Penggeledahan di kantoranak usaha Sinar Mas itu terkait penyidikan kasus suap kepada anggota Komisi B DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng).
Tim penyidik KPK menyisir kantor tersebut sejak pukul 11.00 WIB Senin (29/10), sampai puÂkul 04.00 WIB, Selasa (30/10). "Tim KPK melakukan penggeledahan di kantor PT SMART Tbk, dan PT BSA yang terdapat di satu gedung," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
Febri mengungkapkan, penyidik KPK menyita 2 dus barang bukti berupa dokumen terkait dengan perizinan dan dokumen korporasi lain.
Selain itu, tim penyidik KPK juga mengangkut barang bukti elektronik, seperti laptop dan hardisk. "Penggeledahan ini dilakukan secara paralel dengan kegiatan penggeledahan di tiga lokasi Kalimantan Tengah," ungkapnya.
Menurut Febri, saat ini pihaknya tengah mempelajari bukti-bukti yang didapat dari kantor anak usaha Golden Agri-Resources (GAR) itu, dan tiga lokasi lainnya di Kalteng.
Febri menyatakan pihak-pihak yang diduga memberikan suap kepada anggota DPRD Kalteng dan proses persetujuan di daÂlam korporasi menjadi perhaÂtian KPK.
"Kepentingan pihak-pihak yang diduga memberikan uang pada sejumlah anggota DPRD Kalteng, proses persetujuan di dalam korporasi sertai fakta lain yang relevan akan menjadi perhatian KPK," kata dia.
Dalam kasus ini, KPK menÂduga pengurus PT BSA memÂberikan uang sebesar Rp 240 juta kepada anggota Komisi B DPRD Kalteng. Perusahaan itu diduga meminta anggota Dewan Kalteng membantu masalah dugaan pencemaran lingkungan yang melilitnya.
Petinggi anak usaha Sinar Mas yang ditetapkan sebagai terÂsangka di antaranya Edy Saputra Suradja selaku Direktur PT BSA yang juga Wakil Direktur Utama PT SMART Tbk, Willy Agung Adipradhana selaku CEO PT BSA Wilayah Kalteng Bagian Utara, serta Teguh Dudy Zaldy selaku Manajer Legal PT BSA.
KPK juga menetapkan 4 kaÂlangan DPRD Kalteng sebagai tersangka. Yakni Ketua Komisi B DPRD Kalteng Borak Milton, Sekretaris Komisi B DPRD Kalteng Punding LH Bangkan, dan dua anggota Komisi B DPRD Kalteng: Arisavanah dan Edy Rosada.
KPK menduga pemberian uang Rp 240 juta itu bukanlah yang pertama kali. Saat ini lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo tengah mendalami pemÂberian lain dari PT BSA kepada legislator Kalteng tersebut.
Bersamaan dengan penggeleÂdahan kantor PT SMART dan PT BSA, penyidik memeriksa Teguh Dudy Syamsuri Zaldy. Manager Legal PT BSA itu akhirnya menyerahkan diri pada 29 Oktober 2018.
Ia sempat menghilang dua hari setelah KPK melakukan opÂerasi tangkap tangan 27 Oktober 2018. Sehari kemudian, komisi antirasuah mengumumkan Teguh termasuk salah satu terÂsangka kasus ini, dan diminta menyerahkan diri.
Kilas Balik
Bakar Lahan, Anak Usaha Sinar Mas Dihukum Bayar Ganti Rugi Rp 78 MAnak usaha Sinar Mas, PT Bina Sawit Abadi Pratama (BSA) membuang limbah ke Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan.
Pembuangan limbah ini dipersoalkan Komisi B DPRD Kalimantan Tengah. Namun akhirnya anggota Dewan "dibungkam" dengan pemberian rasuah. Kasus ini pun diusut KPK.
Bukan kali ini, anak usaha Sinar Mas merusak lingkungan.Sebelumnya, PT Bumi Hijau Mekar (BHM), digugat karena membuka lahan dengan memÂbakar. Tak tanggung-tanggung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menuntut PT BHM membayar Rp 7,9 triliun.
Rinciannya, ganti rugi sebesar Rp 2.687.102.500.000. Kemudian ganti rugi untuk pemulihan lingkungan terhadap lahanyang terbakar sebesar Rp 5.299.502.500.000.
Kementerian LHK menemuÂkan pembakaran lahan 20 hekÂtar di area PT BHM di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, pada 2014.
Gugatan perdata dilayangÂkan setelah Kementerian LHK melakukan kalkulasi atas biaya perbaikan dan kerugian dari lahan yang terbakar.
Dalam gugatan tersebut, PT BHM diminta mengganti biaya perbaikan lingkungan dan ganti rugi kerusakan kondisi alam, kepada pemerintah. Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan pada 3 Februari 2015.
"Kami tidak melihat siapa di balik perusahaan tersebut. Kalau memang benar terbukti salah, ini bisa jadi pembelaÂjaran bagi pihak lain bahwa pemerintah tidak main-main," tegas Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian LHK, Eka W Soegiri.
Gugatan yang dilayangkan Kementerian LHK kepada peÂrusahaan dibuat berdasarkan klasifikasi kategori kebakaran lahan, yakni ringan, sedang dan berat. Untuk kategori berat, perusahaan akan digugat ke pengaÂdilan, seperti PT BHM.
Sinar Mas menyatakan akan mengikuti seluruh proses hukum atas PT BHM di Pengadilan Negeri Palembang. "Kami ikuti saja proses hukumnya. Kalau bersalah, silakan dihukum. Tapi kalau belum divonis, jangan dihakimi ramai-ramai," pintaManaging Director Sinar Mas, Gandi Sulistiyanto, Selasa (13/10).
Ia meminta pemerintah tak tebang pilih dalam mengusut kasus. "Bagaimana dengan perusahaan lain? Jangan ada diskriminasi," pintanya lagi.
Majelis hakim PN Palembang yang diketuai Parlas Nababan menolak gugatan Kementerian LHK. "Menolak gugatan pengÂgugat seluruhnya. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara," putus Parlas paÂda sidang 30 Desember 2015.
Tak terima gugatannya ditoÂlak, Kementerian LHK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan. Upaya ini membuahkan hasil.
Pengadilan Tinggi menyatakan PT BHM terbukti melakukanperbuatan melawan huÂkum. "Menghukum tergugat/ terbanding (PT BHM) untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 78.502.500.000 kepada pengÂgugat/pembanding melalui rekening kas negara," putus majelis hakim banding yang diketuai Mabruq Nur pada sidang 10 Agustus 2016.
Besarnya ganti rugi yang dikaÂbulkan hanya 1 persen dari tunÂtutan Kementerian LHK. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo menyarankan, Kementerian LHK mengajukan kasasi.
Menurutnya, nilai ganti rugi yang dikabulkan hakim tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Juga tak memberi efek jera bagi pelaku pembakar lahan.
"Sebaiknya kasasi," kata Bambang yang kerap diminta menjadi saksi ahli perkara keruÂsakan lingkungan. ***
BERITA TERKAIT: