Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK Periksa Hakim PN Tangerang & Pihak Tergugat

Kasus Suap Putusan Perkara Perdata

Selasa, 20 Maret 2018, 11:07 WIB
KPK Periksa Hakim PN Tangerang & Pihak Tergugat
Foto/Net
rmol news logo KPK menggali keterlibatan hakim lain dalam kasus suap pengaturan putusan perkara perdata di Pengadilan Negeri Tangerang.
Selamat Berpuasa

 Kemarin, lembaga antirasuah memanggil hakim Hasanuddin. "(Hasanuddin) diperiksa sebagai saksi untuk tersangka WWN (Wahyu Widya Nurfitri),"  kata juru bicara KPK Febri Diansyah.

Hasanuddin dan Wahyu Widya Nurfitri adalah majelis hakim yang menangani perkara wan­prestasi Hj Momoh cs.

Widya yang lebih senior di­tunjuk menjadi ketua majelis hakim perkara ini. Sedangkan Sedangkan Hasanuddin hakim anggota.

Informasi yang diperoleh, Hasanuddin diperiksa berkaitan dengan pembacaan putusan yang sempat ditunda beberapa kali.

Hasanuddin juga dikorek men­genai draft putusan yang akan dibacakan. Draft itu disita saat KPK menggeledah Pengadilan Negeri Tangerang pekan lalu.

Widya beberapa kali menunda pembacaan putusan lantaran belum menerima suap dari pihak yang berperkara.

Hj Momoh dan Bahrun Amin, pihak yang berperkara, juga dipanggil KPK untuk dimintai keterangan kemarin. "Penyidik sedang menyusun kronologi perkara suap lewat saksi-saksi tersebut," kata Febri.

Dalam perkara gugatan no­mor 426/Pdt.G/2017/PNTng, Hj Momoh, Bahrun Amin dan ahli waris H Achmad lainnya menjadi tergugat.

Gugatan ini diajukan Winarno. Dalam tuntutannya, Winarno meminta majelis hakim menya­takan para tergugat telah melakukan wanprestasi.

Winarno juga meminta ma­jelis hakim menyatakan sah pembayaran kepada para tergu­gat selaku ahli waris H Achmad sebesar Rp 1,031 miliar terkait empat bidang tanah H Achmad di Cipondoh, Kota Tangerang.

Agar gugatannya dikabulkan, kuasa hukum Winarno, Agus Wiratno dan HM Saipuddin menyuap hakim Widya melalui Panitera Pengganti Tuti Atika.

Namun penyuapan ini ter­bongkar KPK. Agus, Saipuddin, Widya dan Tuti pun ditetapkan sebagai tersangka.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan dengan menetapkan empat orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basarian Panjaitan.

Kasus suap ini berawal ketika Agus Agus mendapat informasi dari Tuti bahwa gugatannya bakal ditolak. Rencananya sidang pu­tusan digelar 27 Februari 2018. Namun sidang ditunda lantaran Tuti pergi umroh.

Sidang putusan kemudian dijadwalkan 8 Maret 2018. Atas persetujuan Saipuddin, Agus menemui Tuti sehari sebe­lum sidang putusan. Kali ini Saipuddin membawa uang suap Rp 7,5 juta.

Setelah menerima uang itu, Tuti menyerahkannya ke hakim Widya. "Namun, uang tersebut dinilai kurang sehingga akhirnya disepakati nilainya menjadi Rp 30 juta," kata Basaria.

Namun hingga sidang putusan 8 Maret 2018, Agus belum juga menyerahkan uang Rp 22,5 juta untuk menggenapi komitmen Rp 30 juta. Sidang kembali di­tunda. Kali ini dengan alasan hakim sedang ke luar kota.

Sidang putusan dijadwalkan 13 Maret 2018. Sehari sebelum pembacaan putusan, Agus da­tang ke PN Tangerang. Ia mem­bawa uang Rp 22,5 juta.

Usai menyerahkan uang ke­pada Tuti, Agus dicocok tim KPK di halaman pengadilan. Selanjutnya, tim KPK menang­kap Tuti, Saipuddin dan Widya.

Tuti dan hakim Widya ditetap­kan sebagai tersangka penerima suap. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Sedangkan Agus dan Saipuddin tersangka pemberi suap. Keduanya diduga melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Menurut Basaria, uang suap murni berasal dari Agus dan Saipuddin. "Advokat ini berusa­ha untuk memenangkan perkara­nya," katanya.

Berdasarkan perjanjian dengan kliennya, Agus dan Saipuddin akan mendapat komisi 40 persen jika gugatan dikabulkan.

Kilas Balik
Kasus Suap Panitera PN Jakpus Eddy Sindoro Kabur Ke Luar Negeri


Skandal suap juga pernah terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Panitera Edy Nasution divonis bersalah karena menerima rasuah dari Doddy Aryanto Supeno.

Doddy merupakan pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak perusahaan Lippo Group. Doddy memberikan suap atas perintah Eddy Sindoro, Presiden Komisaris Lippo Group.

Dalam menghadapi berbagai perkara Lippo Group, Eddy Sindoro menugaskan Wresti Kristian Hesti mendekati Edy Nasution. Sedangkan Doddy melakukan tugas menyerahkan dokumen dan uang.

Perkara pertama yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat adalah perkara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kymco, dan perkara PT Across Asia Limited (PT AAL) dengan PT First Media.

Wresti meminta bantuan Edy Nasution agar menunda pang­gilan peringatan kepada tergugat (aanmaning) terhadap MTP. Berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre (SIAC), PT MTP harus bayar ganti rugi kepada PT Kymco 11,1 juta dollar.

PT Kymco lalu mendaftarkan putusan tersebut di PN Jakarta Pusat agar dapat dilaksanakan. PN Jakarta Pusat menyatakan putusan SIAC dapat dilakukan di Indonesia.

Pada 1 September 2015, PN Jakarta Pusat melakukan aan­maning kepada PT MTP, namun tidak hadir. PT MTP kembali dipanggil untuk hadir pada 22 Desember 2015.

Eddy Sindoro memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan pemanggilan. Wresti pun menemui Edy Nasution.

Edy Nasution setuju menunda panggilan dengan imbalan Rp 100 juta. Wresti lalu melaporkan ke Eddy Sindoro. Uang akan disedia­kan PT MTP dan diantar Doddy.

Perkara kedua yang dihadapi Lippo Group terkait penga­juan Peninjauan Kembali (PK) perkara niaga PT AAL dengan PT First Media. Berdasarkan putusan kasasi, PT AAL dinyatakan pailit. Namun hingga 180 hari setelah putusan kasasi itu, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum PK.

Untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hong Kong, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti mengu­payakan pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat. Wresti kembali menemui Edy Nasution. Namun Edy Nasution menolak mem­bantu karena waktu pengajuan PK sudah lewat. Wresti lalu me­nawarkan imbalan uang. Hal ini dilaporkan ke Eddy Sindoro.

Pada 2 Maret 2016, PT AAL mendaftarkan permoho­nan PK di PN Jakarta Pusat. Edy Nasution lalu dihubungi Nurhadi Sekretaris MA saat itu yang meminta agar berkas PK PT AAL segera dikirim.

Pada 18 April 2016, Doddy diutus mengantar uang kepada Edy Nasution. Uang Rp50 juta dalam paper bag motif batik diserahkan di basement Hotel Acacia, Jakarta Pusat. Usai pe­nyerahan uang, Doddy dan Edy Nasution ditangkap KPK.

Selain Doddy dan Edy Nasution, KPK menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka ka­sus suap ini. Eddy Sindoro tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan. Belakangan dike­tahui Eddy Sindoro telah kabur ke luar negeri. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA