Apa saja sebetulnya isi perÂtemuan andara Komnas HAM dengan Menkopolhukam Senin (31/1)? Saya ingin jelaskan kalau agenda pertemuan dengan Pak Menko yang utama itu mengenai penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Di mana Komnas HAM melaporkan kasus di Wasior dan Wamena yang masih dalam proses penyelidikan.
Kami juga menjelaskan soal koordinasi dan kerja saÂma dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) soal kasus tersebut. Itu yang betul-betul kami bicaraÂkan selama 2,5 jam, untuk keÂmudian kami rumuskan menjadi konferensi pers yang dibacakan bersama. Jadi kalau melihat foto saat konpers kemarin, lembaran yang dipegang Pak Wiranto itu press release kasus di Papua. Jadi tidak ada itu kesepakatan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui rekonsiliasi.
Lantas sebenarnya seperti apa penyelesaian Kasus Trisakti, Semanggi I dan II itu?
Katiga kasus itu sama sekali tidak disinggung. Ada pun pemÂbahasan lainnya adalah soal Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Kami baru mendapat informasi DKN itu apa. Tapi kami malah enggak puas dengan DKN. Jadi tidak masuk akal kaÂlau kemudian disebut telah ada kesepakatan.
Kenapa Komnas HAM meraÂsa tidak puas dengan DKN? Pertama, DKN yang diharapÂkan jadi pengganti KKR malah menangani konflik sosial. Dalam pasal-pasal DKN malah engÂgak ada aturan soal menangani pelanggaran HAM masa lalu. Pembahasan yang dilakukan selama ini jadi enggak relevan. Komnas HAM malah kemudian berpikir supaya pemerintah buat lembaga baru, tapi bukan DKN. Kalau DKN dimaksudkan untuk konflik horizontal, ya sudah ngerjain itu aja, biar lembaga baru yang mengurusi masalah pelanggaran HAM masa lalu. Kedua, kami khawatir DKN ini enggak sederajat dengan yang diharapkan.
DKN ini kan lebih atas iniÂsiatif Menkopolhukam. Kami mengharapkannya lembaga ini langsung di bawah Presiden, tapi independen dan diisi oleh orang-orang dengan kapasitas yang cukup. Kami mengusulÂkan Jimly Assihidiqie, Todung Mulya Lubis, Hendardi, dan Marzuki Darusman.
Bukankah tinggal dibuat aturan saja supaya DKN menÂjadi lembaga independen di bawah Presiden yang tugasnya fokus menangani pelanggaran HAM masa lalu?Tidak cukup hanya begitu. Kalau memang mau, DKN harus menganut konsep rekonsiliasi seperti yang dirumuskan di KKR. Artinya harus ada pengungkapan kebenaran, meminta maaf dan memaafkan. Ada interaksi antara yang dimintai pertanggungjawaÂban dengan para korban.
Mesti ada pemulihannya denÂgan rehabilitasi hak-hak. Kayak yang miskin banget program pemerintah itu bisa didapat. Ada temuan kuat bahwa pristiwa itu adalah sejarah hitam yang engÂgak boleh terulang lagi. Prinsip -prinsip itu harus dipenuhi, engÂgak bisa hanya maaf memaafkan kayak lebaran.
Daripada bentuk lembaga lain kenapa enggak Komnas HAM saja yang menyelesaikan kasus HAM masa lalu itu? Mandat kami terbatas menÂjadi penyelidik dan pada penÂgawasan. Untuk menjadi lemÂbaga ini harus ada landasanÂnya. Landasannya yang kita pakai kan putusan MK. Putusan MK ini juga dikuatkan dengan Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terkait HAM, di antaranya; menyelesaikan baik melalui yudisial mau pun nonyudisial. Nonyudisialnya melalui komite yang dibentuk itu.
Tapi kenapa kemudian samÂpai ada isu Komnas HAM sudah membuat kesepakaÂtan dengan Menkopolhukam terkait penyelesaian kasus HAM masa lalu dengan jalan rekonsiliasi? Jadi setelah konpers ada yang bertanya, bagaimana soal penyeÂlesaian pelanggaran HAM masa lalu? Nah Pak Wiranto menyaÂtakan versi pemerintah. Saya menduga, barangkali itu yang disalahpahami sebagai jawaban dari hasil rapat dengan Komnas HAM. Padahal kami tidak sama sekali membuat kesepakatan bahwa ini diselesaikan dengan rekonsiliasi. Apalagi kalau meÂnyebut hanya Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Jadi anggapan telah terjadi kesepakatan itu sebetulnya hanya salah paham? Iya.
Komnas HAM sendiri setuÂju atau tidak dengan cara pemerintah, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan cara rekonsiliasi? Kami tidak sepenuhnya setuÂju. Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk membuat lemÂbaga yang bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan cara pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Sejak menjabat kami tidak lelah-lelahnya lobi sana-sini, khususnya dengan Jaksa Agung, supaya penyelidikan Komnas HAM dilanjutkan. Tapi kan engÂgak gol-gol sampai sekarang.
Jadi kami menetapkan semacam double track, atau strategi dua jalur. Kami hanya mendorong pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi untuk kasus yang memang memungkinkan direkonÂsiliasikan, seperti tragedi 65, kasus Petrus, dan kasus Talangsari. Sementara yang tidak mungkin, ya tetap kami dorong penyelesaiÂannya secara yudisial.
Apa alasan Komnas HAM mendorong kasus-kasus itu agar diselesaikan lewat jalan rekonsiliasi? Komnas HAM mendorong pengungkapan kebenaran reÂkonsiliasi karena sebagian besar korbannya setuju untuk itu. Tapi sekali lagi saya sampaikan, enggak ada jalur tunggal dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. ***
BERITA TERKAIT: