
Alasan bagi mereka yang mendukung pendaÂpat kedua, yang disembelih ialah Ishaq, putra Sitti SarÂah, antara lain: Pertama, pada ayat Q.S. as-Shaffat: 99 disebutkan: Innahu dzaÂhibun ila Rabbi (Dan Dia (Ibrahim) berkata: "SesungÂguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, dan akan memÂberi petunjuk kepadaku)". Maksudnya ialah IbraÂhim as berhijrah dari negeri kaum yang telah menyakitinya lantaran fanatik terhadap sesembahan-sesembahan yang berupa patung dan atas kekufuran kepada Allah swt dan kedustaan pada rasul-rasul-Nya. Atas desakan itu, ia berhiÂjrah dengan harapan dapat beribadah kepada- Nya dan dapat memberinya petunjuk ke suatu tempat yang mampu memberi kemaslahatan bagi agama dan dunianya, yaitu ke Syam, taÂnah yang suci (al-ardl al-muqaddasah). Thahir Ibnu 'Asyur menyebut peristiwa ini sebagai hiÂjrah yang paling awal di jalan Allah yang dilakuÂkan oleh seorang hamba.
Daerah tujuan hijrah Ibrahim as ini juga diduÂkung oleh ijma' ulama. Untuk mengobati rasa keterasingan dari kampung halamannya, nabi Ibrahim berdo'a agar dianugerahi seorang anak shaleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada Allah swt. Untuk itu, AlÂlah swt menggembirakannya dengan seorang anak yang sangat sabar. Anak tersebut, menuÂrut mereka, adalah Ishaq. Hal tersebut didasarÂkan pada kata ma'a pada ayat Q.S. as-Shaffat: 102: Falamma balagha ma'ahus sa'y.., yaitu bahwa anak yang menyertainya ke Syam adaÂlah Ishaq. Mereka meyakini bahwa penyembeÂlihan itu terjadi di Syam, bukan di Mina ataupun Baytul Muqaddas.
Alasan ketiga bagi orang yang berpendapat yang disembelih ialah Malaikat, maka sebuah riÂwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang berkata kepadanya: "Wahai anak orang tua yang mulia"! (ya ibna al-asyakh al-kiram!). Abdullah bin Mas'ud berÂkata: Orang itu ialah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah (dzabihullah) bin Ibrahim. Ulama Asy'ariyah berpendapat bahwa Allah swt terkadang memerintahkan sesuatu yang tidak menghendakinya untuk terjadi. Atas dasar ini pula, mereka berpendapat bahwa boleh menaÂsakh hukum sebelum waktu terjadinya pelakÂsanan perintah tersebut (jawâz naskh al-hukm qabla wajûd zaman al-imtitsâl). Sebagai buktiÂnya adalah perintah dalam ayat ini. Dari ayat ini juga, ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa terkadang suatu perintah tidak disertai denÂgan keinginan (irâdah). Perintah kepada IbraÂhim untuk menyembelih anaknya adalah perinÂtah ujian (amr al-ibtila'), bukan perintah hukum (amr al-tasyri'), tujuannya untuk menguji kesÂungguhan orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martabatnya dalam menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi. LazÂim diketahui bahwa mimpi para nabi merupaÂkan wahyu. Adapun ungkapan qad shaddaqta ar-ru'yâ pada ayat selanjutnya bermakna bahÂwa yang disembelih (Ismail, menurut jumhur ulama, Ishaq menurut sebagia nulama) mengakui kebenaran mimpi tersebut sehingga wajib untuk dilaksanakan. Adapun hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan IbraÂhim terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat sejauh mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam meÂnaati perintah Allah. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.