Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, namun Ahon masih santai di kiosnya. Hari itu, belum ada yang mampir ke kiosnya yang berada di lokasi cukup strategis, lantai dasar pusat perbeÂlanjaan tersebut, tepat di depan pintu masuk.
Di kiosnya yang tidak begitu besar, selama beberapa tahun terakhir, Ahon berjualan konsol game asal Jepang, Sony PlayStation (PS). Dari pantauan, beberapa konsol game mulai dari PS 3 sampai keluaran terbaru, PS 4, dipajang di kios Ahon.
Pada masa jayanya, Ahon mengaku bisa mudah menjual barang dagangannya. Namun, tiga tahun terakhir, penjualan konsol game di lokasi itu menuÂrun drastis. Bahkan, diakuinya, belum tentu dalam sehari bisa menjual barang yang diganÂdrungi anak-anak itu.
"Paling kalau sekarang cuma bisa laku satu atau dua dalam seminggu. Dulu, sehari bisa tiga sampai empat terjual, apalagi pas musim liburan atau habis Lebaran," cerita Ahon.
Saat disambangi pada Senin lalu, kondisi Pasar Glodok meÂmang sepi. Berbeda jauh ketika awal tahun 2000-an, saat itu pembeli yang bertanya kerap diacuhkan pedagang. Saking sibuknya pedagang melayani pengunjung yang jumlahnya bisa berbilang ribuan dalam satu lantai.
Bahkan, tak jarang pembeli mengular di depan sebuah konter mungil yang berukuran hanya 2x2 meter. Kala itu, calon pemÂbeli kesulitan untuk sekadar mendapatkan informasi atas produk yang hendak dicarinya. Namun, kondisi sekarang berÂbalik 180 derajat.
Lorong-lorong di lantai tiga, empat dan lima amat sepi pemÂbeli. Hanya beberapa kios yang buka. Sementara kios lainnya, terutama yang berada jauh dari anak tangga atau eskalator tutup, dan ditempeli tulisan disewakan.
"Kehidupan" agak terasa di lantai satu dan dua. Hampir 80 persen toko buka, namun tetap sepi pembeli. Bukan hanya di lokasi perdagangan, kesunyian pun tampak di area parkir kendaraan. Kondisinya gelap dan sepi dari kendaraan yang parkir.
Frans, pedagang lain di pasar tersebut menambahkan, beberaÂpa tenant di Pasar Glodok sebeÂlumnya merupakan pedagang yang direlokasi dari Pasar Harco Glodok. Saat ini, gedungnya sudah dibongkar.
"Sudah banyak sekali yang tutup. Ini kan dibiarkan saja tokonya, ada yang disewakan, karena sudah tak kuat jualan. Saya kurang tahu sejak kapan, mungkin mulai dua atau tiga tahun ini banyak mulai tutup," kata Frans.
Dia pun mengakui, sepinya pembeli sudah dirasakan sejak pindah dari Harco Glodok ke tempat tersebut. "Tapi, sebelum saya ke sini juga sudah sepi, banyakyang sudah tutup. Ya karena yang beli sepi. Dulu, sehari saya bisa jual 10 PlayStation. sekaÂrang sebiji sehari saja susah sekali," ungkapnya.
Asisten Manager Pasar Glodok PD Pasar Jaya, Aswan mengataÂkan, pada masa jayanya Glodok merajai perdagangan barang-barang elektronik. Tak hanya di Jabodetabek, sejumlah wilayah di Tanah Air pun menjadikan Glodok sebagai kiblatnya.
"Sekarang pusat perbelanjaan bukanhanya di Jakarta, bukan hanyadi Glodok. Khususnya pedagang elektronik, di pinggiranJakarta juga banyak," kata Aswan.
Para pedagang yang berjualan di Pasar Glodok, lanjutnya, tak hanya menjual barang untuk partai besar, tetapi juga partai kecil dan eceran. Namun, sekaÂrang kondisi itu sudah berubah. Dari 1.880 kios yang ada di Pasar Glodok, yang tercatat akÂtif berdasarkan data Pasar Jaya hanya 1.167 kios. Ini berarti 38 persen kios di sana tutup atau tak beroperasi.
Namun, Aswan menyebutkan, bila melihat realita di lapangan, pedagang yang non-aktif sebeÂnarnya jauh lebih banyak. Katanya, para pedagang lebih memilih menutup dan menyewakan kiÂosnya. Kondisi yang sama pun, sebutnya, juga dirasakan para pedagang yang berjualan di pusat perbelanjaan di sekitar Glodok, seperti Glodok Plaza, Harco Glodok dan Glodok Orion.
"Silakan saja tanya kalau jalan ke Glodok Plaza, sepi juga. Mereka juga merasakan sepi," ucapnya.
"Kesunyian" tak hanya tampak di Pasar Glodok. Kondisi pusat perbelanjaan WTC Mangga Dua, Jakarta Utara, juga mengalami hal yang sama. Ada banyak sekali toko yang tutup di sana, jumlahnya bisa mencapai puÂluhan. Dari pantauan, hanya beberapa toko saja yang dibuka para pedagang. Sisanya, rolling door toko tertutup rapat. Bila masuk ke bagian dalam, pusat perbelanjaan tersebut seperti bangunan mati yang ditinggal si penghuni.
Kondisi ini bukan karena para pemilik toko sedang libur atau belum membuka tokonya, namun karena para pedagang berhenti berjualan di sana. "Ini memang kondisinya sepi begini, toko sudah banyak yang tutup sejak lama," ucap salah seorang petugas keamanan setempat.
Hari itu, hanya sedikit orang yang lalu lalang di dalam mal. Hampir di setiap lantai, toko-toko lengang tanpa ada yang berkunjung, paling-paling hanya di bagian depan mal saja.
"Pedagangnya sudah tidak ada karena pengunjungnya memang sedikit di sini," sebut petugas tersebut.
Latar Belakang
Pedagang Barang Elektronik Jadikan Toko Yang Tutup Sebagai Gudang
Pusat penjualan barang elekÂtronik legendaris, Pasar Glodok, Jakarta Barat sebentar lagi mungÂkin hanya tinggal kenangan. Saat ini, banyak toko yang sudah gulung tikar, tutup atau dijadikan gudang oleh pemiliknya karena sepi pengunjung.
Beberapa pedagang mengaku,sudah cukup banyak rekan merekasesama pedagang yang menutup toko dan pindah ke tempat lain. Ada pula yang menjadikan toko yang tutup sebagai gudang. "Jadi, tokonya di sebelah, gudangnya di sebelah," kata Sugeng, pemilik reparasi Handy Talkie di Pasar Glodok.
Selain dijadikan gudang oleh pemiliknya, toko yang tutup juga disewakan oleh pemilik sebelumnya. Di beberapa sisi pasar, tampak berapa toko yang tutup, disertakan pesan singkat "disÂewakan", lengkap dengan nomor kontak pemilik sebelumnya.
"Yang itu sudah tutup. Pindah dia ke Kalimalang. Kayaknya masih punya dia, hanya disewaÂkan. Tuh nomor hp-nya masih ada," ucap Sugeng.
Dede, pedagang di Glodok berpendapat, agar pusat perbelanjaan itu dapat tenar lagi dan menjadi pilihan masyarakat yang hendak membeli produk elektronik. Untuk itu, menurutnya, perlu ada pembenahan.
"Bisa sih ramai kayak dulu. Kalau bisa diberi fasilitas yang lebih memadai, lebih nyaman, supaya pengunjung betah dari siÂsi keadaan di sini," kata Dede.
Dia menambahkan, dari cerÂita pedagang yang sudah lebih dulu berjualan di Glodok, sudah lama pusat perbelanjaan ini tak diremajakan. Kalau pun ada hanya pada bagian-bagian terÂtentu saja.
"Kalau dengar terakhir direnoÂvasi itu, waktu kebakaran. Dengar-dengar juga sih, pas mulai sepinya Glodok itu waktu habis kebakaran tahun 2000-an," lanjutnya.
Dalam waktu dekat, Harco Glodok di seberang Pasar Glodokbakal selesai dibangun. Diapun berharap, ketika mulai beroperasi, keberadaannya dapat memberikan imbas positif bagi keberlangsungan Pasar Glodok.
"Mungkin sekarang menganÂdalkan Harco yang di seberang lagi dibangun, siapa tahu kalau sudah beres bisa pengaruh bikin ramai lagi," harapnya.
Dede menambahkan, sebagian pedagang di Pasar Glodok pun sudah ada yang berencana untuk pindah ke Harco Glodok dengan harapan bisa mengubah keadaan dan memperoleh rezeki lebih baik. Sebagian lagi memilih berÂtahan. "Sebagian tetap bertahan, sewanya lebih tinggi di sana," tuturnya.
Selain menjual aneka ragam barang elektronik lokal dan imÂpor, Pasar Glodok juga merupakÂan salah satu dari sekian banyak saksi sejarah yang menyaksikan kelahiran dan perkembangan kota Jakarta.
Pada masa pemerintah koÂlonial, kawasan Glodok pun dikenal sebagai salah satu daerah Pecinan. Hal itu karena mayoriÂtas penduduknya adalah ketuÂrunan Tionghoa.
Nama Glodok sendiri terinÂspirasi oleh suara air pancuran dari sebuah gedung kecil berbenÂtuk persegi delapan, di tengah-tengah halaman Stadhuis atau balai kota yang merupakan pusat pemerintahan VOC.
Gedung bersejarah terseÂbut dibangun pada 1743 dan sempat dirobohkan, namun dibangunkembali pada 1972. Kini, balai kota itu telah berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.