Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Para Aktivis Aksi Kamisan Sudah 505 Kali Unjuk Rasa

Dapat Penghargaan Tasrif Award

Jumat, 08 September 2017, 09:57 WIB
Para Aktivis Aksi Kamisan Sudah 505 Kali Unjuk Rasa
Foto/Net
rmol news logo Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menganugerahkan Tasrif Award kepada kelompok gerakan masyarakat sipil, Kartini Kendeng dan Aksi Kamisan. Dua kelompok masyarakat ini, dinilai konsisten memperjuangkan keadilan melalui aksi damai.

Hari Kamis setiap pekan, sejumlah aktivis melakukan aksi yang disebut sebagai Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. Kemarin, Aksi Kamisan kembali digelar, kali ini untuk memperingati 13 tahunwa­fatnya aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib.

Massa peserta Aksi Kamisan ke-505 mulai berdatangan sejak pukul tiga sore. Mereka memakai pakaian atasan berwarna hitam. Selain itu, mereka membawa payung hitam. Di payung tersebut, dibuat berbagai tulisan yang meru­pakan tuntutan para peserta aksi. Tulisan itu antara lain, "Tuntaskan Tragedi Trisakti Semanggi I dan II" dan "Tuntaskan Tragedi Tanjung Priok 84".

Berangsur-angsur, massamemadati taman, persis di seberang Istana Merdeka. Jumlahnya sekitar 100 orang. Berbagai spanduk dan poster mereka bawa dan tempel. Satu spanduk dipasang di pem­batas jalan oranye yang mengh­adap Istana Merdeka. Tulisannya, "#10thAksiKamisan JOKOWIJANGAN MELEMPEM". Di sebelahnya, spanduk berisi foto-foto dan nama-nama korban pelanggaran HAM.

Puluhan petugas keamanan gabungan dari institusi sipil, kepolisian dan militer mengamankan aksi tersebut. Mereka ber­jaga, membentuk pagar di Jalan Medan Merdeka Utara. Beberapa di antaranya memegang senapan yang berisi gas air mata.

Selain pembatas oranye, petu­gas pun menyiagakan barikade kawat berduri. Kawat tersebut diletakkan di dekat taman yang berada di sisi Jalan Medan Merdeka Barat. "Tiap Aksi Kamisan memang selalu kita jaga," kata se­orang petugas di tempat tersebut.

Kemarin, peserta aksi mem­peringati 13 tahun kematian Munir. Makanya, menurut petu­gas tersebut, peserta aksi lebih ramai ketimbang Aksi Kamisan sebelumnya. Selain orasi, sejum­lah peserta juga menyanyikan lagu dan turut membacakan puisi. Tak lupa, peserta memakai topeng bergambar wajah Munir

Selain aktivis dan simpatisan yang mendukung perjuangan Munir, Aksi Kamisan ke-505 juga diikuti sejumlah pelajar. Kevin, salah satunya. Pelajar Sekolah Menengah Atas Negari (SMAN) di Jakarta Pusat ini, berharap pemerintah segera menuntaskan kasus Munir. "Sebagai negara hukum, sudah seharusnya segera diselesaikan," ucapnya.

Di tempat sama, salah satu peserta aksi, artis Rio Dewanto menilai, di dunia mana pun, HAM merupakan hal yang paling penting. "Saya yakin, kita semua yang berada di tempat ini menginginkan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena hal itu merupakan tujuan negara kita," ucapnya.

Pria yang bekerja sebagai aktor itu menambahkan, kehadirannya di tempat tersebut untuk mendukung perjuangan para aktivis. "Tadinya, saya diminta untuk membaca puisi. Tapi, karena saat ini saya sedang mengerjakan suatu proyek, jadi saya tidak bisa untuk terlibat da­lam suatu monolog," jelasnya.

Sebelumnya, Rio telah banyak mendengar sepak terjang Munir sebagai aktivis HAM. "Saya banyak mendengar cerita, terlebih dari mertua saya yang sudah menjadi aktivis sejak lama. Bahkan kalau dilihat bagaimana perjuangan Munir dan istrinya, saya kira ini layak dibuatkan suatu film," ucap menantu ak­tivis HAM dan teater Ratna Sarumpaet ini.

Selanjutnya, Rio berharap, pemerintah bisa menepati janji-janjinya menuntaskan berbagai kasus. Karena, berdasarkan informasi yang dia dapat, masih ada ratusan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Presiden Jokowi, ingatnya, dalam kam­panye pun berjanji menuntaskan kasus-kasus HAM.

"Selain itu, harapan kami, Presiden Jokowi mau menemui peserta Kamisan. Saya kira akses ke tempat ini tidak begitu sulit ya, karena persis di depan istana," harapnya.

Pada kesempatan itu, Suciwati, istri Munir, membacakansurat yang dikirimnya kepada Presiden Jokowi. Kata dia, angka 505 menunjukkan keteguhan. Satu visi dalam kebenaran dan keadi­lan yang harus diperjuangkan.

"13 tahun suami saya dibunuh. Semoga Bapak Presiden masih ingat. Munir dibunuh dengan curang dan pengecut. Memakai arsenik dan penjahatnyamasih bebas. Tahun lalu, Bapak Presiden mengundang pakar hukum dan HAM, berjanji menuntaskan kasus Munir. Tapi, hampir satu tahun tak melihat terealisasi," ucap Suciwati saat membacakan suratnya.

Usai membacakan surat, Suciwati mengingat lagi kematian suaminya. Kata dia, ketika Munir meninggal, anak-anak masih kecil dan tentunya suatu kehilangan yang besar. Kehilangan itu tak tergantikan.

"Saya masih menceritakan kepada anak-anak saya, kenapa sampai sekarang orang-orang masih mengingat Abah. Karena komitmen menolong orang dan cinta Munir kepada nasib orang lain," terang wanita berkaca­mata ini.

Dia pun berharap agar kasus pembunuhan suaminya bisa segera terungkap. Hal itu, kata dia, sesuai dengan janji Presiden. "Saya kira kita meminta agar kasus ini segera selesai ya. Kita juga meminta Presiden menepati janjinya," tutur Suciwati.

Pihaknya, sambung Suciwati, mendorong pemerintah untuk membuktikan janjinya. Karena, menurutnya, apa yang dirasakannya merupakan penantian panjang. Pada kesempatan itu, dia juga mengingatkan mengenai pentingnya tata kelola negara yang baik. Hal itu berkaca pada tidak jelasnya keberadaan dokumen terkait pembunuhan Munir.

Dia heran, bagaimana arsip yang begitu penting bisa tidak diketahui keberadaannya. "Kita juga mengingatkan soal tata kelola negara ini, bagaimana arsip begitu penting bisa hilang. Artinya, bagaimana mengelola negara jika arsip sepenting itu saja bisa hilang," tandasnya.

Yang juga membuatnya bingung adalah, dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) seharusnya dibuka, malah ditunda. "Karena Setneg banding, jadi tertunda. Saya me­lihatnya kontradiktif dengan apa yang diperintahkan Presiden. Presiden memerintahkan agar dokumen dibuka, namun Setneg banding. Tapi, tetap kita dorong terus," tandasnya.

Latar Belakang
Berpayung Hitam, Berdiri Dan Diam Menuntut Pemerintah Tidak Diam
 

Mulanya, pada penghujung 2006, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), sebuah paguyuban korban/keluargakorban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengadakan sharing bersama JRK (Jaringan Relawan Kemanusiaan) dan KontraS untuk mencari alternatif kegiatan dalam perjuangannya.

Dalam pertemuan pada Selasa, 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untukmengadakan suatu kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa. Sebuah kegiatan berupa "Aksi Diam" sekali dalam seminggumenjadi pilihan ber­sama. Bahkan, disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna dan mascot sebagai simbol gerakan.

Dinamakan Aksi Kamisan, karena pilihan jatuh pada Kamis. Hari itu adalah hari di mana peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi, karena Istanamerupakansimbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 (tepat) adalah saat lalu lintas di depan Istana Presiden ramai kendaraan orang pulang bekerja.

Di sisi lain, payung hitam dipilih sebagai maskot, meru­pakan simbol perlindungan dan keteguhan iman. Payung meru­pakan pelindung fisik atas hujan dan terik matahari. Warna hitam melambangkan keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan dan perlindungan illahi.

Kamis, 18 Januari 2007 adalah hari pertama berlangsungnya aksi diam. Menurut mereka, negara sengaja mengabaikan berbagai kasus pelanggaran HAM. Maka, dengan melakukan Aksi Kamisan atau Aksi Payung Hitam, mereka berupaya bertahan dalam memperjuangkan, mengungkap kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa.

Selain itu, dengan selalu melayangkan surat terbuka kepada Presiden, merupakan pendidi­kan politik bagi para pemimpin bangsa. Dalam aksinya, para peserta memilih diam. Ada be­berapa alasan terkait hal itu.

Diam dan berdiri sebagai pilihan, karena diam tidaklah berarti telah kehilangan hak-hak sebagai warga negara. Berdiri melambangkan, korban/kelu­arga korban pelanggaran HAM adalah warga negara yang tetap mampu berdiri untuk menunjuk­kan punya hak sebagai warga di bumi pertiwi Indonesia.

Mereka sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih ketika pemerintah tidak mau peduli. Diam, juga untuk menunjukkan diri sebagai bukan perusuh, bukan warga negara yang susah diatur, juga bukan warga negara yang membuat bis­ing telinga, tetapi tetap menuntut pemerintah untuk tidak diam.

Agustus lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menganugerahkan penghargaan Suardi Tasrif dan Tasrif Award pada kelompok gerakan masyarakat sipil, Kartini Kendeng dan Aksi Kamisan. Dhyta Caturani, anggota Dewan Juri Tasrif Award, mengatakan, dewan juri sepakat memberi­kan penghargaan karena kedua kelompok masyarakat itu konsisten memperjuangkan keadilan melalui aksi damai.

Pada 27 Juli lalu, Aksi Kamisan dengan berdiri di depan Istana Negara menggunakan payung hitam sudah menginjak aksi ke-500. Sedangkan Maret 2017, Kartini Kendeng bersama para petani di deret Pegunungan Kendeng menggelar aksi me­masung kaki dengan semen di depan Istana.

Sejak 2006, Kartini Kendeng telah melakukan aksi melawan rencana pendirian pabrik se­men oleh korporasi di pelbagai wilayah, terutama di Rembang.

"Bagi kami, keduanya layak dan harus jadi pemenang. Bagi kami, mereka saling bersinggungan dan taut-menaut dalam gerakan sosial dan politik di Indonesia. Keduanya digerakkan oleh perem­puan. Keduanya memiliki kara­kteristik aksi damai yang serupa. Keduanya acap aksi bersama. Keduanya mata rantai yang kuat dan saling mengkait dalam satu rantai panjang perjuangan keadi­lan Indonesia," urai Dhyta.

Penghargaan Tasrif Award, kata Dhyta, diharapkan juga mampu menggugah pemerin­tah agar tak abai menuntaskan persoalan HAM dan ketidaka­dilan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA