Dua hari pasca meninggalnya Tiara Debora, RS Mitra Keluarga Kalideres yang berada di Jalan Peta Selatan Nomor 1, Kalideres, Jakarta Barat tampak sepi. Tidak ada antrean pengunjung maupun pasien yang berobat di rumah sakit empat lantai tersebut.
Puluhan kursi yang tersedia kosong melompong. Hanya sesekali pegawai rumah sakit hilir mudik di beberapa ruang perawatan. "Siang hari biasanya memang sepi. Kalau malam baru ramai, karena seluruh dokter spesialis sudah praktek," ujar Sari, petugas informasi RS Mitra Keluarga Kalideres pada Selasa (12/9).
Suasana tegang masih terasa di rumah sakit berwarna krem ini. Perawat dan pegawai rumah sakit, irit bicara dengan orang yang tidak dikenal. Petugas keamanan pun selalu mengawasi orang-orang yang hilir mudik di kawasan rumah sakit.
Mereka yang bukan keluarga pasien, diminta meninggalkan area rumah sakit. Bahkan, untuk sekadar mengambil gambar, tidak diperkenankan. "Kalau mau ambil gambar, harus izin pimpinan dulu," ucap Sari.
Petugas keamanan pun terus mendampingi awak media. Mereka hanya memperbolehkan mengakses ruang lobi dan bagian informasi. Sementara, ruangan lain tidak diperbolehkan karena belum ada izin pimpinan.
"Seluruh pimpinan sedang sibuk di luar karena dipanggil Dinas Kesehatan untuk menyeÂlesaikan masalah yang kemarin," ujar Sari.
Sari mengakui, kejadian menÂinggalnya Debora pada Minggu (10/9), cukup mempengaruhi jumlah pasien yang datang ke rumah sakit ini. Ada sedikit penurunan. "Pengaruh ada, tapi tidak banyak," ujar Sari tanpa menjelaskan lebih rinci jumlah penurunannya.
Sari mengatakan, rumah sakit ini telah beroperasi sejak dua tahun lalu. "Setiap hari banyak pasien yang berobat ke rumah sakit ini," klaimnya.
Namun demikian, dia enggan menjelaskan secara rinci berapa banyak pasien yang berobat ke rumah sakit tersebut setiap harinya. "Nanti pimpinan saja yang menjelaskan," elaknya.
Bagaimana tanggapan RS Mitra Keluarga Kalideres? Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kalideres, Fransisca Dewi mengaku telah memberikan penanganan medis sesuai prosedur kepada Debora. "Kami sudah jelaskan soal itu semua ke Dinas Kesehatan," ujar Fransisca daÂlam keterangannya.
Fransisca membantah, pihaknya menolak melakukan peraÂwatan bayi itu di ruang PICU. "Kalau itu sudah dilakukan pertolongan. Perawatan di ruang khusus kan memerlukan biaya besar," sebutnya.
Karena itu, Fransisca mengatakan, pihaknya memikirkan efektivitas dan efisiensi karena di ruang khusus itu memerlukan waktu yang cukup lama. "Kalau dia pakai BPJS, biayanya bisa ringan," sebutnya.
Namun demikian, Fransisca memastikan, setiap pasien gawat darurat pasti masuk ke IGD terlebih dahulu. "Kami akan melakukan pertolongan pertama, urusan administrasi belakangan," tandasnya.
Fransisca mengaku tidak mengetahui bahwa bayi Debora merupakan pasien BPJS. Sebab, orangtua pasien belum berhubungan dengan petugas adminÂistrasi. "Jadi, petugas belum tahu pasien menggunakan BPJS. Ini baru diketahui belakangan, setelahpasien menginformasiÂkan," tandasnya.
Humas Mitra Keluarga Group, Nendya Libriya meminta maaf atas ketidaknyamanan pelayanan yang diterima keluarga Debora. "Kami telah melakukan tindakan medis secara optimal kepada bayi tersebut," tandas Nendya dalam keterangannya.
Menurut Nendya, dokter di rumah sakit itu juga sempat menyarankan rujukan ke rumahsakit lain yang memiliki fasiliÂtas PICU dan menerima pasien BPJS. Soalnya, pihaknya belum bekerja sama dengan BPJS.
"Karena Deborah butuh peraÂwatan lanjutan, maka dokter IGD kami menyarankan untuk merujuk pasien ke RS Koja," ucapnya.
Menurut Nendya, pihaknya tidak pernah membedakan pasien, baik yang berada di Unit Gawat Darurat (UGD) maupun di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). "UGD adalah pertolongan pertama untuk atasi gawat darurat, selanjutnya dokÂter akan menentukan tindakan lanjutan," katanya.
Terkait alasan dirujuk ke ruÂmah sakit lain, bukan dirawat di fasilitas PICU di sakit tersebut, Nendya menyatakan, hal itu atas persetujuan ibunya Debora. "Beliau setuju untuk dirujuk ke RS BPJS," ucapnya.
Namun demikian, pihaknya berjanji mengembalikan biaya perawatan Debora selama menÂjalani tindakan medis di UGD RS Mitra Keluarga Kalideres sebeÂsar Rp 6 juta. "Kami juga sudah mengunjungi rumah orangtua Tiara Debora," tuturnya.
Nendya pun mengaku siap bila kasus meninggalnya Debora dibawa ke ranah hukum. "Kalau memang itu terjadi, kami akan lakukan prosedur yang berlaku," tandasnya.
Yang pasti, Nendya menegaskan, RS Mitra Keluarga Kalideres merupakan bagian dari Mitra Keluarga Group yang berdiri sejak 1989, memiliki komitmen mengutamakan layanan kesehaÂtan profesional dan optimal.
Sementara itu, Wartini, salah seorang warga yang tinggal persis di samping RS Mitra Keluarga mengaku tidak perÂnah berobat ke rumah sakit ini karenamahal. "Saya kalau beroÂbat ke Puskesmas atau RSUD saja, murah," ucapnya.
Menurut Wartini, salah satu kerabat dekatnya melahirkan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, sekitar enam bulan lalu. Saat itu, biaya yang dikeÂnakan Rp 8 juta.
"Padahal, itu melahirkan seÂcara normal. Makanya, saya tidak mau berobat di situ karena mahal," nilainya.
Wartini pun membayangkan bila kerabatnya melahirkan seÂcara sesar dan menginap selama beberapa hari di rumah sakit tersebut. "Bisa belasan juta," taksirnya.
Untuk itu, ia berharap agar rumah sakit manapun bisa menuÂrunkan biaya pelayanan agar masyarakat yang tinggal di sekitarnya bisa berobat ke ruÂmah sakit itu. "Jadi, tidak hanya orang kaya yang bisa berobat ke situ," harapnya.
Latar Belakang
Bayi Peserta BPJS Ditolak Rumah Sakit, Meninggal Karena Tak Ditangani Segera
Tiara Debora Simanjorang meninggal dunia pada Minggu (3/9). Bayi berumur empat bulanitu, tidak bisa masuk Ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RS Mitra, Kalideres, Jakarta Barat. Musababnya, orangtua Debora tak bisa memenuhi pembayaran uang muka (DP).
Orangtua Debora, Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi membawa anaknya ke rumah sakit tersebut karena mengalami sesak napas sekitar pukul 03.30 WIB. Singkat cerita, mereka tiba di RS Mitra Keluarga. Tapi, pihak rumah sakit menolak merawat Debora di fasilitas PICU.
Soalnya, orangtua Debora tidak mampu memenuhi biaÂya administrasi Rp 19,8 juta. Saat itu, orangtua Debora baru memiliki Rp 5 juta untuk fasiliÂtas pelayanan PICU.
Selain itu, pihak rumah sakit juga beralasan tidak menerima pasien BPJS. Dokter rumah sakit lantas membuat surat rujukan bagi rumah sakit lain yang menerima pasien BPJS.
Sejumlah rumah sakit ditelepon,namun tak ada satu pun yang fasilitas PICU-nya kosong. Sang ibu, Henny lantas menÂgunggah status di Facebook dan menghubungi teman-temannya untuk minta tolong dicarikan rumah sakit.
Akhirnya, pukul 09.00 WIB, orangtua Debora mendapat kabar bahwa RS Koja yang memilikiPICU, bersedia menampung anaknya. Namun, ketika dokterdari RS Mitra Keluarga Kalideres menghubungi RS Koja, kondisi Debora makin memburuk. Tak lama kemudian, bayi 4 bulan itu meninggal dunia. Selanjutnya, kedua orangtua itu membawa pulang jenazah anaknya mengÂgunakan sepeda motor.
Kisah versi Henny ini, sempat viral di media sosial. Henny mengaku tidak mengharapkan apa-apa, selain berharap tak ada Debora-Debora lainnya.
Dalam penjelasannya, Henny mengatakan, awalnya sang anak mengalami pilek seminggu. Karena tak kunjung sembuh, Henny membawa anaknya ke RS Cengkareng karena rekam medis ada di sana. Kemudian, dokter menyarankan Debora diberikan nebulizer.
“Saya lakukan perawatan terhadap anak saya. Nebulizer dua kali sehari dan diberi obat. Namun, tidak membaik dan ada batuknya,†ucapnya.
Dia mengatakan, anaknya sempat agak nyenyak ketika tidur malam. Namun, Debora keringatan. Saat Henny ingin mengÂganti alas bantal, Debora tampak mengalami sesak napas.
Tidak pikir panjang, Henny dan suaminya membawa Debora ke RS Mitra Keluarga Kalideres, karena lokasinya paling dekat. Dokter di sana memberikan perÂtolongan pertama kepada Debora. "Mereka berikan pertolongan pertama seperti kasih oksigen dan penyedotan dahak," ujar Henny.
Namun, Debora ternyata mengalami gangguan pernaÂpasan dan harus masuk ruang PICU. Orangtua Debora setuju. Akhirnya, mereka mengurus administrasinya. Selanjutnya, pihak administrasi RS menyaÂtakan, tidak menerima BPJS dan orangtua Debora tidak masalah membayar secara tunai.
Untuk ruang picu biayanya Rp 19,8 juta. Kamar Rp 900 ribu per hari. "Tak masalah, yang penting anak saya masuk ruang PICU. Petugas admin tak bisa kalau tak ada DP," ujar Rudianto, ayah Debora.
Rudianto kemudian kemÂbali ke rumah untuk mengambil dompet. Sekembalinya ke RS, dia menarik uang Rp 5 juta di ATM. Namun, pihak admin tidak menerima, sehingga Debora tidak bisa masuk ruang PICU.
Orangtua Debora sudah mencoba mencari rumah sakit lain. Namun, ruang PICU-nya sudah penuh. Untuk menutupi kekurangan pemÂbayaran DP, orangtua Debora mendapat bantuan Rp 2 juta.
Tapi, Rudianto menambahkan, uang Rp 2 juta itu sebagian besar digunakan untuk membayar biaya lab, karena telah diminta pihak RS. "Saya bayar Rp 1,7 juta untuk cek lab," ujarnya.
Henny menjelaskan, pihak RS kemudian meminta uang Rp 11 juta supaya Debora bisa masuk ruang PICU. Namun, dia hanya memegang Rp 5 juta dan berjanji segera melunasi pada siang hari. Meski begitu, pihak RS tidak menerimanya.
Setelah itu, ada rencana untuk memindahkan Debora ke RS Koja. Henny sudah bicara denÂgan dokter jaga bernama Ivan. Dokter menjelaskan, hasil lab Debora terkait saturasi oksigen sudah baik, sehingga bisa dipinÂdahkan. Namun, dengan muka panik, suster kemudian menÂdatangi dokter Ivan. Ternyata, keadaan Debora kritis. Dokter keÂmudian melakukan penanganan.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Koesmedi Priharto mempertimbangkan pencabutan izin RS Mitra Keluarga. Pasalnya, pihaknya menemukan bahwa Mitra Keluarga telah mengeÂtahui status kepemilikan BPJS keluarga Debora sejak awal kedatangan pasien tersebut. "Kami menemukan perbedaan pernyataan antara keluarga dan rumah sakit soal informasi BPJS," ujar Koesmedi.
Fakta dan pernyataan, lanjut Koesmedi, dikuatkan pemerikÂsaan dari pihak Dinkes saat menÂdatangi rumah sakit itu beberapa waktu lalu. Pihak rumah sakit, menurutnya, pernah menerima pasien BPJS dan merawat pasien tersebut di rumah sakit yang sama. Pihak rumah sakit, kata Koesmedi, sebenarnya tahu proses dan proseÂdur kegawatdaruratan pasien pemegang BPJS yang tetap harus ditangani. Peserta BPJS disebut dapat diterima oleh semua RS, termasuk Mitra Keluarga.
Koesmedi meyakini adanya peÂnyimpangan administratif yang diÂlakukan pihak rumah sakit terhadap pasien pemegang BPJS kesehatan ini. "Dia tahu pun dia tetap biarkan pasien. Jadi, kami putuskan, ini memang ada penyimpanganadÂministratif," tandasnya.
Terkait hal ini, Dinas Kesehatan pun telah mempertimbangÂkan sanksi yang sekiranya akan diberikan kepada pihak Rumah Sakit Mitra
Keluarga. Koesmedi menyeÂbut terdapat beberapa tahapan sanksi yang bisa diberikan keÂpada pihak rumah sakit, yakni teguran lisan, kemudian teguran tertulis, denda, hingga pencabuÂtan izin rumah sakit. "Tapi yang terkahir itu harus diperhitungÂkan, fasilitas dan kegiatan rumah sakit jadi terganggu. Soal sanksi ini, makanya masih kita bicaraÂkan," ujarnya.
Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyatakan sudah mendapat laporan dari Koesmedi terkait hasil pertemuan antara Dinkes dengan manajemen RS Mitra Keluarga Kalideres.
"Agar tak simpang siur, pihak keluarga mendiang Debora juga harus ditemui dan dimintakan keterangan," ujar Djarot.
Djarot juga meminta Dinkes memperingatkan semua RS tidak sekadar mencari keuntungan, tapi juga harus melayani pasien atas nama kemanusiaan. "RS juga tidak boleh melakukan tinÂdakan medis yang mengada-ada, sehingga pasien terbebankan biaya yang terbilang besar."
Djarot pun mengakui, masih ada rumah sakit yang suka mencari keuntungan melalui cara tidak wajar kepada pasien. Seperti, ada pasien yang harus memakai alat CT Scan. Setelah pasien tersebut pindah ke RS lain, harus melakukan CT Scan ulang, meski yang bersangkutan sudah menyerahkan hasil pantauan sebelumnya. "Ini membebankan pasien," pungkasnya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.