Meski diyakini tidak terdapat bukti baru yang mengarah kepada keterlibatan Hasto, namun secara mekanisme sebuah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hanya bisa diuji lewat PK (Peninjauan Kembali). Tidak bisa ditambal sulam lewat mekanisme pengembangan penyidikan, melainkan hanya lewat PK dari tangan terpidana Saeful, Wahyu, dan Agustiani.
Itu berarti KPK tidak boleh mendaur ulang dan mencoba memanipulasi kesaksian Saeful, Wahyu, Agustiani, dan kawan-kawan lewat apa yang disebut pengembangan penyidikan, sehingga dapat dipastikan KPK hanya ingin menciptakan peradilan sesat lewat sumpah palsu atau saksi-saksi palsu.
Ini jelas merupakan penghinaan sekaligus jebakan terhadap institusi KPK, institusi penuntut umum KPK dan/atau, kejaksaan, badan peradilan (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Mahkamah Agung).
Pertanyaannya, apakah lembaga peradilan, mulai dari Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat hingga Mahkamah Agung, mau begitu saja menerima jebakan konyol ala KPK sekadar merusak asas kepastian hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Harus Melalui PKKPK sesungguhnya baru bisa mengungkap dugaan keterlibatan Hasto dalam suap Harun Masiku kepada Wahyu dan Agustiani, apabila terdapat Putusan PK yang menyatakan bahwa berdasarkan bukti baru, di mana ada aliran uang dari Hasto dan atas rekomendasi Hakim PK dalam putusannya itu, baru KPK lewat suatu penyelidikan dan penyidikan dapat menjerat Hasto.
Namun di sini terdapat problem atau kendala yuridis yang sangat mendasar, yaitu PK itu oleh hukum positif hanya diberikan kepada terpidana dan/atau ahli warisnya, tidak kepada JPU dan penyidik.
Karena itu pintu masuk untuk menerobos kebuntuan atas ambisi KPK sekadar memenjarakan Hasto, manakala terpidana Saeful atau Wahyu atau Agustiani mengajukan PK berdasarkan bukti baru yang ditemukan kemudian, bahwa uang yang diberikan kepada Wahyu dan Agustiani, sebagian berasal dari Hasto.
Oleh karena itu hanya dengan proses persidangan dan/atau putusan PK atas permohonan Saeful atau Wahyu atau Agustiani, maka KPK dapat menjerat Hasto sebagai pelaku lain yang belum diproses atau setidak-tidaknya ketika Harun Masiku sudah berada di tangan KPK karena ditangkap atau menyerahkan diri.
Dalam KUHAP dan Peraturan MA, tidak terdapat satupun mekanisme pengembangan kasus pidana setelah semua saksi, terdakwa, ahli dan alat bukti-bukti lain diperiksa dan diuji berkali-kali secara berjenjang hingga MA dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Pengembangan untuk menjerat pelaku lain hanya selama tahap pemeriksaan masih di tingkat penyidikan masih berjalan lewat Pasal 55 KUHP.
Dengan demikian sulit diterima akal sehat atau
legal reasoning manakala KPK melalui pengembangan entah KPK dapat angin surga dari mana mengaku memiliki bukti bahwa Hasto bersama Harun Masiku dan Saeful terlibat suap kepada Wahyu dan Agustiani.
Karena itu pernyataan Hasto bahwa kasus yang menimpa dirinya adalah kriminalisasi hukum atau produk dari penyalahgunaan wewenang oleh penyidik KPK terhadap dirinya, sangat mungkin benar, karena KPK berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif yang mudah diorder.
Membahayakan Negara HukumSikap KPK berupa kriminalisasi tidak boleh ditoleransi dan untuk itu harus dihentikan karena membahayakan prinsip negara hukum. Dan lembaga yang netralitasnya masih bisa dipercaya saat ini hanyalah institusi praperadilan, sebagai mekanisme kontrol eksternal terhadap perilaku penyidik dan/atau penuntut umum KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam perkara pidana.
MA semestinya sangat berkepentingan untuk menjaga netralitas hakim praperadilan di manapun berada di seluruh Indonesia, terutama di PN Jakarta Selatan, karena KPK dipastikan jadi termohon praperadilan di PN Jakarta Selatan, satu dan lain hal juga mengingat potensi politisasi hukum terhadap tersangka KPK sangat terbuka lebar.
MA harus ingat bahwa banyak sudah hakim yang jadi korban OTT KPK selalu tidak berdaya, konon karena hakim praperadilan dan hakim tipikor pada PN di seluruh Indonesia rekam jejaknya di kantong KPK, entah lewat mekanisme apa mereka dapat kantongi rekam jejak hakim-hakim itu.
Karena itu mungkin saja dalam OTT terhadap hakim, secara prosedural tidak tepat, tetapi hakim yang bersangkutan tidak berdaya menghadapi teror dan intimidasi yang konon sering dilakukan oleh oknum penyidik KPK.
Penulis adalah Advokat dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia
BERITA TERKAIT: