Mengapa urusan suksesi yang sedemikian penting tidak diatur secara rinci di dalam Al- Qur’an dan hadis? Nabi pun sepertinya engÂgan membicarakan urusan suksesi. Tidak heran kalau urusan suksesi selalu menjadi isu kontemporer di dalam Islam. Mengapa hal yang sepenting ini tidak mendapatkan perhatian khusus di dalam Islam? Apakah ini pertanda Islam membuka diri untuk memberiÂkan pengakuan kepada berbagai pola suksesi yang hidup di dalam setiap masyarakat? Atau konsep akhlak berpolitik secara holistik sudah dianggap cukup dijadikan pedoman suksesi? Kenyataan dalam lintasan sejarah dunia IsÂlam, pola suksesi tidak pernah seragam, mulai pada masa Nabi dan Sahabat sampai sekaÂrang.
Proses pergantian kepemimpinan Nabi melaÂlui musyawarah terbuka, dihadiri seluruh komÂponen, baik komponen-komponen golongan Anshar maupun Muhajirin. Pergantian Abu BaÂkar melalui wasiyat meskipun tidak mengikat. Pergantian Umar melalui formatur. Pergantian Utsman melalui formatur terbatas. Pergantian Ali melalui pengambil alihan. Suksesi-sukseÂsi selanjutnya kembali lagi seperti pra Islam, suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun, baik oleh dinasti Mu'awiyah maupun dinasti Abbasiyah. Suksesi secara demokrasi sejati di dalam dunia Islam diawali dalam era Presiden SBY di Indonesia, di mana seluruh rakyat melakukan pemilihan umum memilih secara langsung kepala negaranya.
Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan tentang tata cara penentuan pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala peÂmerintahan. Rasulullah sendiri juga tidak perÂnah memberikan wasiat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupanÂnya pun tidak memberikan stetmen politik. Ini semua pertanda bahwa urusan suksesi adaÂlah urusan kontemporer duniawi, yang dapat dilakukan dan dipilih sendiri oleh masyarakat dan umat berdasarkan kebutuhan obyektifnya. Islam hanya menggariskan musyawarah jalur terbaik dalam menyelesaikan segala hal.
Tidak mamadainya ayat-ayat Al-Qur'an membicarakan soal hidup kemasyarakaÂtan umat, termasuk politik suksesi, menurut Prof. Harun Nasution, itu banyak hikmahnya. Dia antaranya masyarakat selalu dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Jika peraturan dan hukum absolut yang mengÂatur masarakat berjumlah banyak lagi terperÂinci maka dinamika masyarakat yang diaÂtur oleh sistem peraturan dan hukum absolut tentu akan menjadi terikat. Dengan lain kata perkembangan masyarakat akan menjadi terÂhambat.
Dinamika masyarakat menghendaki agar ayat-ayat yang mengatur masyarakat jumÂlahnya sedikit agar lebih supel mengadaptaÂsikan diri dengan zaman. Di sinilah terletak hikmah mengapa ayat-ayat Al-Qur'an tidak banyak membicarakan soal-soal hidup keÂmasyarakatan manusia. Tuhan lebih banyak menyerahkan urusan kontemporernya kepaÂda puncak-puncak pemikiran manusia untuk mengaturnya. Tuhan cukup hanya memberiÂkan pokok-pokok ajaran di dalam al-Qur'an. Pokok-pokok ajaran atau ajaran dasar inilah nanti yang akan memandu kecerdasan lokal masyarakat di dalam mengatur urusan keÂduniawiannya masing-masing. Kita selalu berÂharap agar umat Islam tetap berpegang teguh terhadap ajaran dasar itu di dalam menempuh suksesi kepemimpinan di dalam seluruh lini kehidupan.