Ada sejumlah fenomena menarik untuk dikaji bersama, dan fenomena ini berpotensi mengÂgerus inklusifisme keagamaan di masa depan. Fenomena tersebut ada yang bersifat makro, global, massif, dan umum, seperti faktor globalÂisasi nilai-nilai sebagai akibat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah sedang eksis. Fenomena lebih khusus globalisasi apa yang pernah disebut K.H. Hasyim Muzadi sebagai ideologi trans nasional. Kelihatannya umat kita belum mendapatkan "pembekalan" bagaimana menghadapi dampak kedua fenomena ini. Apa jadinya jika dampak globalisasi nilai global ini terus menyerbu sampai ke ruang privat bangsa kita? Lingkungan keluarga terutama generasi muda penerus bangsa paling tampak pengaruhnya kepada mereka.
Fenomena umum yang dapat kita saksikan ialah adanya jarak antara umat dengan ajaÂran agama yang dianutnya. Agama mengajarÂkan apa tetapi keinginan umatnya apa, masih amat berjarak. Hal ini menimbulkan kepribadiÂan ganda (
split personality) yang amat dalam dan susah dideteksi orang banyak. PenyeleÂsaian masalah umat kita selama ini lebih banÂyak membicarakan akibat, bukan sebab yang menyebabkan masalah itu terjadi. Dengan kata lain, kita hanya lebih banyak bicara tentang seÂsuatu yang di hilir, bukan penyebabnya yang ada di hulu. Analoginya, kita lebih banyak sibuk mengusir awan, bukan menyelesaikan masalah pembakar hutan, sehingga pesta pemadaman asap berlangsung secara rutin di musim kemaÂrau, sebuah musim yang dicari oleh pelancong barat untuk menjalani musim liburnya.
Sederet masalah dalam rumah lain yang tidak mungkin dimuat di dalam kolom sempit ini. Di antaranya yang amat mendasar ialah fenomÂena maraknya aliran sempalan, seperti semÂpalan keyakinan, budaya, dan politik. Sudah mulai muncul saling kafir mengkafirkan seperti pemandangan yang terjadi di abad pertengaÂhan yang mengantar runtuhnya kerajaan-kerÂajaan Islam. Radikalisme di dalam beragama sudah massif. Bukan rahasia lagi di media-midÂia sosial sudah dikuasai oleh kelompok garis keras. Sebuah hasil survei menujukkan forum-forum agama di Media Sosial 80% didominasi kelompok garis keras. Ironisnya organisasi IsÂlam besar seperti NU, Muhammadiyah, dll tidak antisipatif. Apa jadinya umat kita di masa depan jika ‘guru agama’ mereka adalah garis keras?
Masalah sosial lainnya ialah semakin maraknya angka perceraian. Semenjak 10 tahun lalu penulis meneriakkan masalah ini. Angka perÂceraian sudah menembus angka lebih dari 10% pertahun. Artinya, jika perkawinan setiap tahun 2 juta pasang (sama dengan 4 juta orang) maka tahun tekahir sudah menembus ke angka 115 ribu pasang perceraian per tahun. Bahayanya lagi, perceraian tersebut didominasi (80%) oleh pasangan usia muda, usia rumah tangga lima tahun ke bawah. Itu artinya anak-anak mereka masih kecil-kecil, para jandanya masih muda, pikiran dan kepribadian belum matang, dan menariknya lagi, 3/4 perceraian itu adalah ceÂrai gugat, artinya isteri yang menceraikan suaÂmi, yang resiko hukumnya akan memberatkan kaum perempuan. Tidak heran jika terjadi perÂceraian maka akan terjadi orang miskin baru, yaitu perempuan (muda) dan anak-anak.