Al-Qur'an sendiri tidak mengenal jenis kelamin utama dan kedua. Laki-laki dan perempuan sama saja posisinya di mata Tuhan. Siapa saja yang menorehkan prestasi berhak atasnya meraih keutamaan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. al- Nahl/16:97). Dalam ayat lain ditegaskan pula: Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (Q.S. al-Nisa/4:124).
Memang ada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa'i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad ibn Hanbal yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah. Hadis itu adalah sebagai berikut: Diriwayatkan oleh'Abdullah ibn 'Umar r.a kaÂtanya: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istigfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi pengÂhuni neraka? Rasulullah saw., bersabda: Kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat mereka yang kekurangan akal dan agama, daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah! Apakah makÂsud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah saw bersabda: Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikaÂtakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadan kerana haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.
Kata "kekurangan agama" (nuqshan al-din) dalam hadis ini tidak berarti perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melamÂpaui prestasi ibadah laki-laki. Hadis ini hanya menggambarkan keadaan praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan di masa Nabi; laki-laki memperoleh otoritas penyaksian satu berbandÂing dua dengan perempuan, karena ketika itu fungsi dan peran publik berada di pundak laki-laki. Adapun "kekurangan agama" terjadi pada diri perempuan karena memang hanya peremÂpuanlah yang menjalani masa menstruasi. Laki-laki tidak menjalani siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa alasan lain yang dapat dibenarkan.
Peniadaan sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti salat dan puasa adalah dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan akibat apa pun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi. Dengan demikian, hadis ini tidak bisa dijadikan dasar untuk merendahkan derajat kaum peremÂpuan di bawah kaum laki-laki. Faktor keadaan dan kondisi obyektif yang lebih menentukan. Boleh jadi memang demikian di tempat terntu tetapi di tempat lain bisa sebaliknya. Jika hadis ini difahami sebagai dasar untuk melemahkan posisi perempuan di bawah laki-laki berarti berÂtentangan dengan dua ayat Al-Qur'an di atas, padahal antara Al-Qur'an dan hadis Nabi tidak bisa dipertentangkan. Jika terjadi pertentangan maka tentu Al-Qur'an lebih kuat dijadikan sebaÂgai dasar.