RELIGIOUS-HATE SPEECH (25)

Membid'ahkan Mazhab Lain

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 29 Januari 2016, 08:42 WIB
Membid'ahkan Mazhab Lain
nasaruddin umar:net
SALAH satu persoalan yang sering menjadi topik ujaran kebencian (Religious-Hate Speech/RHS) ialah pembid’ahan terhadap sebuah praktik dan faham yang berbeda dengan ma­zhab yang dianut. Bid'ah itu sendiri sering diartikan dengan suatu praktik atau kebiasaan yang bersifat ritual dilakukan sese­orang yang tidak pernah dilakukan atau diper­intahkan oleh Nabi. Seperti melakukan shalat sunnat sesudah shalat subuh atau sesudah ashar. Namun hal-hal yang bersifat non-ritual seperti urusan mu’amalah dan mekanisme ke­hidupan sehari-hari setiap orang tidak mesti harus dibatasi dengan konsep bid'ah.

Para ulama sering membedakan antara bid'ah negatif (bid'ah sayyiah) dan bid'ah positif (bid’ah hasanah). Bid'ah sayyiah inilah sesungguhnya yang dilarang oleh Rasulullah Saw sebagaima­na disebutkan dalam: "Kullu bid'atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar" (Setiap bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan itu di dalam ner­aka). Sedangkan bid'ah hasanah ialah praktik dan kebiasaan yang positif di dalam kehidupan masyarakat yang bersifat non-ritual, sekalipun itu tidak pernah dilakukan Nabi. Contohnya, Nabi da­hulu kala mengendarai unta saat menenunaikan ibadah haji, sedangkan kita sekarang ini meng­gunakan mobil dan pesawat. Berkendaraan mobil dan pesawat tidak pernah dilakukan Nabi, tetapi tidak dianggap bid'ah karena jenis kendaraan dan cara mengendarainya sesuatu yang bersifat non-ritual, meskipun itu terkait dengan ibadah haji.

Persoalan bid'ah akhir-akhir ini muncul karena dimunculkan oleh sekelompok orang yang mungkin niatnya betul-betul ingin memelihara kemurnian ajaran agama dari berbagai prak­tik syirik, khurafat, dan hal-hal yang bersifat spekulatif. Namun muncul masalah karena seringkali kata bid'ah digunakan untuk menyerang sebuah tradisi atau kreasi lokal yang di­hubungkan dengan ibadah.

Kata ibadah ini sendiri juga seringkali men­imbulkan persoalan tersendiri karena ada yang mendefinisikannya terlalu luas, yakni segala ses­uatu yang dilakukan dengan niat baik karena Allah Swt adalah ibadah. Ada orang yang mendefinisi­kannya terlalu sempit, yakni ibadah yang mahd­hah, yaitu ibadah ritual yang dilakukan secara rutin seperti shalat dan puasa. Wilayah abu-abu sering­kali muncul, seperti praktik budaya yang menyer­tai perkawinan. Rukun dan syarat perkawinan se­cara syari’ah sangat simple. Cukup ada sepasang calon pengantin berlainan jenis dan memenuhi segala syarat perkawinan, mempunyai dua saksi, ada wali sah yang mengawinkannya, ada mahar, dan akad yang sah. Selebihnya itu hanya faria­si. Sekelompok orang yang sering melontarkan bid'ah kepada orang yang melibatkan tradisi bu­daya yang bersifat unik, seperti sungkeman terh­adap kedua orangtua, dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan hal seperti itu. Demikian pula di sekitar upacara pemakaman seringkali juga dipandang ada praktik bid'ah karena melibat­kan tradisi lokal di dalam rangkaian pemaka­man, seperti praktik siraman dengan mengguna­kan air khusus di dalam botol, takziyah sampai malam ketiga atau ketujuh, makan di rumah orang keluarga yang meninggal. Termasuk menyertakan foto almarhum/almarhumah ke pemakaman.

Tudingan bid'ah seperti ini harus hati-hati karena meskipun Nabi tidak pernah melaku­kannya tetapi beberapa praktik yang sudah menjadi adat istiadat dan tidak bisa ditinggal­kan begitu saja karena itu juga memiliki fungsi yang berarti di dalam masyarakat. Itupun belum tentu bid’ah dalam arti sesungguhnya karena menyangkut wilayah abu-abu. MUI perlu mem­berikan ketegasan terhadap hal-hal yang ber­sifat khilafiah. Sembarangan menuduh orang bid'ah bisa masuk ke dalam kategori RHS. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA