WAWANCARA

Gayus Lumbuun: Saya Ingin Orang Tidak Mudah Melakukan Pembunuhan Keji...

Selasa, 12 Januari 2016, 09:02 WIB
Gayus Lumbuun: Saya Ingin Orang Tidak Mudah Melakukan Pembunuhan Keji...
Gayus Lumbuun:net
rmol news logo Hingga akhir 2015, Hakim Agung ini sudah membu­kukan 13 hukuman mati kepada terpidana kasus pembunuhan biadab. Jum­lah ini masih bisa bertam­bah, seiring masih banyak kasus pembunuhan yang naik ke meja kerjanya. Padahal, banyak yang terus menentang vonis hukuman hati. Tapi itu tak membuat­nya goyah. Simak wawan­cara Hakim Agung Gayus Lumbuun dengan Rakyat Merdeka berikut ini;

Apa yang melatarbelakangi Anda masih memutuskan vo­nis hukuman mati?
Saya ingin orang tidak mudah melakukan perbuatan (kejahatan keji) itu. Hanya beberapa saja hukuman mati yang dijatuhkan untuk perkara kejahatan narko­tika dan terorisme.

Korupsi?
Ya korupsi, yang belum pernah ada (hukuman mati). Kemudian makar, yang ancamannya ke­pada Presiden dan Wapres. Lalu pembunuhan berencana dan kejahatan lain, tapi tidak ban­yak. Karena saya ingin publik itu mempunyai pelajaran untuk tidak mudah merencanakan atau melakukan pembunuhan, tidak mudah menjadi pengedar narkoba, tidak mudah meren­canakan makar, tidak mudah melakukan korupsi yang mer­ugikan masyarakat.

Tapi banyak yang protes vonis hukuman mati itu, ba­gaimana?

Pegiat-pegiat itu pasti protes. Saya juga tidak ingin mem­bunuh para pelaku. Tapi saya juga memikirkan korban, ka­dang-kadang satu keluarga dibunuh, satu keluarga habis, bagaimana orang tuanya dan saudaranya.

Bagaimana menghadapinya ini, seseorang jangan mudah melakukan pembunuhan. Hanya dibayar sedikit, sudah melaku­kan pembunuhan. Saya ingin memberikan contoh, atau gam­baran agar janganlah mudah melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati.

Apa itu manjur menekan angka kejahatan?
Ya belum tentu. Pembunuhan tetap akan berkembang terus, narkotika berkembang terus, korupsi berkembang terus, tapi paling tidak agar masyarakat (takut), saya tidak bisa menja­min ini akan bisa berubahnya masyarakat, tapi saya ingin kultur bangsa kita ini mempu­nyai pandangan yang jangan mudah melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati. Kalau dibalik, pegiat-pegiat antihukuman mati ini juga ubah undang-undangnya.

Anda sependapat dengan upaya para pegiat anti huku­man mati merevisi undang-undang?
Para pegiat undang-undang itu terbalik berpikir, (harusnya) mengedukasi masyarakat jan­gan berbuat. Undang-undang nggak berguna kalau tidak ada perbuatan, toh tidak ada masalah undang-undang itu dibuat tetapi mengedukasi masyarakat.

Dasar pemikiran Anda?
Jadi ada tiga hal untuk penega­kan hukum itu, (pertama) adanya undang-undang, sebagai bentuk substance, ini teori. (Kedua) Adanya structure, penegak hu­kum. Dan (ketiga) adanya legal culture, menggambarkan budaya hukum masyarakat terhadap keja­hatan. Ada tiga. Mana yang mau dimulai. Para pegiat mengusul­kan mulai dari undang-undang, substance. Ini bagi saya tidak sependapat.

Kenapa tidak sependapat?
Karena mau diubah ringan sekalipun, percuma kalau ini nggak dilaksanakan, saya akan mengharapkan yang ketiga (diaw­al). Kulturnya mesti diubah dulu, untuk tidak mudah melakukan kejahatan yang dihukum huku­man mati. Ini akan berimbas ke­pada struktur, penegak hukumnya, dan akan berimbas kepada para pembuat undang-undang, apakah sudah saatnya kita me-morato­rium atau menghapus sekaligus (hukuman mati). Begitu urutan harusnya, jangan dibalik. Kalau dibalik, ini berkembang biak.

Melihat situasi saat ini, sudah saatnya belum kita moratorium vonis hukuman mati?

Belum. Kita harus mulai so­sialisasi, edukasi, agar orang tidak melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati.

Suatu saat nanti, apa bisa tercapai?
Akan tercapai.

Apa indikatornya, moratori­um hukuman mati baru layak diterapkan di Indonesia?
Perbuatan (kejahatan yang diancam hukuman mati) menu­run. Bukan dibalik; ancaman hukumannya dihapus. Karena itu (kejahatan) bisa menaik atau menurun.

Tapi anda tidak masalah jika dijuluki hakim spesialis hukuman mati?
Iya sampai (hakim) malaikat pencabut nyawa, hakim Agung spesialis hukuman mati. Nah ini tolong dicatat, ini teorinya Lawrence M Friedman. Dia mengambil tiga elemen dalam penegakan hukum. Yang per­tama, Undang-undang, sub­stance; boleh berat, boleh rin­gan. Ini kan negara yang buat, pemerintah dan DPR. Kedua adalah structure, atau penegak hukum. Yang ketiga baru ada­lah Legal Culture atau budaya hukum. Saya memilih ketiganya dulu, supaya orang tidak mudah melakukan kejahatan diancam hukuman mati.

Tapi, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak ada bukti ilmiah, hukuman mati dapat mengurangi kejahatan. Itu bagaimana?

Di kalangan PBB juga pro dan kontra. Ada masih ban­yak negara memberlakukan, termasuk (negara hak veto) Amerika Serikat, China, dan masih sekian banyak (masih memberlakukan hukuman mati). Sebagian memang memoratori­um dengan diganti dengan huku­man lain. Ada yang menghapus. Nah Indonesia masih memilih memberlakukan. Bukan hakim atau siapa, tapi negara ini. Baik secara politik maupun secara sosiologi hukum.

Maksudnya?
Di MK sudah dua kali diuji, apakah hukuman mati masih perlu dilanjutkan atau tidak. MK tetap memberlakukan. Dua kali. Karena (hukuman mati) tidak bertentan­gan untuk masa-masa ini. Jadi hukuman mati masih diperlukan. Diuji di DPR juga tidak diubah. Jadi hakim berpedoman bahwa masih diperlukan.

Sebenarnya suasana kebati­nan anda ketika memutus vonis hukuman mati itu seperti apa?
Ada cerita saya, suatu saat saya ketemu eksekutor, polisi. Walaupun ke sepuluh senjata ini tidak semua berisi. Dia tidak tahu, senjata dia atau senjata temannya yang berisi. Tetap dia tidak ten­ang, ketika selesai.

Bisa dari dia, bisa dari teman­nya, karena dari sepuluh cuma lima atau dibawah lima yang berisi (peluru). Saya mengatakan, dia kan melaksanakan Undang-undang lewat putusan hakim. Tentu saya juga begitu. Tentunya sebanyak yang saya putuskan di tingkat akhir, walaupun ada upaya grasi, tapi grasi itu menurut penelitian cuma tiga persen yang diterima. Saya tidak merasa, saya punya beban psikologi. Tidak punya saya.

Kenapa tidak punya beban, apa yang menguatkan Anda?
Karena saya menjalankan prinsip tugas saya. Tugas saya ada tiga; Undang-undang me­nyatakan seperti itu. Kemudian kemanfaatan, saya meyakini itu masih bermanfaat. Lalu logika saya mengatakan secara logis dia melakukan (kejahatan) itu kan tidak dalam kondisi sakit jiwa. Kalau sakit jiwa nggak akan dihukum. Itu dengan kesa­darannya dia melakukan.

Menyeret seorang perem­puan sepanjang 800 meter, bagaimana keluarga si korban, apakah ini tidak ikut diperha­tikan. Bagaimana jika mengu­langi perbuatannya, ada korban baru. Bagaimana orang lain akan menjadi pembelajaran. Itu semua logika-logika yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Termasuk saya.

Separuhnya lagi, ada yang tidak Anda hukum mati. Pertimbangannya apa?
Tentu banyak, hakim itu harus mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Saya juga banyak meloloskan ketika dia itu terpaksa mem­bunuh, atau karena penugasan dan lain-lain.

Tugas negara?
Iya juga bisa, tapi polisinya agak shock juga, tapi tetap itu tugas. Jadi ada beberapa pertim­bangan hakim menambah atau meringankan.

Kalau memberatkan?
Cenderung meresahkan masyarakat, itu juga menjadi per­timbangan saya untuk memberatkan. Membuat goncangan masyarakat, sehingga publik resah akan perbuatannya. Lalu tidak bisa lagi diharapkan dia berubah. Itu psikolog yang akan memberikan keterangan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA