Ormas Islam & Kelompok Radikal (37)

Suksesi Pasca Khulafa' al-Rasyidin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 23 Agustus 2018, 08:43 WIB
Suksesi Pasca Khulafa' al-Rasyidin
Nasaruddin Umar/Net
SETELAH Sayyidina Ali meninggal lalu digantikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Su­fyan, maka situasi politik dunia Islam berubah dras­tis. Muawiyah bin Abu Su­fyan (602-680M) merupa­kan khalifah pertama dari Bani Umayyah dan penah menjadi juru tulis Nabi Muhammad Saw. Ia agak telat masuk Islam pada tahun ke 7 H. Kalangan Syi'ah tidak mengakui Mu'awiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena di­anggap telah menyimpang setelah Nabi men­inggal. Ia menjabat khalifah dari tahun 661 sampai 680M. Ia dianggap picik oleh kelom­pok Syi’ah karena melibatkan Amru bin Ash yang menipu Abu Musa Al Asy'ari (wakil Ali) dalam kasus Perang Shiffin.

Persoalan Mu'awiyah berawal sejak ter­bunuhnya Utsman. Saat itu ada beberapa reaksi di dalam masyarakat. Pertama, mer­eka mengusulkan agar pembunuhnya harus diqishash secepatnya sebelum Ali dibai'at dan ini pendapat Muawiyah cs. Kedua, Ali harus dibai'at dulu baru diamanahkan untuk mencari dan mengqishash pelakunya. Ketiga, dan ini pendapat Ali, qishash ditunda pelaksanaan­nya sampai betul-betul keadaan terkendali. Pendapat ini didukung oleh mayoritas saha­bat senior, khususnya pendukung Ali. Keem­pat, ada sekelompok orang yang mengasing­kan diri (uzlah) dan tidak ingin terlibat dalam perang saudara ini. Mereka meninggalkan pusat konflik menuju ke satu tempat yang lebih netral. Kelompok ini didukung oleh antara lain Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, dll. Masyarakat Syam (sekitar Syiria sekarang) menolak membai'at Ali. Ini bisa dipahami kar­ena Mu'awiyah pernah menjadi Gubernur di sana.

Keunggulan Mu'awiyah cs di dalam ber­diplomasi membuat Ali terpojok. Mu’awiyah berusaha membersihkan diri dengan menga­takan sesungguhnya aku tidak membenci Ali, bahkan bersumpah "Demi Allah" sambil mem­berikan pengakuan bahwa dialah paling tepat menjadi khalifah dilihat dari berbagai sudut pandang. Persoalannya ialah kenapa Ali tidak mau menyerahkan pelaku pembunuhan sep­upu Mu'awiyah yakni Utsman ibn Affan yang dibunuh secara keji. Jika Ali mau menyerah­kan pelakunya kepada pihak kami, maka kami akan membai'atnya. Namun Ali tidak mau menyerahkan sang pelaku, yang ditanggapi oleh sebagian orang berarti Ali berada di be­lakang peristiwa itu. Akhirnya, perang saudara tak dapat dihindari. Mu'awiyah mengambil Aisyah, istri Nabi dan putri Abu bakar, bera­da di pihaknya, melawan pasukan Ali yang tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, yang juga merupakan putri Nabi. Umat Islam betul-betul terpecah dan perang saudara ter­jadi amat dahsyat dan menimbulkan banyak korban.

Pihak Mu'awiyah mengusulkan gencatan sen­jata melalui juru bicaranya, Amr ibn 'Ash, den­gan mengangkat Al-Qur’an di ujung tombaknya. Abu Musa al-Asy’ary yang dikenal alim meneri­ma gagasan itu. Amr Ibn ‘Ash meminta semua pihak agar mengeliminir khalifah yang ada, baik Ali maupun Mu'awiyah. Abu Musa mewakili Ali menyetujuinya. Begitu Abu Musa menyatakan persetujuan itu, maka Amr ibn 'Ash langsung membai'at Mu’awiyah sebagai khalifah untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Tentu saja pihak Ali tidak setuju karena itu dianggap se­bagai akal bulus. Akhirnya terjadi perang, yang pada akhirnya mengorbitkan Mu'awiyah seba­gai Khalifah. Mu'awiyah mengubah suksesi dari sistem musyawarah ke sistem monarki (sistem kerajaan), yang diwarisi oleh generasi penguasa sesudahnya. Semoga Pilpres di Indonesia, bisa menjadi alternatif model suksesi di dunia Islam di masa depan. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA