Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengojek Tak Masalah Asal Masih Bisa Narik

MK Tolak Legalkan Ojol

Senin, 02 Juli 2018, 10:08 WIB
Pengojek Tak Masalah Asal Masih Bisa Narik
Foto/Net
rmol news logo Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengabulkan permohonan melegalkan ojek online (ojol) sebagai alat transportasi umum. Putusan itu diambil terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan para pengemudi ojol.

Sejumlah reaksi pun mun­cul dari para pengemudi ojol. Ada yang kecewa, tapi ada juga yang tak mempermasalahkan keputusan tersebut. Yang pent­ing bagi mereka, ojol masih bisa beroperasi.

Jam sibuk pagi dan sore hari jadi waktu yang ditunggu Frans, pengemudi ojol di Jakarta Timur. Di saat-saat seperti itu, orderan dari penumpang selalu meng­hampiri. Bayarannya pun luma­yan, lebih tinggi dari jam-jam tidak sibuk.

Jumat (29/6) jelang sore, usai beristirahat sejenak di rumah­nya, Frans kembali ke tempatnya dan sejumlah rekannya mangkal, tak jauh dari rumahnya. Di tempat yang tak begitu besar itu, Frans dan juga rekannya menanti orderan yang biasanya ramai pada sore hari.

Sambil menanti orderan, be­berapa cemilan dan secangkir kopi pun dipesannya dari warung kopi yang berada persis di samp­ing tempatnya mangkal. Diiringi obrolan santai dengan rekannya, Frans selalu mengawasi ponsel­nya agar bisa merespons dengan cepat jika ada penumpang yang mengorder.

Sebagai pengemudi ojol yang punya komunitas, Frans pun mengikuti perkembangan kebi­jakan pemerintah terkait peker­jaannya. Menanggapi putusan MK, Frans kecewa. Soalnya, dia merasa pekerjaannya idak memiliki aturan yang jelas.

"Saya melihatnya kayak ada diskriminasi jadinya. Taksi on­line sudah ada aturannya, masak mentang-mentang kami roda dua tak bisa dibuat aturan yang jelas. Padahal, kalau ada kan bukan keuntungan buat kami saja, tapi juga buat penumpang," ujar Frans, saat ngobrol dengan Rakyat Merdeka.

Lebih dari itu, dia menambah­kan, jika ada aturan yang secara resmi mengatur keberadaan ojol, akan berpengaruh juga terhadap pendapatan mereka. Karena, sambungnya, penyedia layanan tidak lagi mengatur tarif sesuai keinginan sendiri.

"Terlepas dari keamanan yang memang kurang dibanding ang­kutan umum roda empat, kami juga berhak dong dipayungi aturan resmi pemerintah. Karena selama ini yang kami layani kan masyarakat umum juga," tuturnya.

Dengan gagalnya permohonon di MK, Frans berharap ada cara lain agar pekerjaannya bisa diakui secara resmi oleh pemerintah. Salah satu cara tersebut adalah memohon agar Undang-undang mengenai angkutan jalan bisa direvisi.

"Putusan MKkan biasanya sudah nggak bisa diubah lagi, dan biasanya nggak bisa banding kemana pun. Jadi paling kami berharapnya ada revisi dari DPR untuk diajukan ke pemerintah," harapnya.

Berbeda dengan Frans, Dian, pengemudi ojol lainnnya tak me­musingkan putusan MK. Meski ditolak, Dian tetap meyakini ojol sangat berperan besar sebagai alat transportasi masyarakat di tengah belum nyamannya ang­kutan umum di Tanah Air.

"Kalau kita sih nggak masalah. Kenyataannya ojol membuka banyak pekerjaan kok. Selama kita masih bisa narik, kalau menurut saya nggak jadi masalah kita nggak diakui sebagai angkutan umum," ujarnya.

Dian justru melempar kembali pertanyaan kepada pemerintah. Pertanyaan tersebut terkait den­gan kelayakan angkutan umum yang sudah disediakan pemer­intah. Apakah sudah layak, atau justru masih banyak yang harus diperbaiki.

"Balik lagi ke pemerintah. Apakah pemerintah sudah me­nyediakan transportasi yang layak belum untuk masyarakat? Penggunaan mobil pribadi ban­yak. Masyarakat jelas butuh ojol," sambung Dian.

Meski tak dinyatakan se­bagai alat transportasi publik, Dian meyakini masyarakat tetap memilih ojol sebagai transporta­si. Dia yakin, karena kebanyakan orang menggunakan ojol juga untuk efisiensi waktu.

"Kebanyakan masih meng­gunakan ojol karena efisiensi waktu. Selap selip lewat bela­kang sampai tujuan. Apalagi di Jakarta kan macet. Kalau transportasi umum belum bisa menyediakan kenyamanan dan kecepatan untuk masyarakat, jangan diusik," tuturnya.

Penumpang Tidak Ambil Pusing Putusan MK

Senada dengan Dian, Adi, pengemudi ojol lainnya pun tak mempermasalahkan penolakan permohonan tersebut. Apalagi dapat dipastikan, ojol masih diperbolehkan beroperasi.

"Selama kita masih bisa narik, ya kita nggak ada masalah," kata Adi.

Dia menuturkan, status ojol yang selama ini tidak dianggap sebagai angkutan umum juga tidak pernah menimbulkan dis­kriminasi. Katanya, selama ini ojek online telah dianggap seperti angkutan umum lainnya.

"Nggak ada diskriminasi ya. Kita kalau salah ya salah, kalau benar ya benar. Namanya di jalan kan harus nurut lalu lintas, selama ini sih nggak pernah dibeda-bedain," ucapnya.

Sejak awal menjadi penge­mudi ojol, Adi mengaku tak memiliki banyak tuntutan, baik kepada operator layanan mau­pun kepada pemerintah. Selama ini, dia menjalankan pekerjaan­nya sesuai dengan aturan yang telah ada.

"Dari awal saya juga nggak pernah ikut demo-demo gitu. Saya sih biar ojol dilarang juga nggak apa-apa, yang penting pemerintah bisa kasih solusinya ng­gak? Karena saya sebagai warga negara, bukan hanya driverojol, juga harus disejahterakan sama pemerintah," ucapnya.

Tak jauh berbeda dengan para pengemudi ojol, Rina, warga Jakarta sehari-hari me­makai jasa ojol pun mengaku tak mempermasalahkan putusan MK. "Selama masih bisa pakai layanannya ya nggak masalah," tutur Rina.

Meski menyadari ada sejum­lah kerugian dari sisi penump­ang, Rina mengaku tak ambil pusing. Apalagi, yang dia tahu, penyedia layanan ojol memberi­kan pertanggungjawaban jika ada oknum pengemudi ojol tak bertanggung jawab yang merugikan penumpang.

"Kalau nggak salah kan ada juga asuransi buat penumpang kalau kenapa-kenapa di jalan. Kayaknya nggak masalah juga deh kalau nggak diakui sebagai angkutan umum. Ojek-ojek yang mangkal juga banyak kok yang nggak diakui dan nggak ada masalah," ujarnya.

Latar Belakang
Inilah Sederet Pertimbangan MK Tolak Permohonan Legalkan Ojek Online

Harapan ojek online (ojol) agar sama dengan taksi online pupus di tangan MK. Ojek online berharap nasibnya seperti taksi online yang diberi perlind­ungan hukum. Ada sejumlah alasan yang jadi pertimbangan di balik penolakan tersebut.

Pertama, kendaraan umum harus aman. Dengan konstruksi dasar filosofis UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, jenis ken­daraan bermotor umum harus mewujudkan keamanan dan keselamatan terlebih yang di­angkutnya adalah orang. Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tersebut justru memberikan perlindun­gan kepada setiap warga negara ketika menggunakan angkutan jalan, baik angkutan jalan den­gan jenis kendaraan bermotor umum maupun perseorangan.

Kedua, rekayasa sosial berkendara. Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan re­kayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan maupun kendaraan bermotor umum.

Ketiga, sepeda motor kend­araan umum. Dengan menggu­nakan konstruksi berpikir UU LLAJ, sepeda motor memang tidak dikategorikan sebagai kendaraan bermotor penumpangatau mengangkut barang. Pengaturan yang demikian dimaksudkan agar terwujud angkutan jalan yang aman dan selamat bagi pengemudi, penumpang, juga pengguna jalan. Dengan perkataan lain, sepeda motor bukanlah angkutan jalan untuk mengang­kut barang dan/atau orang di­hubungkan konteksnya dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ.

Keempat, bukan permasala­han konstitusi. Mahkamah tidak menutup mata adanya fenomena ojek. Namun, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kon­stitusional atau tidak konstitu­sionalnya norma Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, karena faktanya ketika aplikasi online yang me­nyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ.

Kelima, ojol dengan taksi online tidak sama. Sepeda motor bukan­lah tidak diatur dalam UU LLAJ. Sepeda motor diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a UU LLAJ. Namun, ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang dan/atau orang dengan mendapat bayaran, maka diperlukan kriteria yang dapat memberikan kesela­matan dan keamanan.

Vonis tersebut diketok pada Kamis (28/6). Majelis yang memutus adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra.

VP Corporate Communications Go-Jek Michael Say mengatakan, pihaknya menghargai putusan MK. "Sebagai warga usaha yang baik, kami menghargai dan menghormati keputusan pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi terkait status hukum ojek online," kata Michael.

Meski demikian, pihaknya meyakini kemajuan teknologi dapat membantu meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia. "Kami percaya pemanfaatan teknologi merupakan cara yang paling cepat dan tepat untuk membantu masyarakat Indonesia meningkatkan kesejahteraan­nya,"  ujarnya.

Komunitas ojol menyayang­kan putusan MK tersebut. Komunitas meminta MK melihat permasalahan ojol secara luas. "Kami sangat menyayangkan hal tersebut karena harusnya MK dapat melihat masalah ini lebih luas. Jangan membandingkan ojek pangkalan, kalau ojek pang­kalan itu lokal sedangkan ojol itu permasalahan nasional yang sudah tersebar di mana-mana dan terintegrasi, beda dengan ojek pangkalan yang masing-masing di wilayah," kata Ketum Aliansi Driver Online (ADO) Christiansen Ferary Wilmar.

Selain mengajukan uji materi, komunitas ojek online juga men­dorong DPR melakukan revisi atas UU Lalu Lintas agar dapat mengakomodir roda dua menjadi trasportasi umum. Menurutnya, DPR telah berjanji melakukan revisi tetapi belum berjalan.

"Jadi kami masih melakukanupaya supaya ini diakui, tidak bisa ini diatur hanya oleh Perda, karena ini suatu kebutuhan masyarakat secara umum nasional. Ini jumlahnya makin banyak. Dengan kondisi seperti ini, ten­tunya harus ada undang-undang yang mengatur. Kami mendor­ong ada revisi UU lalu lintas melalui legislatif,"  imbuhnya.

Dari informasi terakhir yang didapatnya, lanjut Wilmar, DPR sedang menyusun naskah aka­demik untuk melakukan revisi tersebut. "Itulah yang masih kami tunggu. Kami sadari, proses seper­ti ini memerlukan waktu, memang beda, dengan uji materi akan cepat ditindaklanjuti," tuturnya.

Permohanan bermula saat pengojek online, Yudi Arianto, dan 16 rekannya menggugat UU LLAJ. Mereka merasa haknya tidak dijamin UU. Apalagi, mer­ujuk pada taksi online, penge­mudi taksi online dilindungi UU LLAJ. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA