Dua hari setelah penggerebeÂkan, rumah yang menjadi tempat pelaku melakukan aksi kejahaÂtan itu sepi. Tidak terlihat satu pun orang yang berjaga maupun beraktivitas di rumah dua lantai itu. Garis polisi masih membenÂtang di dua gerbang masuk yang berada di sisi kanan dan kiri rumah bercat putih itu.
"Sejak digerebek Sabtu (29/7) kemarin, rumah langsung digaris polisi. Siapa pun tidak boleh masuk, kecuali polisi," ujar Jumadi, warga yang tinggal perÂsis di samping rumah itu.
Lokasi rumah tak jauh dari Bundaran Pondok Indah. Ukurannya cukup besar, sekira 500 meter persegi. Halamannya pun sangat luas, mampu menampung belasan mobil sekaligus. Satu mobil Toyota Avanza masih dibiarkan terpakir di halaman rumah. Namun, mobil warna hitam itu sudah digaris polisi melingkar di seluruh bodi mobil. "Mobil itu sehari-hari digunakan untuk mengantar barang maupun kebutuhan bagi orang-orang yang tinggal di rumah itu," ujar Jumadi lagi.
Pintu masuk ke dalam rumah juga terkunci rapat. Tepat di deÂpan pintu masuk dipasang garis polisi. Seluruh jendela dan pintu yang berada di lantai dua juga tertutup rapat. "Sejak disewa orang asing, kondisinya selalu sepi dan mereka tidak pernah keluar rumah," ucap Jumadi.
Sejak awal, Jumadi mengaku curiga dengan gerak-gerik orang-orang yang menyewa rumah itu. Sebab, mereka tidak pernah sekalipun keluar gerÂbang untuk membuang sampah maupun beraktivitas sehari-hari. "Mereka selalu berada di dalam rumah. Bahkan, sampah pun dibuang di dalam rumah. Nanti ada orang yang mengambilnya," ujar pensiunan tentara ini.
Kendati banyak orang yang tinggal di dalam rumah, kata dia, nyaris tidak pernah sekalipun terdengar teriakan maupun keÂriuhan penyewa rumah tersebut. "Soalnya, seluruh dinding katanÂya sudah dipasang peredam, jadi omongan mereka tidak terdengar keluar," ucap Jumadi.
Selama hampir dua tahun, Jumadi mengaku hanya sekali melihat mereka beraktivitas di luar rumah, tepatnya di garasi. Mereka terlihat beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka. "Tapi, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya bukti mereka berbuat kriminal," tuturnya.
Seminggu sebelum penangÂkapan, kata Jumadi, belasan polisi sudah mengintai rumah tersebut. Bahkan, polisi sampai memasang kamera di ketinggian untuk memantau rumah yang menjadi tempat tinggal pelaku kejahatan itu. "Akhirnya hari Sabtu siang, polisi melakukan penggerebekan," tandasnya.
Namun, penggerebekan tidak berlangsung mulus, karena ada beberapa pelaku kejahatan sempat naik ke atas rumah dan loncat ke rumah warga yang tinggal berseÂbelahan dengan rumah itu. "Tapi, mereka yang mencoba kabur berÂhasil ditangkap," lanjut Jumadi.
Sang pemilik rumah, Anton Sudarto mengaku menyesal telah menyewakan rumah pribadinya itu kepada para pelaku kejahaÂtan cyber internasional. "Saya tidak menyangka, rumah dihuni pelaku kejahatan. Secara tidak langsung, saya bertanggungÂjawab soal keamanan negara," ujar Anton.
Pensiunan jenderal ini menÂjelaskan, awal mula rumahnya disewa oleh pelaku. Saat itu, diÂrinya bertemu dengan seseorang berinisial Y yang akan menyewa rumahnya untuk tempat menitip barang. Sebab, rumah Y di Pantai Indah Kapuk (PIK) katanya sedang direnovasi. "Dari gelagatÂnya, tak ada yang mencurigakan karena orangnya sopan dan terliÂhat baik," kenangnya.
Setelah sepakat, Anton memÂbandrol rumahnya dengan harga sewa sebesar 3.600 dolar AS atau Rp 50 juta per bulan. Y tidak menawar lagi dan langsung membayar rumah itu. "Mereka membayar selama dua tahun dengan harga mencapai lebih dari Rp 1 miliar," sebutnya.
Selama rumahnya disewa, Anton mengaku bersama anaknya yang bernama Rina sempat beberapa kali mendaÂtangi rumah ini. Saat itu, rumah dalam keadaan gelap dan sepi. "Kita kontrol sambil lewat. Tapi, tidak bisa masuk," ceritanya.
Saat mengontrol, Anton menÂgaku sempat curiga karena ruÂmahnya dalam keadaan gelap, seperti tidak ada orang. Namun, akhirnya dia menganggap wajar suasana tersebut. "Soalnya, seÂjak awal rumah hanya digunakan untuk menyimpan barang. Jadi kalau tidak ada orangnya, ya wajar-wajar saja," kata dia.
Sebelum polisi meringkus mereka, Anton sempat membuat janji bertemu di Pondok Indah Mall dengan sang penyewa, Y. Sayangnya, lanjut Anton, perÂtemuan yang direncanakan terseÂbut tidak terjadi. Sebab, Y tiba-tiba secara sepihak membatalkan pertemuan itu dengan alasan memiliki urusan mendadak. "Dia katakan sudah di tengah jalan harus kembali," ujarnya.
Anton juga bercerita tentang seseorang berinisial H. Sosok H tersebut, duga Anton, sebagai anak buah Y yang bertugas untuk mengurusi berbagai hal, termasuk mencari rumah yang akan diguÂnakan para pelaku. "Y itu bosnya yang di sini. Dia mencarikan temÂpat. Yang menghubungi kalau ada persoalan itu H," tandasnya.
Rina, anak Anton mengaku, Y sempat mengaku ada keluÂarganya yang sakit dan dirawat di Rumah sakit Pondok Indah. "Jadi, kadang rumah dipakai untuk mampir kalau ke rumah sakit untuk sekadar check up," tambahnya.
Sebetulnya, menurut Rina, akhir bulan ini jangka waktu sewa rumah sudah habis. Ia berencana menghubungi Y unÂtuk menanyakan, apakah akan memperpanjang kontrak sewa rumah itu. "Tapi, Y sudah tidak bisa dihubungi. Kemudian, keÂburu ada berita ramai begini," tuturnya.
Latar Belakang
Para Korban Diyakinkan Tersandung Kasus Kriminal, Lalu Diperas PelakuKepolisian meringkus secara serentak 148 pelaku kejahatan pemerasan dan penipuan melaÂlui cyber yang mayoritas warga negara China pada Sabtu (29/7).
Mereka beroperasi secara terorganisir dengan menyewa rumah-rumah mewah di Jakarta, Denpasar dan Surabaya. Di Jakarta, polisi menangkap 29 warga China dan Taiwan di salah satu rumah di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Mereka terdiri dari 17 laki-laki dan 12 perempuan. Polisi menyita barang bukti berupa tujuh laptop, 32 iPad, 12 handy talky, 12 wireless router, tiga hub network, empat ponsel, 17 numeric keyboard, 20 KTP China dan sejumlah paspor.
Selanjutnya, 28 warga China diÂtangkap di kawasan Puri Bendesa Banjar Mumbul, Kuta Selatan, Badung, Bali. Di Surabaya, Jawa Timur terdapat 93 warga China yang diringkus di empat rumah di komplek Graha Family.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, para pelaku yang ditangkap itu, melakukan pemerasan melalui telepon. Kemudian, menjanjikan akan membekukan kasus yang dihadapi korban apabila korban bersedia mengirim uang ke rekening pelaku. "Korban yang mengirimkan uang, belakangan sadar mereka ditipu. Mereka pun melaporkan kejadian ini ke Kepolisian China yang kemudiÂan berkoordinasi dengan Polri," ujar Argo di Markas polda Metro Jaya, Jakarta.
Menurut Argo, ketika diamankan, para pelaku tidak memiliki paspor. Argo menambahkan, pihaknya berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM terkait masalah ini.
Penyidik, sambung dia, masih menunggu informasi dari Imigrasi, apakah para pelaku masuk ke Indonesia lewat jalur resmi atau ilegal.
"Kami masih konfirmasikan dengan pihak Imigrasi," ucapÂnya.
Terpisah, Kepala Satgas Khusus Bareskrim Polri AKBP Susatyo Purnomo mengatakan, para pelaku yang mayoritas warga China itu beroperasi sejak Januari 2017 dan korbannya adalah warga negara asing di Indonesia. "Modus penipuan dengan meyakinkan para korban bahwa mereka tersandung kasus kriminal," ujar Susatyo.
Bagian dari komplotan penipu ini, kata Susatyo, ada yang berÂpura-pura sebagai polisi, jaksa, hingga hakim untuk menguatkan cerita bahwa korbannya benar terkena kasus. "Kemudian, ada beberapa orang dalam komplotan itu yang kemudian berperan seÂbagai calo penyelesaian perkara, dengan meminta sejumlah uang dari korban," jelasnya.
Untuk kerugian, menurut Susatyo, mencapai Rp 600 miliar yang di Surabaya saja. "Kalau secara keseluruhan, kerugian para korban mencapai Rp 5,9 triliun dalam setahun," terangnya.
Terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rikwanto mengatakan, kepolisian membekuk 148 warÂga negara China yang melakuÂkan penipuan dan pemerasan. "Proses hukum di Tiongkok, di negaranya," ujar Rikwanto di Mabes Polri, Jakarta.
Selain itu, kata Rikwanto, polisi juga mengamankan lima warga negara Indonesia. Peran lima WNI ini ikut membantu pelaku dalam aktivitas sehari-hari. "Membantu sebagai sopir, penunjuk jalan untuk membeli peralatan yang kecil-kecil di toko elektronik. Juga membantu untuk rumah tangga," ujarnya.
Menurut Rikwanto, dari 148 WN China yang ditangkap, sebagian besar tidak memiÂliki paspor. "Dari pemeriksaan, hanya 20 persen yang punya paspor," sebutnya.
Para pelaku datang ke Indonesia, menurut Rikwanto, mengÂgunakan visa kunjungan wisata dan visa kerja. "Kita sedang telusuri, apakah mereka masuk lewat broker dan paspornya itu dipegang, atau masuk secara ilegal," ucapnya.
Polisi melakukan penyelidiÂkan, apakah kedatangan ratusan penipu dari Negeri Tirai Bambu itu ada yang membekingi atau tidak. "Apakah ini benar atau tidak, kita dalami saja dulu. Mudah-mudahan apa yang dikaÂtakan sponsor, bisa diamankan segera," ucapnya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.