Salah satu ciri khas Tanah Abang adalah kesemrawutan dan kemacetan. Kemacetan timbulakibat dari kesemrawutan itu. Sebelumnya, persoalan ini sempat beres karena aparat terus berjaga. Namun, saat petugas takada, trotoar dipakai lagi jadi tempat mangkal pedagang.
Pantauan pada akhir pekan lalu, warna-warni pakaian denÂgan segala model dan merk berÂgantungan menghiasi keramaian trotoar Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Buah-buahan dan berbagai minuman segar juga tersedia di trotoar selebar 3,5 meter itu.
Sesekali, calon pembeli mendekati pakaian yang terpapar asap kendaraan itu. Tawar-menawar pun menjadi pemandanganbiasa di tempat ini. Para penjaja pakaÂian sabar meladeni calon pembeli yang belum tentu membeli baÂrang dagangan mereka.
Rakyat Merdeka pun menyusuri jalanan dari pertigaan Jalan Jatibaru Raya, dekat Pasar Tanah Abang Blok G hingga lampu lalu lintas di ujung Jalan Jatibaru Raya, dengan menggunakan sepeda motor. Jaraknya tidak sampai 1 kilometer (km). Namun,perlu waktu sekitar 10 menit untuk menempuhnya.
Selain karena PKL, kemacetan kerap terjadi di sepanjang jalan tersebut akibat sopir angkutan umum ngetem sembarangan. Kemacetan makin parah akibat pengendara motor yang meÂmarkir kendaraannya di badan jalan. Bahkan, hingga beberapa baris kendaraan.
Kesemrawutan dan kemacetan di kawasan itu membuat warga resah. Salah satunya Triadi. "Saya selalu pusing lewat situ. Padahal, sebelumnya sempat raÂpi. Namanya Jakarta, ya, begitu lagi. Heran saya," tutur Triadi, karyawan perkantoran di sekitar Jalan Wahid Hasyim.
Pengakuannya, PKL hanya tertib saat razia. Tapi dalam hitungan jam, trotoar kembali berantakan. Padahal, di trotoar sisi stasiun Tanah Abang ada dua pos Satpol PP. Sejumlah anggota Satpol PP tampak duduk santai. Bahkan, mobil Satpol PP juga parkir di atas trotoar.
"Tidak tahu kenapa, tertibnya kalau lagi operasi saja. Semoga pemerintah cepat mengatasi, kasihan warga. Trotoar seharusnya buat pejalan kaki, bukan buat berdagang dan parkir motor," sambung Triadi.
Saat penertiban, pedagang pun mesti main kucing-kucingan dengan petugas. Salah satu PKL Wargiyono, mengaku melakukanhal tersebut. Namun, dia tidak kapok meski berkali-kali harus kabur dari kejaran Satpol PP. Dia melakukan itu demi menafkahi keluarganya di kampung halamannya, Kudus, Jawa Tengah.
Wargiyono pun terbilang lihai. Pengalaman berjualan 10 tahun mengajarkan dia panÂdai mencari celah dari kejaran Satpol PP. Buah-buahan yang hanya dua bakul besar mudah dipindahkan, ketika petugas penertiban kota itu datang merazia Tanah Abang.
Sebelum berdagang di wilayah itu, Wargiyono dan beberapa pedagang lainnya juga pernah berjualan selain di Jalan Jatibaru Raya. Namun, penghasilan merÂeka tidak sebanding jika berÂjualan di seberang Stasiun Tanah Abang itu.
"Mau bagaimana lagi, kita tidak dikasih tempat yang muÂrah. Kalau dipindahkan, bayar mahal tidak mau, orang sehari cuma dapat kecil, belum bisa balik modal juga," ucapnya.
Wakil Kepala Satpol PP Hidayatullah menyebut, setiap hari mengerahkan beberapa anggota untuk razia pada pagi, siang dan sore. Namun, pedagang kerap membandel. Saat melihat Satpol PP hanya segelintir, mereka berÂdagang lagi.
"Ada 300 PKL di Tanah Abang. Kadang ada gesekan di lapangan. Tapi, rutin kok kita lakukan razia. Kita tunggu arahan Pak Anies Baswedan seperti apa," ujar Hidayatullah.
Wilayah tersebut, sambungÂnya, harusnya murni jadi kawasan pasar. "Penjagaan tetap kita lakukan dan berkeliling. Kita juga ada sidang, yang banÂdel pasti kita tertibkan. Cuma persoalannya, Satpol PP ini jadi semacam pemadam saja. Ketika terjadi langsung ambil tindakan," katanya.
Bekas Camat Tanah Abang ini menambahkan, dalam sebulan bisa ada 70 PKL yang ditertibÂkan Satpol PP. Mereka kemudian didata dan diminta membuat pernyataan tidak akan menguÂlangi kesalahan.
"Mereka kita bawa. Bagi yang sudah pernah ditangkap, mereka harus menjalani sidang. Kalau untuk sidang dalam sebulan bisa 30-40 PKL. Sanksi terberatnya barang mereka diambil dan bisa ditebus di pengadilan," terangnya.
Terkait dengan semrawutnya PKL di Tanah Abang, Hidayatullah mengatakan, harus ada kebijakan yang tegas dan jelas. Dia menyarankan agar wilayah Pasar Tanah Abang dijadikan pasar saja.
"Biar murni jadi lokasi pasar. Ada toko jualan, gudang, tempat ekspedisi dan lainnya. Karena saat ini kan belum tertata bagus," sarannya.
Dengan dijadikannya Kawasan Pasar Tanah Abang, lanjut Hidayatullah, maka aktivitas di kawasan tersebut akan fokus untuk jual beli dan kegiatan pendukung lainnya. "Kalau jadi kawasan pasar, Insya Allah tidak ada lagi hal-hal seperti sekarang ini," ucap Hidayatullah.
Latar Belakang
Pedagang Kembali Jualan Di TrotoarBlok G Pasar Tanah Abang Sepi
Deretan pedagang kaki lima (PKL) dari ujung Jalan Jatibaru Raya dekat Stasiun Tanah Abang, mengular ke arah belakang hingga arah jalan layang.
Para PKL tersebut menjajakan berbagai macam barang. Mulai dari kebutuhan sandang, pakaian hingga aksesoris, seperti topi dan bandana.
Para PKL tersebut memilih berjualan di trotoar dibandingÂkan tempat yang sudah disiapkan di Blok G Pasar Tanah Abang. Lokasi yang jauh dari pusat keramaian, membuat para pedaÂgang memilih kembali berjualan di jalur pedestrian.
Salah satu pedagang di lokasi tersebut, Emak mengatakan, dia dan para pedagang lainnya lebih suka berjualan di trotoar. Lokasinya yang dekat Stasiun Tanah Abang membuat pembeli bisa langsung melihat-lihat barang dagangan dan mendekat apabila tertarik.
Emak mengatakan, kondisi itu berbeda jika pedagang berjualan di Blok G. Pembeli harus berÂjalan jauh dan menaiki tangga. Menurut Emak, pembeli akan malas melewati rute melelahkan, sehingga lebih memilih yang lokasinya strategis.
Emak mengaku, para PKL sudah tertib dan menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Dia pun berjualan di belakang batas garis kuning. Karena trotoar yang ada sudah cukup lebar, sambung dia, sehingga pejalan kaki masih bisa leluasa.
"Di sini kita tidak ganggu jalan kok. Kalau jualan di trotoar sini lebih dekat dari stasiun. Orang biasa datang, pelanggan kan dari stasiun," ucap Emak.
Dia pun membantah berbagai pemberitaan yang menyatakan PKL menyebabkan kemacetan parah di Tanah Abang. Dia menuturkan, tidak benar PKL menyebabkan arus lalu lintas terganggu.
Menurut Emak, yang meÂnyebabkan kemacetan karena lokasi tersebut adalah pusat grosir. Sehingga, banyak kendÂaraan bermotor lalu-lalang dan ditambah angkutan kota (angÂkot) yang berhenti sembarangan menunggu penumpang.
Emak mengaku, petugas meÂmang mengarahkan para PKL untuk pindah ke Blok G. Namun, pihaknya tidak mau karena di lokasi tersebut sepi pembeli. Belum lagi dia masih dikenakan biaya sewa yang memberatkan pedagang kecil. Dia menerangkan, pendapatan PKL tidak seberapa jika harus digunakan unÂtuk membayar sewa dan barang dagangan terancam tak laku.
"Penjualan lagi turun. Apalagi dari setelah Lebaran kemarin. Sekarang sehari cuma bisa dapat Rp 100 ribu. Beda sama waktu dulu. Sekarang yang dipikir buat makan saja. Buat anak sekolah. Mana mikirin yang lain," ucap Emak.
Pedagang di Pasar Blok G Tanah Abang memang mengeÂluhkan terus menurunnya jumlah pengunjung selama beberapa tahun ini. Banyak pedagang menutup tokonya atau tidak memperpanjang kontrak karena memilih berjualan di jalan atau menjadi PKL.
Seorang pedagang di Pasar Blok G, Mia mulanya adalah PKL di sekitar Pasar Blok G. Dia kemudian direlokasi ke dalam pasar dan masih bertahan hingga kini. "Saya di sini sebenarnya nyaman, tapi memang keunÂtungannya lebih besar di bawah atau PKL. Tahun ini konsumenÂnya menurun, lebih sepi dari tahun kemarin. Saya tidak tahu kenapa," ujar Mia.
Dia berusaha menggaet banyakpembeli dengan menjual aneka pakaian anak dan dewasa hingga handuk. Namun, lanjut Mia, hasil penjualannya sangat kecil karena sepi pengunjung.
"Minggu ini luar biasa sepi, jadi banyak yang tutup, seÂdangkan pengeluaran besar. Tapi, kami syukuri saja," tutur Mia. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.