ADA kecenderungan umat maÂnusia memahami agamanya dengan cara-cara maskulin. Juru bicara kelompok agama lebih sering menggunakan jarÂgon agama untuk menundukÂkan, menaklukkan, kalau perlu menghancurkan. Padahal substansi ajaran agama mesÂtinya sebaliknya, mengajak orang untuk menjadi lebih feminin, lembut, dan penyantun (nurturing). Tokoh-tokoh pembawa agama seperti para Nabi tidak pernah mengedepankan kekuatan (power struggle). Tuhan sendiri lebih sering memperkenalÂkan diri sebagai Feminine God ketimbang sebagai Masculine God.
Agama memang seperti mata uang yang memiliki dua sisi berbeda. yaitu wajah maskulin dan feminin. Penampilan wajah agama bagi para pemeluknya sangat tergantung pada pemahaman pemeluk terhadap ajaran agamanya. Jika sang pemeluk lebih menekankan aspek maskulinitas agamanya maka wajah agama akan tampil lebih jantan dan berwibawa. Akan tetapi jika ditekankan aspek feminimnya maka wajah akan tampil lebih feminin dan lebih ramah. Idealnya sebaiknya para penganut mengikuti petunjuk ajaran agama sebagaimana diterangkan di dalam kitab suci mereka. Semakin dalam pemahaman keagamaan seseorang semakin mereka akan lebih arif dan bijaksana. Sebaliknya semakin dangkal pemahaman keagamaan sesÂeorang semakin berpotensi menempuh cara-cara kekerasan dalam melakukan syiar agama. Wajah agama seperti ini mengikuti "wajah" Tuhan yang juga memiliki dua wajah, oleh kaum spiritual disÂebut dengan wajah ketegaran (Yang) dan wajah kelembutan (Yin). Tidak heran jika umat beragama juga menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan wajah lembut. Idealnya kedua komponen ini sama dan sebangun. Dalam Islam, keutuhan kedua komponen ini ditampilakan oleh Nabi Muhammad Saw, yang dilukiskan di dalam Al-Qur'an:
Asyidda' 'ala al-kuffari ruhamaau bainahum (Bersikap tegas terhadap kaum kafir dan bersikap lembut kepada sesama mereka).
Dualitas kualitas Tuhan mempunyai makna yang sangat mendasar dalam dunia kemanuÂsiaan. Seseorang tidak boleh sembrono di dalam menjalani kehidupannya, karena meskipun Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tetapi dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga Maha Pemaksa (al-Qahhar) dan Maha Pendendam (al-Muntaqim). Wajah dan kualitas maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata juga ikut menghiasi kualitas maÂnusia. Secara personal manusia memiliki dualitas di dalam dirinya, paralel dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama tadi.
Manusia memiliki kualitas kejantanan dan ketegaran (
masculinnity/struggeling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (
femininity/nurturÂing). Di dalam nama-nama indah Allah Swt yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna yang berjumlah 99, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu jalaliyyah dan Jamaliyyah. Hanya saja nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan dalam Al-Qur'an lebih menonjolkan sifat-sifat Jamaliyyah. Tuhan bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin (
"The Father of God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin (
"The Mother of God").
Dalam sebuah masyarakat Fiqih oriented seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia, sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (
al-Kabir), Maha Perkasa (
al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al- Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat femininitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (
al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai. Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri denÂgan
"The Father of God," yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya dengan
"The Mother of God," yang mengambil ciri berserahdiri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-asmaul husna dan sebagaimana juga dipraktekkan Rasulullah saw.
Allahu a'lam.