Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pagebluk 3

Senjata Perang itu Bernama Patogen

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Selasa, 12 Mei 2020, 21:02 WIB
Senjata Perang itu Bernama Patogen
Pandemi Kolera/Net
KEMUNCULAN virus novel corona jenis baru di penghujung tahun 2019 di Wuhan, China dengan kemampuan infeksi “super cepat”, tak pelak menimbulkan beragam spekulasi. Teori konspirasi pun merebak.
 
Muncul dugaan, virus yang dilabeli organisasi kesehatan dunia WHO dengan nama SARS-CoV-2, bukan virus alamiah. Virus yang menyebabkan penyakit Covid-19  tersebut dituding hasil rekayasa genetika. Sengaja diciptakan sebagai senjata biologis pemusnah massal yang entah karena satu dan lain hal bocor ke masyarakat dan merebak hingga menjadi pandemi.

Seorang ilmuwan Pakistan berspekulasi, bahwa SARS-CoV-2 yang menyebar saat ini telah dimodifikasi secara sintaksis dan dikembangkan menjadi senjata biologis.
 
“Ada sejumlah bukti bahwa Amerika Serikat mengerjakan senjata biologi di sebuah laboratorium. Laboratorium itu ditutup karena ada kebocoran. Itu laboratorium militer," ujar Professor Dr Atta-ur-Rahman itu  dikutip dari Press TV.

Sebelumnya, seorang mantan perwira intelijen Central Intelligence Agency (CIA) Philip Giraldi juga mengungkap hal serupa. Ia menyebut, virus mematikan itu sengaja diproduksi di laboratorium oleh Amerika Serikat bekerjasama dengan Israel.

AS sengaja membuat virus itu untuk menghancurkan China dan Iran yang merupakan musuh terbesarnya.

Teori spekulatif lainnya yang mencuat, virus ini berasal dari kebocoran di laboratorium virologi di Wuhan. Laboratorium bernama Pusat Pembiakan dan Koleksi Virus China itu merupakan bank virus terbesar di Asia. Di fasilitas berteknologi tinggi itu terdapat 1500 jenis virus mematikan yang diteliti.
 
Teori-teori konspirasi itu sebenarnya telah dibantah banyak ilmuwan. Dari haril analisis data urutan genom SARS-CoV-2, peneliti tidak menemukan bukti bahwa virus penyebab Covid-19 itu adalah hasil rekayasa manusia. Dari sekuens genom ini, para peneliti membuktikan virus ini ditularkan secara alami dengan inang hewan, kemungkinan kelelawar.

Meski demikian, teori-teori konspirasi tersebut tetap mengemuka. Bahkan, spekuluasi tersebut dikembangkan menjadi perang narasi politik internasional, terutama antara AS dan Tiongkok.

Sejarah Bioweapon

 
Sejarah membuktikan penggunaan beragam patogen mulai dari virus, bakteri, racun, tanaman hingga binatang berbisa sebagai alat pembunuh massal dalam perang, sudah sejak dulu. Kisah kelam perang dengan menggunakan senjata biologis ini terus berkembang dari waktu ke waktu.
 
Mengutip pandangan Albert J. Mauroni dalam Chemical and Biological Warfare: A Reference Handbook, sebelum abad ke-20 jenis pun, senjata biologis telah digunakan dalam  memenangkan perang. Hanya saja, metode yang digunakan adalah meracuni makanan dan air dengan racun biologis atau bakteri dari hewan dan tanaman busuk.
 
Peperangan pertama yang memanfaatkan senjata biologis adalah saat pada Perang Troya (1260-1180 SM). Meski mungkin saja, jauh sebelum itu cara-cara serupa pernah digunakan.
 
Homer dalam karyanya Epos Iliad dan Odyssey menggambarkan, pada abad ke-8 SM pasukan Yunani yang dipimpin Raja Sparta Menelaus menggunakan anak panah dan tombak beracun yang berasal dari bisa ular. Musuh yang terkena senjata, mengeluarkan darah yang menghitam.

Kesatria Yunani terkenal, dysseus juga menggunakan ekstrak tanaman beracun untuk anak panahnya. Detail-detail dalam karya Homer itu menjadi penanda awal penggunaan racun untuk kepentingan perang.
 
Pada abad ke-6 SM, tepatnya pada Perang Cirraean (595-585 SM) pasukan Yunani menggunakan ekstrak racun dari tanaman helleborus untuk meracuni persediaan air kota Cirrha hingga kota itu akhirnya dihancurkan.

Pasukan Mongol pada Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga 15), memanfaatkan mayat yang terinfeksi pes dan bangkai hewan yang membusuk untuk menyebar wabah penyakit kepada musuhnya.  Hal yang sama dilakukan pasukan Inggris pada 1340 saat mengepung kota Thun-l’Évêque di awal Perang 100 Tahun.

Dalam Smallpox: a Disease and a Weapon, fisikawan Rusia Dr. Ken Alibek menyebut cacar dijadikan senjata biologis dalam perang antara Prancis dan Inggris di Amerika Utara (kini Kanada) pada 1754-1767.
 
Dalam perang itu, tentara Inggris yang kalah dalam jumlah pasukan, menggunakan selimut dan saputangan terkontaminasi cacar (yang saat itu belum ditemukan vaksinnya) dari  Rumahsakit di Benteng Fort Pitt sebagai alat perang melawan suku Indian Amerika yang mendukung Prancis.

Dampaknya sangat mengerikan. Wabah cacar menjadi teror mengerikan bagi suku Pontiac (Indian) dan membunuh hampir separuh populasi mereka.

Cacar juga digunakan sebagai senjata biologis selama Perang Revolusi Amerika pada 1775-1783. Pada musim dingin tahun 1775, tentara Amerika berusaha membebaskan Quebec dari pengaruh Inggris.
 
Setelah berhasil merebut Montreal, usaha Amerika hampir berhasil. Namun pada Desember 1775, pemimpin pasukan Inggris mengirim warga yang terkena cacar untuk menulari pasukan Amerika. Cara ini berhasil membunuh 10 ribu orang Amerika. Wabah cacar menimbulkan kekacauan besar.

Ancaman cacar sebagai senjata biologis baru bisa diredam ketika dokter asal Inggris Edward Jenner berhasil menemukan vaksinnya pada Mei 1796.
 
Donald A Handerson, dokter yang melakukan kampanye internasional pemberantasan cacar bersama rekan-rekannya, dalam Smallpox: a Disease and a Weapon, menyebut Uni-Soviet berusaha mengembangkan virus cacar selama 1930-an. Melalui serangkaian percobaan, pemerintah Uni Soviet mencanangkan program produksi virus cacar dalam skala besar. Mereka berencana membuat bom cacar atau misil balistik antarbenua. Program ini tidak berhasil karena kekurangan dana.

Memasuki abad ke-20, perkembangan teknologi bioweapon semakin berkembang. Agen biologis yang digunakan makin beragam. Saat ini meski banyak negara punya program senjata biologis, hanya sedikit catatan tentang penggunaan senjata pemusnah masal itu. Misalnya, penggunaan senjata biologis untuk misi-misi sabotase di Perang Dunia I (1914-1918).

Pada era 1915 dan 1917, Pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk melakukan sabotase biologis terhadap Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika.
 
D. B. Rao dalam Biological Warfare, menyebut, pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk sabotase. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak.
 
Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik (1941-1945), Jepang juga mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai “kelinci percobaannya”.

Bioweapon tersebut dikembangkan unit khusus militer dengan nama Manchuria No 731. Unit ini memiliki 8 divisi yang meneliti dan mengembangkan berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis) sebagai bioweapon.

Unit Manchuria 731 adalah sebuah kesatuan di dalam militer Kekaisaran Jepang yang khusus disiapkan untuk membuat senjata pemusnah untuk mendukung kekuatan tempur utama.  Sepak terjang Unit 731 turut mengantarkan Jepang ke panggung utama perang dunia II (PD II) di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.
 
Konon, selama beroperasi pada masa PD II, Unit Manchuria 731 sudah memakan korban ribuan orang sebagai kelinci percobaan.  Korban terbanyak adalah tawanan perang. Saat itu, Jepang tengah berperang melawan Cina. (Insiden Nanking pada 1937).

Dalam bukunya Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program, Hal Gold menyebut, sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931 dan perang besar di tahun 1937.

Sementara masa Perang Dunia II (1939-1945), bakteri anthrax (bacillus anthracis) dan glanders (burkholderia mallei) paling banyak digunakan untuk kepentingan perang.
 
“Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris,” sambung Rao.

Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang. Hanya saja, pengembangan nuklir lebih mengemuka.

Dari waktu ke waktu, pengembangan teknologi bioweapon semakin mengerikan. Itulah yang memunculkan kesadaran kolektif  akan bahayanya dimana saat itu situasi Perang Dingin makin intens. Penentangan penggunaan cacar sebagai senjata biologis semakin mengemuka pada 1967.

Pada 10 April 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Konvensi Senjata Biologis. Konvensi itu tercatat sebagai perjanjian multilateral pertama untuk menghentikan produksi dan pelarangan penggunaan senjata biologis. Dari 183 negara yang mengikuti konvensi, hanya 109 negara yang ikut tanda tangan dan hanya 22 negara yang meratifikasinya.

Pada 1980, World Health Organization (WHO) menyerukan kepada seluruh dunia agar berhenti mengembangkan virus cacar sebagai senjata perang.
 
WHO mengkampanyekan pemunsahan seluruh virus cacar pada Juni 1999. Negara-negara yang meneliti cacar sebagai senjata biologis diminta menyerahkan seluruh sampel virusnya  ke WHO atau mengirimnya ke lembaga yang ditunjuk, seperti Institute of Virus Preparation Laboratories di Moskow, Rusia atau Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, Amerika Serikat.
 
Memasuki abad ke 19, senjata biologis tetap ditemukan penggunaannya dalam perang. Contohnya adalah, penggunaan bakteri kolera pada Perang Kemerdekaan Zimbabwe (1964-1979). Saat Perang Teluk (1990-1991), PBB juga menemukan penggunaan senjata biologis.
Dalam sebuah investigasi, Irak mengakui kepada tim inspeksi PBB telah memproduksi 19 ribu racun butolinum sebagai senjata pemusnah massal.
 
Seiring dengan  perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, perang biologis, masih tetap menjadi ancaman utama selain perang nuklir.
 
Pakar militer China, Profesor Du Wenlong bahkan memprediksi, senjata senjata pemusnah massal generasi berikut, bukanlah bom atom, bom hidrogen atau senjata nuklir generasi keempat yang memiliki daya rusak.
 
Senjata super itu bisa jadi adalah senjata hasil rekayasa genetik  yang dikembangkan melalui bioteknologi.
 
Pendapat senada dikemukakan pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. “Apapun yang berbau (senjata) biologi di mata saya sekarang, itu lebih mengerikan daripada yang berbau nuklir," ujar Connie di Jakarta, kepada media, Selasa, 10 Maret 2020 lalu.
 
Connie mengatakan, dari sudut militer, virus SARS-CoV-2 yang belum ditemukan vaksinnya punya potensi untuk dimanfaatkan menjadi senjata biologis.
 
Ia mengatakan, senjata biologi bisa disebut sebagai senjata perang berbiaya sangat murah. Berdasarkan data, dia menyebut 1 kilometer persegi serangan senjata biologi hanya memerlukan biaya USD 1 saja. Bandingkan dengan senjata konvensional yang berbiaya USD 2 ribu per km; senjata nuklir USD 800 per km; dan senjata kimia USD 600 per km.

Keunggulan lainnya, senjata biologi tidak mudah untuk dideteksi, baik dengan X-ray, atau anjing pelacak. Senjata ini juga mudah untuk dibawa.

“Bayangkan (senjata) biologi biayanya US$1 per kilometer persegi. Makanya senjata biologis kerap disebut a nuclear bomb for a poor man," ujarnya.

Connie juga mengingatkan, adanya potensi senjata biologi dimanfaatkan organisasi teroris sebagai alternatif senjata konvensional. republikmerdeka.id rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA