Persoalan Mu'awiyah berawal sejak terÂbunuhnya Utsman. Saat itu ada beberapa reaksi di dalam masyarakat. Pertama, merÂeka mengusulkan agar pembunuhnya harus diqishash secepatnya sebelum Ali dibai'at dan ini pendapat Muawiyah cs. Kedua, Ali harus dibai'at dulu baru diamanahkan untuk mencari dan mengqishash pelakunya. Ketiga, dan ini pendapat Ali, qishash ditunda pelaksanaanÂnya sampai betul-betul keadaan terkendali. Pendapat ini didukung oleh mayoritas sahaÂbat senior, khususnya pendukung Ali. KeemÂpat, ada sekelompok orang yang mengasingÂkan diri (uzlah) dan tidak ingin terlibat dalam perang saudara ini. Mereka meninggalkan pusat konflik menuju ke satu tempat yang lebih netral. Kelompok ini didukung oleh antara lain Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, dll. Masyarakat Syam (sekitar Syiria sekarang) menolak membai'at Ali. Ini bisa dipahami karÂena Mu'awiyah pernah menjadi Gubernur di sana.
Keunggulan Mu'awiyah cs di dalam berÂdiplomasi membuat Ali terpojok. Mu’awiyah berusaha membersihkan diri dengan mengaÂtakan sesungguhnya aku tidak membenci Ali, bahkan bersumpah "Demi Allah" sambil memÂberikan pengakuan bahwa dialah paling tepat menjadi khalifah dilihat dari berbagai sudut pandang. Persoalannya ialah kenapa Ali tidak mau menyerahkan pelaku pembunuhan sepÂupu Mu'awiyah yakni Utsman ibn Affan yang dibunuh secara keji. Jika Ali mau menyerahÂkan pelakunya kepada pihak kami, maka kami akan membai'atnya. Namun Ali tidak mau menyerahkan sang pelaku, yang ditanggapi oleh sebagian orang berarti Ali berada di beÂlakang peristiwa itu. Akhirnya, perang saudara tak dapat dihindari. Mu'awiyah mengambil Aisyah, istri Nabi dan putri Abu bakar, beraÂda di pihaknya, melawan pasukan Ali yang tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, yang juga merupakan putri Nabi. Umat Islam betul-betul terpecah dan perang saudara terÂjadi amat dahsyat dan menimbulkan banyak korban.
Pihak Mu'awiyah mengusulkan gencatan senÂjata melalui juru bicaranya, Amr ibn 'Ash, denÂgan mengangkat Al-Qur’an di ujung tombaknya. Abu Musa al-Asy’ary yang dikenal alim meneriÂma gagasan itu. Amr Ibn ‘Ash meminta semua pihak agar mengeliminir khalifah yang ada, baik Ali maupun Mu'awiyah. Abu Musa mewakili Ali menyetujuinya. Begitu Abu Musa menyatakan persetujuan itu, maka Amr ibn 'Ash langsung membai'at Mu’awiyah sebagai khalifah untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Tentu saja pihak Ali tidak setuju karena itu dianggap seÂbagai akal bulus. Akhirnya terjadi perang, yang pada akhirnya mengorbitkan Mu'awiyah sebaÂgai Khalifah. Mu'awiyah mengubah suksesi dari sistem musyawarah ke sistem monarki (sistem kerajaan), yang diwarisi oleh generasi penguasa sesudahnya. Semoga Pilpres di Indonesia, bisa menjadi alternatif model suksesi di dunia Islam di masa depan.