Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

KPK Harus Manfaatkan Momen Untuk Ciptakan Efek Jera

Tersangka Korupsi Duit Proyek Penanganan Bencana Bisa Diancam Hukuman Mati

Selasa, 08 Januari 2019, 09:57 WIB
KPK Harus Manfaatkan Momen Untuk Ciptakan Efek Jera
Foto/Net
rmol news logo Kasus dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum SPAM) yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuka kembali diskursus terkait penggunaan pasal hukuman mati bagi para koruptor. Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) tengah mengkaji kemungkinan itu. Pasalnya praktik korupsi itu dilakukan dalam proses pengerjaan proyek di daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.

Sejatinya KPK bisa saja menjerat para pelaku dengan ancaman hukuman mati. Karena hal itu memang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu berbunyi; (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam 'keadaan tertentu', pidana mati dapat dijatuh­kan.

Nah 'keadaan tertentu' yang dimaksud itu dituangkan dalam bagian penjelasannya ialah; keadaan yang dapat dijadikan alasan pembera­tan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu, apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusu­han sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Memang ancaman hukuman mati bagi para tersangka kasus ini masih dalam proses peng­kajian di KPK. "Apakah masuk kategori pasal 2 atau tidak. Nanti kita pelajari dulu, kita belum bisa putuskan ke sana," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Sementara ini, diungkapkan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, para tersangka ini akan diancam dengan pasal suap, yakni pasal 5, 13, 11, ataupun 12 Undang-Undang Tipikor. Ancamannya hukuman paling maksimal adalah seumur hidup atau minimal empat tahun.

Seperti diketahui, dalam perkara ini KPK menetapkan delapan tersangka, yakni; Anggiat Partunggul Nahot Simaremare, Kepala Satker SPAM Strategis/PPK SPAM Lampung; Meina Woro Kustinah, PPK SPAM Katulampa; Teuku Moch Nazar, Kepala Satker SPAM Darurat; dan Donny Sofyan Arifin, PPK SPAM Toba 1; sebagai tersangka penerima. Kemudian Budi Suharto, Dirut PT WKE; Lily Sundarsih, Direktur PT WKE; Irene Irma, Direktur PT TSP; serta Yuliana Enganita Dibyo, Direktur PT TSP; sebagai tersangka pemberi. Total suap yang diduga diterima para pejabat Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, 5.000 dolar AS, dan 22.100 dolar Singapura. Duit itu diduga merupakan bagian dari fee 10 persen dari total nilai proyek Rp 429 miliar yang didapat oleh kedua perusahaan itu.

Penerapan hukuman mati bagi para pelaku ini memang masih baru akan dikaji, namun polemik terkait wacana itu sudah berkembang. Banyak kalangan yang mendukung wacana itu, namun ada pula yang menentangnya. Mereka yang mendukung mengatakan ini adalah momen bagi KPK untuk menciptakan efek jera bagi para koruptor. Sebaliknya para penentang menilai ancaman hukuman mati melanggar HAM.

Menanggapi polemik itu mantan Wakil Ketua KPK Haryono Umar menyampaikan KPK sangat dimungkinkan menerapkan hukuman mati dalam perkara itu. Sementara Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moniaga menen­tangnya. Berikut penuturan keduanya kepada Rakyat Merdeka;

Haryono Umar: KPK Jangan Takut, Mereka Bisa Dijerat Hukuman Mati

Apa pendapat Anda dengan ren­cana KPK menjerat para tersangka kasus suap proyek SPAM dengan ancaman hukuman mati?
Di dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan dalam kon­disi tertentu misalnya yang dikoru­psi itu adalah untuk penanggulangan bencana nasional. Di Palu itu kan luar biasa itu dan ini sebetulnya sudah berulang dari beberapa dan sebelum­nya di Lombok juga begitu. Jadi sangat tidak adil kalau itu hanya diberikan hukuman yang biasa-biasa saja. Karena ini kan menyangkut bencana, orang banyak sedang kesu­sahan masa dikorup.

Apakah ancaman itu me­menuhi rasa keadilan bagi tersangkanya?
Untuk keadilan dan me­mang undang-undangnya menyatakan demikian, saya rasa wajar-wajar saja kalau dikenakan tuntutan huku­man mati. Kalau nanti soal putusannya itu kan tergantung hakim. Tetapi terobosan yang dilakukan oleh KPK itu kan bagus untuk menimbul­kan efek jera bagi yang lain agar tidak lagi mengulangi kasus yang sama.

Di era kepemimpinan Anda dulu, apakah ada kasus semacam ini?
Kayaknya belum pernah ada. Selama ini kan yang terkena huku­man mati ini hanya narkoba sama terorisme. Padahal kan korupsi lebih jahat lagi. Yang penting, undang-undang kita ini kan memang sudah menyatakan bahwa hukuman maksi­mal itu 20 tahun, dan itu tergantung hakim dalam menentukan itu berbeda. Dan hukuman itu tidak semuanya 20 tahun, paling tidak ada beberapa. Namun khusus untuk kasus semacam ini, karena kondisinya tertentu, dan undang-undang pun sudah menganti­sipasi sedemikian rupa. Makanya mer­eka menyatakan dalam penjelasannya itu yang namanya kondisi tertentu itu salah satunya adalah untuk dana-dana bencana nasional. Di luar negeri justru lebih berat lagi hukumannya. Jadi artinya memang perlu dicoba lagi memberikan hukuman mati tersebut. Masalah nanti hakim memutuskan itu lain persoalan. Namun paling tidak KPK sudah memenuhi janjinya untuk menegakan keadilan.

Berarti KPK seharusnya tak perlu ragu untuk menjerat mereka dengan hukuman mati?
Enggak perlu takut. Karena kan memang sudah ada pasalnya di dalam undang-undang. Untuk masalah in­tepretasi kan memang berbeda-beda dan pasti bermacam-macam pendapat. Namun di dalam undang-undang itu kan ada tiga yang bisa dikenakan huku­man mati. Baik itu yang berulang kali dilakukan, terkait dana bencana dan negara dalam keadaan kritis ekonomi dan moneter. Mungkin yang akan menjadi perdebatan adalah, apakah ini termasuk bencana nasional atau tidak, begitu. Makanya yang namanya ben­cana nasional itu harus ditetapkan oleh pemerintah pusat, apakah termasuk bencana nasional atau tidak.

Tapi gempa dan tsunami di Palu itu oleh pemerintah tidak ditetap­kan sebagai bencana nasional. Bagaimana itu?
Tetapi paling tidak, kalau kita meli­hat keadaannya, kerugiannya kepada masyarakat yang sampai sekarang bahkan masih banyak yang trauma, itu secara awam bisa dimasukan sebagai yang luar biasa walaupun itu hanya di satu titik saja bukan di seluruh negeri dari Sabang sampai Merauke. Tetapi untuk keadilan masyarakat sana kita perlu menerapkannya.

Ancaman hukuman mati ini menu­rut Anda perlu diberikan kepada seluruh tersangka atau hanya un­tuk aktor intelektualnya saja?
Tentunya hukuman mati terutama bagi aktor intelektualnya ya. Kalau yang lainnya berbeda.

Faktor apa saja yang bisa menentukan seorang tersangka bisa di­jerat hukuman mati?
Makanya nanti akan dilihat peran­nya masing-masing. Karena kan di dalam penetapan putusan itu dis­ebutkan si A dan kawan-kawan. Namun, kalau tuntutan itu bisa diberikan bagi semuanya ya nanti tinggal dilihat oleh ha­kim terkait dengan perannya. Kan memang perlu diketahui juga, korupsi itu tidak terjadi kalau hanya satu orang, pasti semua kerjasama itu. Berbeda dengan orang membunuh yang mungkin dilakukan dua orang, kalau korupsi kan dilakukan secara bersama-sama, tidak mungkin sendiri atau berdua saja. Aktor intelektual koru­psi itu tidak mungkin bisa korupsi, kalau tidak didukung oleh pihak lainnya. Jadi terjadinya korupsi itu ya memang karena mereka melaku­kannya bersama-sama. Artinya bisa saja se­muanya diberlakukan hukuman mati.

Apakah ancaman hu­kumam mati juga bisa didasarkan pada nominal kerugian nega­ranya?
Enggak ada kalau dari nominal. Pemberian hukuman mati hanya untuk kasus bencana. Terus misalnya ada pejabat korupsi terus dilakukan lagi secara berulang-ulang, itu bisa kena. Kalau masalah nominalnya memang tidak disebutkan. Jadi artinya tidak ada itu disebutkan apakah Rp1 miliar. Namun yang penting dana tersebut un­tuk penanggulangan bencana namun dikorup sama orang itu.

Kalau seandainya KPK enggan menjerat dengan hukuman mati, apakah ada hukuman lain yang memiliki efek jera?
Hukuman itu ada dua, ada huku­man mati dan hukuman maksimal. Kalau maksimal ya 20 tahun. Tetapi kalau hanya 20 tahun, berarti KPK menuntutnya jangan sampai dibawah 20 tahun, harus di atas 20 tahun. Kalau saya sih maunya itu minimal 20 tahun. Artinya jangan sampai di bawah itu hukumannya.

Penerapan ancaman hukumam mati ini ditentang para pegiat HAM. Bagaimana itu?
Korupsi itu kan sudah jahat, namun ini kan lebih jahat lagi pasalnya koru­psinya ini kan untuk dana masyarakat yang sedang kesusahan atau sedang musibah. Jadi enggak apa-apa kalau nanti ada perdebatan pro dan kontra itu justru bagus. Karena akan meng­hasilkan suatu yang terbaik untuk bangsa dan negara.

Sandrayati Moniaga: Menghukum Itu Harus Sesuai Prinsip HAM  

Bagaimana tanggapan Anda soal wacana hukuman mati bagi para tersangka kasus korupsi dalam pembiayaan penanggulangan ben­cana alam?

Hak hidup itu adalah hak yang tidak dapat dikurangi, non dero­gable rights dalam konsep hak asasi. Jadi Komnas HAM sejak tahun 2014-2015 kami sudah posisinya menolak hukuman mati. Tapi bahwa, koruptor yang mengkorupsi dana pembangunan daerah bencana harus dihukum, iya. Tapi penghukumannya itu harus­nya dilakukan dengan baik dan adil bagi para korban. Bukan korban dari si pelaku ya.

Tapi kan keten­tuan terkait anca­man hukuman mati bagi koruptor juga dimuatdi pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bagaimana itu?
Begini, hak asasi itu kan belum semuanya diakomodir dalam hukum kita. Masih ada perundangan yang belum sepenuhnya mengadopsi prinsip hak asasi. Contohnya adalah masih adanya hukuman mati pada beberapa undang-undang kita. Tapi Komnas HAM dalam posisi menolak hukuman mati.

Tapi dampak dari praktik korupsi yang terjadi di daerah bencana itu dirasa amat menyakitkan bagi korban bencana itu. Apakah itu tidak boleh dimasukan dalam pertimbangan dalam memutuskan hukuman?
Ya memang, saya pun kesal sekali pas mendengar soal ini. Tapi kita juga harus kreatiflah. Menghukum, tapi harus tetap sesuai prinsip hak asasi manusia. Pemiskinan itu enggak melanggar. Penyitaan seluruh harta, kalau memang korupsinya terbukti jelas kan memang bisa dilakukan.

Kenapa sih Komnas HAM tetap tegas menolak hukuman mati?
Karena hak hidup merupakan salah satu hak asasi yang tidak dapat dikurangi, atau non derogable rights. Kedua, sistem peradilan kita masih jauh dari sempurna, dan itu terbukti adanya kasus dengan putusan sesat. Bagaimana kalau ternyata ada putu­san yang salah, sementara terpidana sudah dieksekusi mati? Kalau begitu kan jelas sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Terakhir, hukuman mati dila­tarbelakangi oleh penghukuman yang bersifat balas dendam. Padahal penghukuman sekarang mestinya didasarkan pada prinsip pembinaan.

Apa landasan yuridis dari peno­lakan ini?
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 I ayat (1) menyatakan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Kemudian Pasal 28A menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidu­pannya.

Berarti alternatifnya hanya huku­man seumur hidup dong?

Ya itu kebijakan hakimlah, itu sudah diranahnya hakim. Tetapi yang penting hukuman mati itu harusnya sudah tidak ada lagi. Karena satu, hukuman mati itu kan melanggar hak asasi. Kedua, hukuman ada banyak macamnya, antara lain ada hukuman seumur hidup, pemiskinan, dan lain-lain. Kan yang penting harus ada efek jera. Yang sekarang belum maksimal kan pe­nyitaan harta. Nah, huku­man ini bisa lebih dimak­simalkan, sehingga bisa menyebabkan efek jera. Koruptor itu kan katanya takut dimiskinkan. Jadi banyak sebetulnya alternatif hukumannya, selain harus dihukum mati.

Kalau dihukum seumur hidup ada masalah enggak dari perspektif HAM?
Ya kalau peraturan perundangan memang bisa kan. Dalam konsep HAM itu juga boleh.

Berarti alternatifnya di hukum seumur hidup atau dimiskinkan saja ya?
Iya, itu salah satu alternatifnya. Mungkin ada wacana jenis hukuman lain, ya silakan dilihat dan dikaji saja. Yang penting jangan sampai melang­gar prinsip HAM. Para koruptor itu kan memang sudah keterlaluan, jadi memang perlu hukuman yang keras sehingga menimbulkan efek jera. Tapi ya lagi-lagi koridornya satu, hak hiduo itu tidak dapat dikurangi. Itu yang paling dasar. Saya kira banyaklah cara menghukum tanpa menghilangkan hak hidup seseorang. Itu saja coba dimaksimalkan.

Kalau Undang-Undang Tipikor dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar karena memuat ketentuan hukuman mati. Apakah Undang-Undang Tipikor itu perlu direvisi?
Kalau mau direvisi ya silakan. Tapi poin kami, semua ketentuan di un­dang-undang kan tidak harus dipakai. Mati itu kan hukuman maksimal bahasanya. Jadi ya tinggal hakimnya saja, dia masih menghormati hak asasi manusia apa enggak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA