret 2025, 03:21 WIB
Ini Tuntutan PPI Jerman atas Krisis Multidimensional di Indonesia
Ilustrasi demo Indonesia Gelap/RMOL
rmol news logo Situasi di Indonesia belakangan ini yang ramai oleh aksi unjuk rasa dengan tagar Indonesia Gelap di sejumlah kota tak lepas dari pantauan masyarakat dan pelajar yang berada di luar negeri. 
Selamat Berpuasa

Menurut Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, demonstrasi mahasiswa dan masyarakat dengan tagar Indonesia Gelap merupakan bentuk konkret penyampaian keresahan masyarakat yang telah menumpuk dalam waktu belakang ini akibat kerusakan institusi, pemangkasan anggaran dan pengambilan kebijakan secara ugal-ugalan, pengikisan budaya berdemokrasi, oleh pendekatan represif pemerintah terhadap masyarakat sipil.

"Kami juga sangat menyayangkan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak didukung oleh pendekatan ilmiah, sehingga kebijakan pemerintah berpotensi merugikan kehidupan masyarakat Indonesia dan keberlangsungan republik ini dalam jangka panjang," ujar Ketua Umum PPI Jerman 2024-2025, Muhammad Nur Ar Royyan Mas, melalui keterangannya, dikutip Minggu, 2 Maret 2025.

Menyikapi kerusakan sistematis dan akumulasi dari berbagai permasalahan multidimensional yang terjadi di Indonesia, PPI Jerman pun mendesak pembatalan Instruksi Presiden No. 1/2025 yang menetapkan pemotongan anggaran pada pos-pos Kementerian dan Lembaga (K/L). 

Adapun alasan PPI Jerman menolak Inpres Nomor 1/2025 adalah karena, pertama, ada ancaman pemotongan anggaran untuk pendidikan. Pemangkasan anggaran pada bantuan operasional PTN dan lembaga riset dapat mengurangi aktivitas akademik dan memicu kenaikan biaya kuliah. Selain itu, pemangkasan anggaran akan berdampak pada pengurangan beasiswa yang krusial untuk membuka akses bagi pelajar terhadap pendidikan tinggi.

Kedua, ada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor publik. Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga negara berpotensi memicu pemecatan pegawai sipil dan honorer, seperti yang ramai diberitakan belakangan. Dituntut untuk melakukan penghematan sesuai arahan Presiden, berbagai badan lembaga dan institusi pemerintahan terpaksa memangkas tenaga kerja guna menekan pengeluaran operasional. Hal ini akan berdampak pada kelangsungan hidup pegawai sipil dan honorer, serta pelayanan sipil yang tidak optimal.

Ketiga, bisa terjadi pelemahan aktivitas ekonomi nasional. Pemotongan anggaran dapat memiliki dampak berkelanjutan pada berbagai sektor. Jika daya beli kelas menengah—yang merupakan pendorong utama konsumsi domestik—melemah, aktivitas industri dan komersial akan ikut melemah, dan pemerintah tidak akan dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan.

Keempat, karena pengalokasian anggaran untuk tujuan yang tidak jelas. Penghematan anggaran seharusnya ditujukan untuk difokuskan pada kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan berdampak bagi masyarakat luas. Jauh dari itu, pemerintah justru berniat untuk mengalihkan dana ke program ambisius seperti MBG dan lembaga investasi Danantara.

"Kami menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap program MBG (makan bergizi gratis). Temuan kami mencatat bahwa pelaksanaan program MBG yang tersentralisasi, memiliki risiko penyalahgunaan dan rendah efektivitas. Kami menyayangkan kasus keracunan makanan di beberapa daerah dan porsi makanan yang tidak memenuhi standar gizi nasional," ujar Royyan.

"Selain itu, kebutuhan pendanaan untuk program MBG agar dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia sangatlah besar, dan akan terus membengkak setiap tahunnya. Pengosongan pagu dari K/L lainnya, sebaiknya ditujukan untuk program strategis yang memiliki kebermanfaatan yang nyata dan berkelanjutan," sambungnya.

PPI Jerman juga turut menyayangkan tindakan represif terhadap aksi demonstrasi siswa yang menolak program MBG dan menuntut pendidikan gratis. Pemerintah diminta menaruh perhatian lebih kepada pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, bukan justru menaruh pendidikan sebagai faktor penopang program MBG.

Menurut Royyan, efisiensi anggaran tidak ada artinya jika Presiden Prabowo memiliki komposisi kabinet dengan lebih dari 100 menteri dan wakil menteri. Badan eksekutif yang gemuk dapat menyebabkan bengkak anggaran dan membuat laju pemerintahan tidak efisien. Kami mencatat berbagai malpraktik kuasa dan blunder publik oleh berbagai menteri dan utusan khusus Presiden maupun Kementerian.

Untuk itu, PPI Jerman mendesak Presiden Prabowo untuk meninjau ulang komposisi Kabinet Merah Putih, merombak menteri yang tidak kompeten dan bersifat titipan, dan mengevaluasi pengangkatan Staf Khusus Presiden, yang seharusnya diberikan hanya kepada individu dengan kredibilitas dan kompetensi relevan.

Tak hanya itu, PPI Jerman juga menuntut akuntabilitas dan transparansi atas pengelolaan aset Danantara. 

Pengesahan revisi UU BUMN No. 19/2003 yang juga mencakup pembentukan Danantara sebagai superholding BUMN dan lembaga pengelola investasi negara, menghadirkan sejumlah kekhawatiran serius terkait tata kelola dan dampak ekonominya. Dasar hukum yang kabur dan mandat operasional Danantara berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan lembaga yang sudah ada, seperti Kementerian BUMN dan Indonesia Investment Authority (INA).

"Kami sangat mengkhawatirkan minimnya transparansi dalam proses perancangan dan pembentukan Danantara
dapat membuka celah bagi terjadinya konflik kepentingan dan potensi korupsi dalam pengelolaan aset negara yang bernilai triliunan rupiah," tuturnya.

Ia mencontohkan kasus 1MDB di Malaysia serta berbagai kegagalan dalam pengelolaan aset negara sebelumnya seperti skandal Jiwasraya dan Asabri, Seharusnya itu menjadi peringatan keras bagi Indonesia. Niat jahat pemerintah untuk tidak tercatat dalam anggaran negara, serta kemungkinan penggunaan aset strategis BUMN sebagai jaminan pinjaman luar negeri, dapat mengancam kedaulatan ekonomi nasional dan menggadaikan masa depan generasi penerus bangsa. 

Tanpa pengawasan yang ketat dan tata kelola yang baik, Danantara berpotensi menjadi sumber krisis keuangan yang dapat membebani negara dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, PPI Jerman mendesak pemerintah untuk meninjau ulang dan memperjelas kerangka hukum serta mandat operasional Danantara, memastikan transparansi penuh dalam setiap tahap pengembangan dan operasional Danantara, termasuk melibatkan pengawasan publik yang kredibel dan independen.

Kemudian meminta pembentukan dewan pengawas independen dan penunjukan pejabat pengambil keputusan yang terdiri dari ahli ekonomi, keuangan dan investasi, bukan tokoh politik yang syarat dengan konflik kepentingan, dan menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) secara ketat, dengan fokus pada pencegahan konflik kepentingan dan korupsi dalam pengelolaan aset negara.

Cabut Revisi Undang-Undang Minerba

PPI Jerman dengan tegas menolak setiap kebijakan yang mengorbankan lingkungan, rakyat, dan kedaulatan negara atas sumber daya alamnya. Mereka memandang bahwa revisi yang baru disahkan oleh DPR pada 18 Februari 2025 kaya akan kepentingan politik dan berpotensi membawa lebih banyak mudarat. 

Oleh karena itu PPI Jerman mendesak Revisi UU Minerba segera dicabut. Lantaran sangat berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan yang berakibat dari aktivitas ekstraktif pertambangan yang semakin masif. Kebijakan dari Revisi UU ini juga mempermudah perizinan dan memperpanjang izin operasi tambang batubara, yang jelas meningkatkan deforestasi, pencemaran air, kerusakan ekosistem, dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitar area pertambangan.

PPI Jerman juga menolak pemberian konsesi tambang kepada Ormas Keagamaan, Koperasi, dan UMKM. Kebijakan ini sangat berpotensi memicu konflik horizontal antara masyarakat adat dengan pelaku tambang. Pun dapat menyebabkan tumpang tindih IUPK dengan wilayah masyarakat adat dan hutan lindung, serta pemangku IUPK sebelumnya.

Proses revisi UU Minerba yang serbakilat walaupun tidak terkandung dalam Prolegnas DPR, menurut Royyan, menunjukkan bahwa pemerintah tidak menghargai proses dalam sistem kenegaraan yang demokratis. PPI Jerman menuntut pemerintah untuk menaruh perhatian pada transparansi, partisipasi publik, masyarakat sipil dan komunitas terdampak dalam setiap kebijakan.

Sementara terkait tunjangan kinerja dosen, PPI Jerman menuntut pemerintah mencairkan anggaran tunjangan secepatnya secara transparan. Apalagi ada tunjangan kinerja dosen yang belum terbayarkan sejak 2020. Dosen perguruan tinggi negeri memiliki tuntutan yang bejibun melalui Tri Dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat), namun aspek kesejahteraan dosen masih luput dari perhatian pemerintah. 

"Bagaimana Indonesia dapat memiliki kualitas pendidikan tinggi yang berkualitas, iklim riset akademis yang subur, jika tenaga pengajarnya tidak memiliki penghidupan yang layak?" tegasnya.

Hapus Dwifungsi TNI

Lebih lanjut, PPI Jerman dengan tegas menolak revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini dinilai sebagai ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia, karena berpotensi menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI, yang telah dihapus pasca reformasi 1998. 

Revisi ini, papar Royyan, mengandung sejumlah ketentuan yang sangat problematik dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil. Di antaranya, perluasan peran TNI dalam keamanan dalam negeri.

RUU ini mengubah fungsi utama TNI dari yang semula hanya berfokus pada pertahanan negara dari ancaman luar menjadi juga mencakup peran dalam keamanan dalam negeri. Hal ini menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri, yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan domestik. 

PPI Jerman menilai hal ini berbahaya karena TNI bukan institusi penegak hukum, sehingga keterlibatannya dalam keamanan dalam negeri berisiko mengarah pada pendekatan militeristik dalam penanganan konflik sosial, demonstrasi, dan ketertiban umum.

Kemudian ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan dalih menjaga stabilitas nasional dan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.

Sebab, Pasal 47 dalam draf revisi UU TNI menyebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap supremasi sipil, di mana pemerintahan sipil seharusnya memegang kendali penuh atas militer.

Royyan pun menjelaskan alasan PPI Jerman tegas menolak revisi UU TNI. Pertama, bisa membuka kembali jalan bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan, bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yang berusaha menghapus pengaruh militer dalam politik dan jabatan sipil.

Kedua, berpotensi melemahkan demokrasi dengan memberikan ruang bagi dominasi militer dalam birokrasi dan kebijakan publik. Ketiga, mengancam netralitas TNI, yang seharusnya tetap patuh pada etika konstitusional sebagai alat pertahanan negara dan tidak terlibat dalam politik praktis. Keempat, revisi ini memperluas cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), memungkinkan TNI terlibat lebih dalam dalam operasi non-perang, termasuk tugas-tugas yang selama ini menjadi ranah institusi sipil.

Dalam pandangan PPI Jerman hal tersebut berbahaya karena membuka celah bagi intervensi militer dalam urusan sipil, termasuk dalam pemerintahan daerah dan kebijakan sosial. Lalu meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama jika TNI diberikan kewenangan untuk menangani persoalan keamanan dalam negeri tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Hingga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuatan TNI oleh kepentingan politik, yang dapat merusak demokrasi dan supremasi hukum.

"Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk kepedulian dan komitmen kami sebagai warga negara Indonesia. Kami mendesak pemerintah untuk mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, termasuk pelajar dan akademisi, dalam setiap pengambilan kebijakan publik guna memastikan bahwa keputusan yang diambil berorientasi pada kepentingan rakyat," ucap Royyan. 

"Kami mendukung penuh gerakan aksi Indonesia Gelap sebagai bentuk ekspresi kolektif atas keresahan masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak berbasis kajian akademik serta disusun tanpa proses yang transparan dan akuntabel. Kami berharap pemerintah segera mengambil langkah korektif yang berlandaskan prinsip ilmiah, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat, demi meraih kemajuan dan keadilan sosial di Indonesia," pungkasnya. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA