Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengejar Megaproyek Ambisius Kereta Cepat Jakarta-Bandung

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/rilis'>TIM RMOL.ID</a>
LAPORAN: TIM RMOL.ID
  • Rabu, 12 April 2023, 15:24 WIB
Mengejar Megaproyek Ambisius Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Aktivitas pembangunan proyek Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Tegalluar, Kabupaten Bandung/RMOL
SETELAH berkali-kali gagal terealisasi, Pemerintahan Joko Widodo kembali mengumbar janji terkait operasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek sepanjang 142,3 km dengan 13 terowongan yang mulai dibangun tahun 2016 lalu, ditargetkan bisa diresmikan 18 Agustus 2023.

KCJB akan memiliki empat stasiun transit, yakni Stasiun Halim, Stasiun Karawang, Stasiun Padalarang, dan Stasiun Tegalluar. Rencananya, masing-masing stasiun akan dilengkapi dengan akses ke transportasi publik untuk mempermudah mobilitas masyarakat.

Lantas, bagaimana perkembangan proyek ambisius Presiden yang ditargetkan bakal menjadi kado HUT ke-78 Republik Indonesia?

Stasiun KCJB Halim

Awan pekat menggantung di atas langit Jakarta Timur siang ini. Mobil LCGC (Low Cost Green Car) yang saya tumpangi dengan kecepatan sedang, masuk ke Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Lewatnya pintu Tol Halim Perdanakusuma. Waktu di jam tangan menunjukkan pukul 13.21 WIB.

Jalan tol ini menjadi salah satu akses menuju Stasiun KCJB Halim. Bisa juga calon penumpang KCJB menggunakan LRT Jabodebek di Stasiun LRT Halim Perdanakusuma.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi usai melakukan peninjauan langsung proyek LRT Jabodebek di Stasiun LRT Halim Perdanakusuma, Kamis (23/3) menyebutkan, Stasiun LRT Halim adalah titik jumpa kereta dari Dukuh Atas maupun dari Bekasi bagi mereka yang akan menuju Bandung.

Berdasarkan catatan redaksi, Stasiun KCJB Halim sangat strategis karena menjadi titik temu dari sejumlah angkutan umum massal, yakni LRT Jabodebek, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, JR Connexion (jurusan Blok M-Jababeka), Transjakarta (rute K10 PGC-Tanjung Priok, rute 7P jurusan BKN-Pondok Bambu, dan rute APTB B21 jurusan BNN-Terminal Bekasi), angkot Mikrolet (M19 jurusan Cililitan-Kranji dan Mikrolet Jak 84 jurusan Kampung Melayu-Kapin Raya melalui Kalimalang), taksi, dan moda lainnya.

Posisi Stasiun KCJB Halim tidak jauh dari pintu masuk Tol Halim. Disarankan pengendara tidak memacu kendaraannya dengan cepat. Khawatir kelewatan.

Tak sampai satu menit, mobil sudah memasuki kawasan proyek Stasiun KCJB Halim. Lokasi persisnya di RT 14 RW 15, Kelurahan Halim Perdanakusuma, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.

Tanpa pertanyaan berbelit-belit, mobil yang saya tumpangi pun langsung memasuki area proyek.

Tidak jauh dari pos penjagaan ada musala. Dindingnya didominasi warna hijau. Tampak beberapa pekerja proyek beristirahat di teras musala. Kawasan proyek terlihat beberapa bagiannya tergenang air sisa hujan. Tanahnya merah bekas galian. Becek.

Di beberapa bagian dinding stasiun, terpasang spanduk berukuran besar. Isinya peringatan untuk mengutamakan keselamatan kerja atau K3. Di bagian bawah spanduk tertulis BUMN PT Wijaya Karya selaku pelaksana proyek.

Kesibukan pengerjaan proyek sangat kentara di lokasi ini. Maklum beberapa bulan ke depan Stasiun KCJB Halim ditargetkan sudah beroperasi.

Para pekerja menggunakan alat pelindung diri, seperti helm, rompi, sarung tangan, dan sepatu boot hilir mudik. Di atap stasiun juga tampak puluhan pekerja sibuk melakukan pengelasan.

Konon, Stasiun KCJB Halim ini akan menjadi stasiun terbesar dan termegah di Jakarta.

Di ujung timur stasiun juga tak kalah sibuknya, pekerja merampungkan Stasiun LRT Halim.

Dari Stasiun Halim tersambung jembatan penghubung untuk akses keluar masuk penumpang LRT Jabodebek.

Dari pandangan mata, siang itu ada tiga beko yang sedang beroperasi. Beko warna biru untuk mengangkut pekerja yang melakukan pengelasan.

Sedangkan beko warna merah yang ukurannya lebih besar dipakai untuk mengangkut material atap. Sementara beko warna oranye tampak sedang dioperasikan operatornya untuk menggali tanah.

Tak cuma mengangkut material proyek, ada pula beberapa mobil boks yang masuk area proyek. Mobil boks datang untuk mengantarkan makanan atau minuman para pekerja yang jumlahnya ratusan orang.

Sejak permulaan Stasiun Halim dibangun, para pekerja beraktivitas selama 24 jam. Mereka dibagi menjadi tiga shift. Masing-masing delapan jam.

Stasiun KCJB Karawang

Setelah menelisik Stasiun KCJB Halim, perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Karawang. Ternyata kemegahan pembangunan Stasiun KCJB Karawang tidak dibarengi dengan penyediaan akses jalannya.

Stasiun KCJB Karawang adalah pemberhentian pertama, dari wilayah Jakarta yang berlokasi di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang.

Untuk menjangkau Stasiun KCJB Karawang bisa melalui Tol Jakarta-Cikampek. Ada juga akses melalui jalan arteri. Kalau lewat tol, keluarnya melalui pintu Tol Karawang Barat. Cukup membayar Rp 12 ribu dari Jakarta.

Setelah itu, melalui bimbingan Google Maps, kita dibawa memasuki Karawang International Industry City (KIIC). Namun sayangnya, selepas KIIC, kita akan dihadapkan infrastruktur tak nyaman. Jalan sempit bergelombang. Mobil-mobil berukuran besar bisa kesulitan melintas.

Belum lagi debu-debu berterbangan yang membahayakan penglihatan mata.

Tak ada transportasi umum yang melewati Stasiun KCJB Karawang. Sisi kiri dan kanan menuju stasiun tampak rumah-rumah penduduk setempat.

Kabarnya penumpang yang turun di Stasiun KCJB Karawang nantinya akan menggunakan bus Damri untuk melanjutkan perjalanan mereka berbagai wilayah di Karawang.

Sekeluar dari pintu Tol Karawang Barat menuju Stasiun Karawang, cuma memakan waktu sekitar 15 menit.


Dari pandangan mata, Stasiun KCJB Karawang ini sangat besar bak istana yang berdiri di antara pematang sawah yang menghijau. Hijaunya area persawahan di sekitar stasiun tentu menjadi pemandangan menyegarkan.

Sama seperti di Stasiun KCJB Halim, ratusan pekerja di bawah perusahaan konstruksi PT Wijaya Karya, terlihat sibuk merampungkan proyek stasiun. Kawasan proyek terpantau sangat becek, imbas hujan malam tadi. Atap stasiun masih kosong-melompong. Sedang ada pengelasan rangka atap.

PT KCIC melalui laman resminya menyebutkan, Stasiun KCJB Karawang memiliki luas sekitar 19.028 meter persegi dan memiliki 2 peron bagi penumpang untuk naik turun kereta.

Proyek ini ditargetkan bisa rampung pada pertengahan tahun 2023 ini. Sehingga bisa segera soft launching, harapannya.

Nantinya, akan ada sebanyak 68 jadwal perjalanan KCJB yang berhenti di Stasiun KCJB Karawang untuk melayani masyarakat yang akan menuju Halim, Padalarang, maupun Tegalluar.

Soal harapan, Stasiun KCJB Karawang bisa membantu pertumbuhan ekonomi di sekitar trase KCJB, dan mempercepat mobilitas masyarakat di sekitar trase sepertinya sulit. Bisa jadi tinggal angan-angan pemerintah.

Sebab pembangunan Stasiun KCJB Karawang tidak dibarengi dengan pembangunan sarana dan prasarana di sekitarnya.

Stasiun KCJB Padalarang

Beralih dari Stasiun KCJB Karawang, Stasiun KCJB Padalarang semrawut dan macet. Lokasinya berada di Jalan Stasiun Padalarang, Padalarang, Bandung Barat dengan ketinggian 695 meter dan berdampingan dengan Stasiun Padalarang yang melayani kereta api reguler.

Sejak awal pembangunan, Stasiun KCJB Padalarang ini sudah menimbulkan masalah. Pasalnya, untuk penentuan titik stasiun saja yang semula berada di Kawasan Walini, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB), berubah dan beralih ke wilayah Kertamulya, Kecamatan Padalarang, KBB.

Untuk mencapai Stasiun KCJB Padalarang memang cuma menelan waktu 10 menit dari pintu Tol Padalarang.

Berbeda dengan Stasiun KCJB Karawang yang jauh dari keramaian, Stasiun KCJB Padalarang justru sebaliknya. Angkutan kota beraneka warna, seperti kuning, hijau, dan merah terus memadati Jalan Stasiun KCJB Padalarang.

Tak jarang angkot berhenti seenaknya. Ngetem. Ujung-ujungnya kemacetan tak terhindarkan. Belum lagi jejeran sepeda motor yang parkir di badan jalan dan gerobak PKL membuat arus lalu lintas semakin kusut.


Stasiun KCJB Padalarang berdekatan dengan Kota Baru Parahyangan dan di sebelah utara Komplek Pemerintahan Kabupaten Bandung Barat. Depan stasiun, merupakan pemukiman padat penduduk. Sebagian di antaranya dimanfaatkan untuk membuka usaha.

Progres pembangunan Stasiun KCJB Padalarang terbilang lambat. Di saat tiga stasiun lain perkembangan pembangunannya sangat signifikan, di sini tampak ujung barat bagian peron sudah berdiri namun belum dipasangi atap.

Sedangkan tengah skybridge sudah tertutup dan di ujung utara skybridge terpasang tangga. Bangunan utama stasiun struktur ke atas sudah mulai terpasang.

Di sini, sebagian besar pekerja proyek adalah WNI. Hanya segelintir yang berpaspor China.

Kecuali pembangunan Stasiun KCJB Padalarang yang sedang dikebut, dari pengamatan tidak ada poyek lain di sekitarnya. Seperti pelebaran jalan pembuatan sarana dan prasarana pendukung proyek KCJB. Kabarnya, pembangunan Stasiun KCJB Padalarang muncul di tengah proyek yang sedang berjalan.

Meski bernama KCJB, kereta kilat ini sejatinya tak menghubungkan Kota Jakarta dengan Kota Bandung.

Ini karena lokasi stasiun kereta berada di Tegalluar yang masuk Kabupaten Bandung, dan Stasiun KCJB Padalarang yang merupakan wilayah Kabupaten Bandung Barat.

Baik Padalarang maupun Tegalluar, merupakan wilayah pinggiran atau daerah penyangga Kota Bandung. Untuk menuju pusat Kota Bandung dari kedua wilayah tersebut, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 30 sampai 45 menit, itu pun jika jalanan lengang alias tanpa macet.

Stasiun KCJB Tegalluar

Bendera China yang berdampingan dengan bendera Indonesia dipasang di setiap tiang yang ada di Stasiun Kereta Cepat Tegalluar. Keberadaan bendera China itu sungguh mencolok. Para pekerja stasiun juga terlihat kebanyakan WNA China. Pekerja lokalnya lebih sedikit.

Setiap spanduk atau pengumunan yang banyak terpasang di area proyek juga disisipi bahasa mandarin.

Lokasi stasiun berada di pinggiran Jalan Tol Purbaleunyi, Kabupaten Bandung. Tepatnya di Km 151 poin 400. Stasiun terakhir KCJB ini terlihat hampir rampung bangunan fisiknya. Atapnya sudah terpasang.


Di sisi depan stasiun, sudah terparkir gerbong KCJB yang ditutup terpal penutup. Bentuk gedung utama Stasiun KCJB Tegalluar sudah terlihat dengan jelas dan megah.

Area depan Stasiun KCJB Tegalluar tampak terus dibenahi. Ada dua beko sedang melakukan aktivitas. Di bagian tengah gedung utama stasiun yang memanjang dari timur ke barat sedang terus dilakukan pemasangan temperglass atau kaca transparan.

Juga terpantau sedang mulai dibangun flyover atau jembatan penghubung dari stasiun menuju Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).

Jalan akses ini memanjang ke arah utara dan akan menyeberangi Jalan Tol Purbaleunyi. Kemudian di utara akan bergabung dengan Jalan Stadion GBLA dan menuju Stasiun Kereta Api Cimeka.

Terlihat satu beko tengah melakukan pembenahan lahan untuk area kerja di sisi utara KCJB atau di Tol Purbaleunyi km 151 poin 400.

Sementara di sisi selatan, sedang ada aktivitas pembuatan bekisting di dua pilar yang akan digunakan untuk penyeberangan 4 jalur rel kereta cepat dari arah depo menuju ke Stasiun KCJB Tegalluar.

Informasi PT KCIC, nantinya akses jalan dari bagian selatan Stasiun KCJB Tegalluar akan mengarah ke bagian timur dan sebelum Depo, akses jalan akan naik di atas jembatan layang di KM 151 di atas Tol Purbaleunyi. Jembatan layang tersebut mengarah ke kawasan Gedebage, Kota Bandung.

Posisi jalan layang ini nantinya berada hanya 2 kilometer dari Junction Gedebage yang menjadi titik awal Tol Getaci.

Junction Gedebage sendiri nantinya akan menghubungkan 3 jalan tol, yakni Tol Getaci dari arah selatan ke utara, Tol Padaleunyi yang membentang dari barat ke timur, dan Jalan Tol Dalam Kota atau BIUTR di arah utara Junction Gedebage.

Muncul Masalah Baru

Megaproyek ambisius Presiden Joko Widodo ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Berbagai penolakan dari masyarakat hingga kini masih terus bermunculan.

Cukup kentara terjadi di pembangunan Stasiun KCJB Padalarang. Perubahan site plan telah merugikan warga. Banyak penggusuran rumah warga untuk proyek nasional KCJB ini. Lebih dari 150 kepala keluarga (KK) di Desa Kertamulya terpaksa pasrah saat menjadi korban penggusuran.

Selain banyak warga kehilangan tempat tinggal, muncul permasalahan gangguan aliran air akibat proyek KCJB. Bahkan warga Kertamulya dan Hegarmanah kini terisolir karena akses warga terputus.

"(KCJB) Ini tuh proyek siluman, jalan gang saja katanya ada pengganti tapi ternyata tidak ada gantinya. Hanya akal-akalan pihak pengembang saja," demikian pengakuan Ketua RW 08 Kertamulya, Asep Buchori.

Dalam progres pembangunan Stasiun KCJB Padalarang, banyak dinding rumah warga di sekitar proyek mengalami retak akibat getaran dari alat berat.


Selain rumah warga yang terdampak, proyek KCJB juga sebelumnya telah membuat 5 ruang kelas, area parkir kendaraan, serta ruang terbuka hijau (RTH) milik SMPN 1 Ngamprah, Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, dihancurkan untuk memuluskan proyek nasional tersebut.

"Rumah banyak yang retak, ada yang bergeser juga, bahkan bangunan PAUD-TK juga turut retak. Kita sudah protes tapi tidak ada tindak lanjut dari pengembang (PT KCIC)," katanya.

Anggaran Membengkak

PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menyebut, jika sesuai jadwal, kereta cepat akan mulai dioperasikan pada Agustus 2023. Waktu tempuh Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari Jakarta ke Bandung memakan waktu sekitar 36-45 menit.

"Kecepatan maksimal yang dapat ditempuh KCJB yaitu 350 km per jam dengan waktu tempuh Jakarta-Bandung atau sebaliknya yaitu 36-45 menit saja," kata VP Public Relations KAI, Joni Martinus belum lama ini.

Proyek KCJB dibangun konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang terdiri atas PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia/KAI (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN VIII dengan kepemilikan saham masing-masing 38%, 25%, 25%, dan 12%.

PSBI membentuk perusahaan patungan bersama konsorsium perusahaan Tiongkok, Beijing Yawan, dengan nama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Porsi kepemilikan PSBI di KCIC adalah 60%, sedangkan Beijing Yawan 40%.

Proyek KCJB yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun mulai awal 2016 dan ditargetkan rampung pada 2019. Namun, karena berbagai kesulitan teknis di lapangan, proyek sepanjang 142,3 km dengan 13 terowongan ini tak kunjung rampung, terlebih setelah pandemi Covid-19 merebak.

Namun yang menjadi sorotan publik adalah biaya pembangunan proyek yang terus membengkak hingga 1,2 miliar dolar AS (kurs Rp 15 ribu). Artinya anggaran pembangunan KCJB yang awalnya direncanakan sekitar Rp 113 triliun, naik menjadi Rp 131 triliun.

Padahal awalnya, proyek ini ditargetkan hanya memakan dana 5,13 miliar dolar AS atau sekitar Rp 76,95 triliun (kurs Rp 15 ribu) oleh Pemerintah China pada 2015 silam.

Anggaran itu jauh lebih murah dari penawaran Jepang yang memasang angka investasi di 6,2 miliar dollar AS atau setara Rp 94,2 triliun.

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, Indonesia dan China sudah menyepakati nominal pembengkakan biaya KCJB sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18,24 triliun (asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS).

"Kita sepakat dengan angka cost overrun 1,2 billion (miliar dolar AS). Ini yang sedang kita rapikan. Jadi memang ada beberapa item yang mereka (China) ingin lakukan kajian terkait pajak, clearing frequency dan sebagainya, tapi sudah sepakat angkanya," kata Tiko, sapaan akrabnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Selasa (13/2).

Dari jumlah itu, 25% di antaranya merupakan modal konsorsium BUMN Indonesia dan Tiongkok (KCIC) dengan porsi 60% Indonesia dan 40% Tiongkok, sisanya berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB).

PT KCIC menjelaskan, pembengkakan biaya digunakan untuk biaya pembebasan lahan sebesar 100-300 juta dolar AS, EPC (engineering procurement construction) 600 juta dolar AS sampai 1,2 miliar dolar AS, pembiayaan (financing) 200 juta dolar AS, dan pra-operasi  200 juta dolar AS, termasuk pajak.

Berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pembengkakan biaya pembangunan proyek KCJB ditanggung renteng KCIC yang beranggotakan PSBI (konsorsium BUMN Indonesia) dan Beijing Yawan (konsorsium Tiongkok).

Dengan kepemilikan di KCIC sebesar 60%, praktis PSBI harus menanggung pembengkakan biaya yang lebih besar. Secara keseluruhan, KCIC hanya menanggung 25% pembengkakan biaya proyek, 75%-nya diambil dari pinjaman CDB.

Berikutnya, jika awalnya dijanjikan tanpa APBN, mamun belakangan pemerintah ikut membantu dengan menyuntik dana melalui skema penyertaan modal negara (PMN) ke PT KAI.

Terus membengkaknya biaya proyek KCJB mengundang sorotan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi. Ia mengaku heran dengan kenyataan itu. Padahal, proyek kereta cepat di Laos lebih panjang dibanding Indonesia, yakni Rp 86 triliun berbanding dengan Rp 114 triliun.

Padahal jarak kereta cepat Laos sepanjang 414 km, sementara di Indonesia hanya 142 km.

“Kita semula biaya swasta, sekarang mau pakai APBN," kata Muslim Arbi kepada Kantor Berita Politik RMOL.

Menurut Muslim, Laos kemungkinan tidak mempunyai kendala pembiayaan, sehingga dapat selesai dengan cepat. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia.

Dari sisi bisnis, diyakini kereta cepat Indonesia akan merugikan, seperti sejumlah proyek ruas tol yang dibangun mahal dan dijual murah.

"Ini akan jadi beban keuangan negara. Dan proyek ini berbenturan dengan rencana bangun IKN (Ibukota Negara). Kalau IKN dibangun, lalu untuk apa ada KCJB? Bisa jadi beda kereta api cepat Laos dan Jakarta. Laos rencanakan matang, lah di kita?" tutupnya. rmol news logo article
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.