Prestasi Sayyidina Ali banyak sekali. Selain pintar, ia juga sangat setia mendampingi perÂjuangan Nabi. Ia bersedia tidur di kamar Nabi dan menggunakan selimutnya untuk mengeÂlabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Setelah pasukan elite berÂmaksud membunuh Nabi, alangkah kagetnya kalau orang yang ada di kamar dan mengguÂnakan selimut Nabi ternyata Ali. Nabi bersama Abu Bakar sudah jauh meninggalkan Kota MakÂkah dan lolos dari pengintaian musuh. Sayidina Ali juga dikenal sangat cerdas. Ia anak muda tetapi memiliki pendirian tegas dan otak cemerÂlang. Nabi pernah mengatakan ambil separoh ilmu dari Ali.
Ali bin Abi Thalib berkuasa selama kurang lebih 4 tahun. Ali meninggal di dalam suasana umat yang sedang terpecah belah. SepeningÂgal Ali, kepemimpinan diambil alih oleh MuawiÂyah bin Abi Sufyan melalui kekuatan pedang. Sayyidina Ali adalah sosok terakhir kepemimpiÂnan Khulafa' al-Rasyidin. Selanjutnya ia memÂbentuk sistem pemerintahan kerajaan yang suksesinya berlangsung secara turun temurun tanpa melalui proses musyawarah. Demikian seterusnya sampai Daulat Umayyah ditaklukÂkan oleh Daulat Abbasyiah yang juga mengaÂnut sistem monarki. Para pemimpin umat seÂsudahnya pada umumnya apara politisi murni, bukan lagi ulama. Berbeda dengan kepemimpiÂnan sebelumnya mengombinasikan diri sebagai figur ulama dan umara. Krisis keulamaan yang dialami para pemimpin sesudah Sayidina Ali mencerminkan pola kepemimpinan pada rezim kekuasaan masing-masing penguasa. Baik rezim Mu'awiyah maupun rezim Abbasiyah suÂlit sekali ditemukan figur pemimpin yang menÂgombinasikan kapasitas ulama dan umara.
Dari cuplikan sejarah di atas, dapat dipaÂhami bahwa Islam sepertinya tidak memiliki suatu sistem yang baku di dalam hal penenÂtuan siapa sumber dan pelaksana kekuasaan, apa dasarnya, bagaimana cara menentukan dan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelakÂsana itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Pertanyaan seperti ini ditambah dengan pengalaman sejarah Nabi dan para sahabat dan penerusnya mempersuÂlit setiap orang yang akan memikirkan sebuah konsep negara Islam. Sejarah suksesi dalam Islam tidak linial dan tidak tunggal melainkan beragam.
Tidak adanya penjelasan apalagi ketegasan mengenai suksesi di dalam Islam menjadi isyarat bahwa urusan suksesi adalah masalah kontemporer dan terkait dengan objektivitas perkembangan masyarakat. Masalah sukseÂsi dapat dikategorikan sebagai urusan dunÂiawi yang dalam penyelesaiannya Nabi pernah mengatakan: Antum a'lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih tahu menyangkut urusan kedunÂiaannya). Siapa tahu dan kita berharap, IndoneÂsia bisa menyumbangkan model suksesi yang ideal bagi setiap negara, khususnya negara-negara muslim. Kredibilitas pemilu yang akan datang akan ikut menentukan obsesi itu. SelaÂmat berpesta demokrasi.