Selain rumah warga yang terdampak, proyek KCJB juga sebelumnya telah membuat 5 ruang kelas, area parkir kendaraan, serta ruang terbuka hijau (RTH) milik SMPN 1 Ngamprah, Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, dihancurkan untuk memuluskan proyek nasional tersebut.
"Rumah banyak yang retak, ada yang bergeser juga, bahkan bangunan PAUD-TK juga turut retak. Kita sudah protes tapi tidak ada tindak lanjut dari pengembang (PT KCIC)," katanya.
Anggaran MembengkakPT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menyebut, jika sesuai jadwal, kereta cepat akan mulai dioperasikan pada Agustus 2023. Waktu tempuh Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari Jakarta ke Bandung memakan waktu sekitar 36-45 menit.
"Kecepatan maksimal yang dapat ditempuh KCJB yaitu 350 km per jam dengan waktu tempuh Jakarta-Bandung atau sebaliknya yaitu 36-45 menit saja," kata VP Public Relations KAI, Joni Martinus belum lama ini.
Proyek KCJB dibangun konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang terdiri atas PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia/KAI (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN VIII dengan kepemilikan saham masing-masing 38%, 25%, 25%, dan 12%.
PSBI membentuk perusahaan patungan bersama konsorsium perusahaan Tiongkok, Beijing Yawan, dengan nama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Porsi kepemilikan PSBI di KCIC adalah 60%, sedangkan Beijing Yawan 40%.
Proyek KCJB yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun mulai awal 2016 dan ditargetkan rampung pada 2019. Namun, karena berbagai kesulitan teknis di lapangan, proyek sepanjang 142,3 km dengan 13 terowongan ini tak kunjung rampung, terlebih setelah pandemi Covid-19 merebak.
Namun yang menjadi sorotan publik adalah biaya pembangunan proyek yang terus membengkak hingga 1,2 miliar dolar AS (kurs Rp 15 ribu). Artinya anggaran pembangunan KCJB yang awalnya direncanakan sekitar Rp 113 triliun, naik menjadi Rp 131 triliun.
Padahal awalnya, proyek ini ditargetkan hanya memakan dana 5,13 miliar dolar AS atau sekitar Rp 76,95 triliun (kurs Rp 15 ribu) oleh Pemerintah China pada 2015 silam.
Anggaran itu jauh lebih murah dari penawaran Jepang yang memasang angka investasi di 6,2 miliar dollar AS atau setara Rp 94,2 triliun.
Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, Indonesia dan China sudah menyepakati nominal pembengkakan biaya KCJB sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18,24 triliun (asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS).
"Kita sepakat dengan angka
cost overrun 1,2
billion (miliar dolar AS). Ini yang sedang kita rapikan. Jadi memang ada beberapa item yang mereka (China) ingin lakukan kajian terkait pajak,
clearing frequency dan sebagainya, tapi sudah sepakat angkanya," kata Tiko, sapaan akrabnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Selasa (13/2).
Dari jumlah itu, 25% di antaranya merupakan modal konsorsium BUMN Indonesia dan Tiongkok (KCIC) dengan porsi 60% Indonesia dan 40% Tiongkok, sisanya berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB).
PT KCIC menjelaskan, pembengkakan biaya digunakan untuk biaya pembebasan lahan sebesar 100-300 juta dolar AS, EPC (
engineering procurement construction) 600 juta dolar AS sampai 1,2 miliar dolar AS, pembiayaan (
financing) 200 juta dolar AS, dan pra-operasi 200 juta dolar AS, termasuk pajak.
Berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pembengkakan biaya pembangunan proyek KCJB ditanggung renteng KCIC yang beranggotakan PSBI (konsorsium BUMN Indonesia) dan Beijing Yawan (konsorsium Tiongkok).
Dengan kepemilikan di KCIC sebesar 60%, praktis PSBI harus menanggung pembengkakan biaya yang lebih besar. Secara keseluruhan, KCIC hanya menanggung 25% pembengkakan biaya proyek, 75%-nya diambil dari pinjaman CDB.
Berikutnya, jika awalnya dijanjikan tanpa APBN, mamun belakangan pemerintah ikut membantu dengan menyuntik dana melalui skema penyertaan modal negara (PMN) ke PT KAI.
Terus membengkaknya biaya proyek KCJB mengundang sorotan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi. Ia mengaku heran dengan kenyataan itu. Padahal, proyek kereta cepat di Laos lebih panjang dibanding Indonesia, yakni Rp 86 triliun berbanding dengan Rp 114 triliun.
Padahal jarak kereta cepat Laos sepanjang 414 km, sementara di Indonesia hanya 142 km.
“Kita semula biaya swasta, sekarang mau pakai APBN," kata Muslim Arbi kepada
Kantor Berita Politik RMOL.
Menurut Muslim, Laos kemungkinan tidak mempunyai kendala pembiayaan, sehingga dapat selesai dengan cepat. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia.
Dari sisi bisnis, diyakini kereta cepat Indonesia akan merugikan, seperti sejumlah proyek ruas tol yang dibangun mahal dan dijual murah.
"Ini akan jadi beban keuangan negara. Dan proyek ini berbenturan dengan rencana bangun IKN (Ibukota Negara). Kalau IKN dibangun, lalu untuk apa ada KCJB? Bisa jadi beda kereta api cepat Laos dan Jakarta. Laos rencanakan matang, lah di kita?" tutupnya.
BERITA TERKAIT: