Para ulama sering membedakan antara bid'ah negatif (bid'ah sayyiah) dan bid'ah positif (bid’ah hasanah). Bid'ah sayyiah inilah sesungguhnya yang dilarang oleh Rasulullah Saw sebagaimaÂna disebutkan dalam: "Kullu bid'atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar" (Setiap bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan itu di dalam nerÂaka). Sedangkan bid'ah hasanah ialah praktik dan kebiasaan yang positif di dalam kehidupan masyarakat yang bersifat non-ritual, sekalipun itu tidak pernah dilakukan Nabi. Contohnya, Nabi daÂhulu kala mengendarai unta saat menenunaikan ibadah haji, sedangkan kita sekarang ini mengÂgunakan mobil dan pesawat. Berkendaraan mobil dan pesawat tidak pernah dilakukan Nabi, tetapi tidak dianggap bid'ah karena jenis kendaraan dan cara mengendarainya sesuatu yang bersifat non-ritual, meskipun itu terkait dengan ibadah haji.
Persoalan bid'ah akhir-akhir ini muncul karena dimunculkan oleh sekelompok orang yang mungkin niatnya betul-betul ingin memelihara kemurnian ajaran agama dari berbagai prakÂtik syirik, khurafat, dan hal-hal yang bersifat spekulatif. Namun muncul masalah karena seringkali kata bid'ah digunakan untuk menyerang sebuah tradisi atau kreasi lokal yang diÂhubungkan dengan ibadah.
Kata ibadah ini sendiri juga seringkali menÂimbulkan persoalan tersendiri karena ada yang mendefinisikannya terlalu luas, yakni segala sesÂuatu yang dilakukan dengan niat baik karena Allah Swt adalah ibadah. Ada orang yang mendefinisiÂkannya terlalu sempit, yakni ibadah yang mahdÂhah, yaitu ibadah ritual yang dilakukan secara rutin seperti shalat dan puasa. Wilayah abu-abu seringÂkali muncul, seperti praktik budaya yang menyerÂtai perkawinan. Rukun dan syarat perkawinan seÂcara syari’ah sangat simple. Cukup ada sepasang calon pengantin berlainan jenis dan memenuhi segala syarat perkawinan, mempunyai dua saksi, ada wali sah yang mengawinkannya, ada mahar, dan akad yang sah. Selebihnya itu hanya fariaÂsi. Sekelompok orang yang sering melontarkan bid'ah kepada orang yang melibatkan tradisi buÂdaya yang bersifat unik, seperti sungkeman terhÂadap kedua orangtua, dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan hal seperti itu. Demikian pula di sekitar upacara pemakaman seringkali juga dipandang ada praktik bid'ah karena melibatÂkan tradisi lokal di dalam rangkaian pemakaÂman, seperti praktik siraman dengan menggunaÂkan air khusus di dalam botol, takziyah sampai malam ketiga atau ketujuh, makan di rumah orang keluarga yang meninggal. Termasuk menyertakan foto almarhum/almarhumah ke pemakaman.
Tudingan bid'ah seperti ini harus hati-hati karena meskipun Nabi tidak pernah melakuÂkannya tetapi beberapa praktik yang sudah menjadi adat istiadat dan tidak bisa ditinggalÂkan begitu saja karena itu juga memiliki fungsi yang berarti di dalam masyarakat. Itupun belum tentu bid’ah dalam arti sesungguhnya karena menyangkut wilayah abu-abu. MUI perlu memÂberikan ketegasan terhadap hal-hal yang berÂsifat khilafiah. Sembarangan menuduh orang bid'ah bisa masuk ke dalam kategori RHS. ***