Tentu saja sebagai negara berdaulat, setiap ada persoalan warga masyarakat, negara harÂus hadir. Negara tidak bisa absen dalam setiap problem bangsa, sungguhpun itu wilayah agama yang sering dikatakan sebagai wilayah yang sangat privat. Mendelegitimasi atau lebÂih tepat kriminalisasi peran negara di dalam urusan keagamaan merupakan bagian yang sangat membahayakan. Bagaimana jadinya jika negara tidak bisa hadir pada setiap konflik berbasis agama, sementara kita tahu bahwa konflik horizontal paling berbahaya adalah konflik agama. Mendeligitimasi peran Negara daÂlam urusan agama bisa dikategorikan sebagai penyesatan masyarakat, dan dengan demikiÂan dapat dikategorikan Religious-Hate Speech (RHS). Hanya saja perlu diingat bahwa kehadiran negara terlalu dalam sehingga menerobos batas peran tokoh agama itu juga perlu dicerÂmati. Kehadiran Negara dalam agama sangat perlu tetapi harus terukur.
Dalam Islam pun menekankan perlunya kehadiran negara di dalam kehidupan berÂmasyarakat dan berbangsa. Kalangan ulama sunny berpendapat, lebih baik 100 tahun dipÂimpin pemerintah yang dhalim ketimbang seÂhari tanpa pemerintah. Kekosongan pemerinÂtahan membuka peluang berlakunya hukum rimba, yang kuat memangsa yang lemah daÂlam waktu singkat. Dalam bahasa agama, NegÂara atau pemerintah seing diistilahkan dengan ulil amr, berasal dari kata uli berarti pemilik dan al-amr berarti perintah, tuntunan melakuÂkan sesuatu, atau keadaan urusan. Jadi uli al-amr (baca: ulil amr) berarti pemilik urusan atau pemilik kekuasaan atau hak untuk memÂberi perintah. Yang termasuk Ulil Amr di dalam kitab-kitab tafsir meliputi para pejabat pemerinÂtah (umara’/eksekutif), para hakim (yudikatif), para perwakilan tokoh-tokoh masyarakat (legÂislative), para cerdik-pandai (ulama), dan para pimpinan militer. Dalam konteks sekarang menÂcakup kekuatan trias politika: Legislatif, ekseÂkutif, dan Yudikatif.
Ulil amr dalam pengertian kontemporer dunÂia Islam ialah para pemimpin eksekutif peÂmerintahan. Kalau di Indonesia ialah presiden atau kepala negara. Penetapan presiden atau kepala negara di dalam wilayah kesatuan huÂkum (wilayah al-hukm) Republik Indonesia adalah penting karena menyangkut legitimasi penerapan hukum Islam. Keabsahan perkawinan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, atau memiliki wali nasab tetapi mereka tidak memenuhi syarat untuk mengawinkannya, misalnya berlainan agama, belum akil balig, atau ada halangan lain, maka yang berÂhak mengawinkan ialah pejabat pemerintah yang mewakili pihak wali. Jika pemerintah tidak abash maka akan berpengaruh terhadap sah tidaknya perkawinan tersebut. Jika pemerintah tidak diakui sebagai ulil amr maka rusaklah seÂmua perkawinan yang dilakukan di bawah otoriÂtas perwaliannya, dan akibatnya lebih jauh terÂjadi perzinahan massal.
Itulah sebabnya dalam Muktamar NU (NahÂdlatul Ulama) di Banjarmasin tahun 1936, ResÂolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah (pemegang pemerintahan dlaruri dengan kekuatan dan kekuasaan), hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat IsÂlam, agar institusi hukum Islam dapat diterapÂkan karenanya. Bayangkan kalau tidak ada ulil amr, maka akan sulit para gadis yang tak punya wali untuk menikah. Meskipun Indonesia belum merdeka ketika itu tetapi sudah dipandang perÂlu mengadakan pemerintah sebagai represenÂtasi pemimpin umat Islam di Indonesia.